23. kejadian horror

95 19 5
                                    

Naik ojek online jam dua pagi adalah hal ternekat yang pernah gue lakuin. Didorong rasa panik, gue berhasil menapakkan kaki di lobby rumah sakit tanpa banyak pikir soal betapa menyeramkannya naik ojek jam segitu. Otak gue mungkin masih dipenuhi cerita mistis soal rumah sakit di kala gelap dan gue nggak akan nyampe di sini.

Gue bergegas menuju meja informasi, bertanya soal keadaan pasien bernama Bara Elfarian Sasongko yang baru mengalami kecelakaan. Dijawabnya dengan tenang kalau Bara masih dalam pemeriksaan di ruang UGD dan gue disuruh menunggu perkembangannya.

Dengan langkah gontai, gue menuju tempat duduk yang cuma diisi beberapa orang lalu berusaha mengatur napas sendiri. Beberapa menit yang lalu, gue mendapatkan kabar kalau Bara kecelakaan sampe nggak sadarkan diri. Pikiran gue udah kacau dan panik sendiri kalau dia kenapa-napa. Apalagi ini udah hampir subuh dan Bara nggak mungkin ngabarin orang tuanya karena yang ditaruh di emergency list nya temen-temen terdekatnya dia. Gue nggak tau Bara habis dari mana atau habis ngapain yang mana bikin gue makin merasa frustasi karena gue jadi nggak bisa menebak ginana keadaannya sekarang. Gue cuma bisa berharap lukanya nggak parah.

Kepala gue sontak terangkat waktu gue merasakan ada yang duduk di kursi yang sejajar dengan gue. Sama halnya, orang itu juga seketika menoleh ke arah gue dan kita berdua bertukar tatapan canggung sebelum akhirnya buang muka. Daffa terlihat sama kagetnya waktu dia ngeliat gue duduk di dekatnya. Gue juga nggak nyangka Daffa bakalan datang ... dengan rapih, pake celana jins dan jaket bombernya, nggak kayak gue yang cuma pake setelan piyama dan rambut berantakan.

Gue menggigit lidah. Ternyata rumah sakit lumayan mencekam juga dini hari dengan kehadiran mantan dan dibumbui kecanggungan kayak gini. Padahal ruangan sepi, tapi gue malah merasa sesak.

"Udah dari tadi?"

Kesunyian akhirnya dipecahkan waktu pertanyaan itu meluncur dari mulut Daffa. Bukan cuma kesunyian di rumah sakit, tapi juga kesunyian pasca selesainya hubungan kita. Agaknya gue nggak berharap Daffa untuk mengucap satu kata pun. Mungkin lebih baik diam daripada setiap katanya terasa berat dan suaranya terdengar asing.

"Baru, kok."

"Sama siapa?"

Gue meliriknya yang bahkan nggak sedikitpun menatap gue. Daffa terlihat ogah buat menumbukan tatapannya ke gue, tapi bukan karena dia marah.

"Sendiri."

"Naik apa?"

Gue menelan ludah. Semakin dia bertanya rasanya semakin susah gue menjawab, karena otak gue bersikeras buat menginterpretasikan setiap pertanyaannya. Apakah dia lagi basa-basi? Atau penasaran? Atau--

Ah, nggak mungkin kalau dia khawatir, kan terakhir kali liat dia udah gandengan sama cewek lain.

"Ojek," jawab gue pelan.

Pertanyaan Daffa berhenti sampe di situ. Selebihnya kita menunggu ditemani samar suara TV dan mesin komputer di meja informasi. Mata gue masih terbuka lebar sembari kaki menghentak pelan. Gue berinisiatif buka group chat dan ngabarin temen-temen lain soal kabar Bara walaupun yang, tentunya, nggak dibaca sama satu orang pun.

Pintu lift di depan kita berdenting, tapi nggak menunjukkan ada seorang pun di dalam sana. Tangan gue semakin mencengkeram erat HP gue. Kenapa ... hawanya tiba-tiba jadi anyeb gini? Di samping gue, Daffa juga kayaknya merasakan hal yang sama karena dia beringsut sebelum menyerahkan jaketnya ke gue, bikin gue makin bingung.

"Pake," katanya pelan. "Dingin."

Tanpa dikasih tau dua kali gue pake jaketnya karen teringat kejadian barusan dan gimana suasananya mendadak berubah jadi aneh. Tapi begitu gue pake, yang gue ingat gimana rasanya jaket ini sebelumnya. Sekarang masih sehangat dulu, kecuali gue teramat hati-hati memakainya, seolah kalau gerak sedikit, jaketnya bakal robek. Ada sedikit bau rokok dan alkohol yang menyengat serta bau Daffa yang perlahan memudar, dan gue nggak mau mempertanyakan dia sebenarnya habis dari mana.

over everythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang