19. we all lie

106 18 12
                                    

Jalan tengah mengatasi keributan waktu itu cukup simple. Setelah berhari-hari nggak membalas pesan gue yang berisi permintaan maaf, akhirnya Daffa menghubungi gue lagi, bilang kalau dia juga salah, dan ibunya hari itu lagi minta ditemenin belanja bulanan.

Gue menurut, ikut Daffa dan ibunya belanja bulanan ke supermarket dengan keadaan yang masih canggung. Awalnya gue kira pesan-pesan yang saling kita kirim lewat aplikasi chat itu bakalan cukup buat menyudahi perseteruan antara kita berdua. Tapi bagi Daffa kayaknya enggak. Dia masih bertingkah luar biasa diem dan canggung. Sampe-sampe, ibunya bertanya apa kita habis berantem.

"Enggak, kok," jawab gue waktu Daffa lagi masukin belanjaan ke bagasi mobil.

Jujur, gue nggak mau bohong lagi, tapi kali ini aja gue berharap sebagai kebohongan gue yang terakhir sama semua orang terdekat gue. Setelah bohong sama keluarga gue, besoknya gue ditelfon Mama dan diceramahin habis-habisan. Bukan cuma karena bohong, tapi karena gue bisa-bisanya putus sama Raka.

Waktu itu gue nggak punya pilihan lain, tapi kali ini gue punya alasan yang cukup buat berbohong. Gue nggak mau melibatkan orang lain dalam masalah gue dan Daffa.

"Paling lagi jelek mood nya dia," kata ibunya, gue cuma bisa senyum. "Mei mampir dulu, kan? Tante mau masak banyak, nih, mumpung weekend."

Dengan situasi gue dan Daffa yang lagi gak memungkinkan, nggak mungkin gue mengiyakan. Daffa sama gue butuh waktu berdua buat menyortir masalah ini.

"Aduh, pengennya, sih, gitu," ujar gue ragu. "Tapi nggak bisa, nih, Tante. Ada kerjaan di kosan, hehe."

Ibunya Daffa memasang wajah sedih, tapi akhirnya dia maklum dan membiarkan Daffa mengantar gue ke kosan setelah men-drop ibunya di rumah.

Nggak ada satupun yang ngomong selama perjalanan. Dia menatap lurus jalanan di depannya. Air mukanya keras, seolah dia masih mendendam sama semua yang udah terjadi. Prasangka gue benar kalau Daffa masih benar-benar belum menganggap kembalinya komunikasi kita sebagai perdamaian.

"Daf," panggil gue lembut. Daffa cuma berdeham. "Aku minta maaf. Aku kekanak-kanakkan waktu itu."

"Aku juga," kata Daffa, tapi nada bicaranya sama sekali nggak menunjukkan kalau dia menyesal. Dia melanjutkan, "Aku udah tau."

Perut gue mendadak melilit, tangan gue udah basah berkeringat sejak Daffa mengeluarkan kata-kata itu. Tau apa? Apa yang udah dia ketahui sampe-sampe mukanya serius gitu?

"Tau apa?" tanya gue setelah menarik napas dalam-dalam.

"Kamu pergi sama Raka, kan? The day you ditched me to go to the orphanage?"

"Wow," gumam gue. Awalnya gue khawatir Daffa bakal marah, but the way he put it like that, malah gue yang merasa marah. "I didn't ditch you! Aku keluar sama keluargaku dan mereka ngajak Raka."

"Kenapa? Kenapa keluarga kamu ngajak dia?"

"Karena aku belum bilang kalau aku sama Raka udah putus."

Sebuah tawa meledek meluncur dari bibir Daffa. Gue nggak pernah merasa seterpojokkan ini sebelum mendengar tawanya yang terkesan meremehkan itu.

"Hampir setaun, loh, kak," kata Daffa. "Hampir setaun kamu putus sama dia dan kamu belum bilang juga? Dianggap apa aku selama ini?"

Kata-kata Daffa persis anak panah yang menghunjam tepat di mana titik lemah gue berada. Hati gue terenyak. Ada dorongan buat menangis tapi gue menahannya.

"I'm sorry," lirih gue. Gue tau itu nggak bakal cukup, tapi gue beneran menyesal nggak kasih tau keluarga gue lebih awal. Nggak kasih tau Daffa perkara itu lebih awal. "Aku berniat kasih tau kamu, cuma nggak pernah nemu waktu yang tepat. I'm sorry, okay? Mereka ... sekarang udah tau yang sebenarnya, kok."

Daffa nggak memberikan tatapan yang sesinis sebelumnya. Dia seolah mengisyaratkan kalau dia udah memaafkan gue. Tangannya lalu menunjuk ke arah dasbor.

"Kak, tolong rokok dong."

"H-hah?"

Gue membulatkan mata, memasang telinga baik-baik, mencoba memastikan gue nggak salah dengar. Daffa? Rokok? Bukannya katanya dia nggak merokok lagi semenjak jadian sama gue?

"Boleh gak aku ngerokok sekarang?"

"Nggak," tandas gue. "Unless you want to explain and drop me here."

"Jelasin apa?"

"Rokok. Sejak kapan kamu ngerokok lagi?"

Daffa menatap gue, kali ini tatapannya luluh. Dia udah nggak sekeras tadi, alih-alih agak sendu. Tapi dengan penolakan gue sebelumnya, Daffa meraih sebungkus rokoknya sendiri.

"Aku gak pernah berhenti," katanya santai.

Gue sontak menatap Daffa nggak percaya. Delapan bulan ini nggak pernah berhenti sementara dia bilangnya udah nggak pernah merokok lagi. For an instance, gue merasa jadi manusia paling bodoh di dunia.

Pantas aja selama ini Daffa selalu bau rokok, dan mungkin wangi bedak bayinya cuma sekedar tipu muslihat agar kuatnya bau rokok nggak bisa gue cium.

Bodoh.

Kenapa bisa-bisanya gue dibodohin begini?

Kenapa bisa-bisanya Daffa membohongi gue sebegininya?

Gue menunduk, menatapi kedua tangan gue yang menggenggam erat satu sama lain. Bibir gue udah gemetar dan penglihatan gue kabur gara-gara air mata yang menumpuk di pelupuk.

"Jadi, bilang apa tadi kamu ke Ibu?" tanya dia. Sebatang rokoknya udah terselip di antara dua bibir, tapi dia masih belum menyalakan benda itu.

"Ibu tanya apa kita berantem," jawab gue berusaha buat tetap tenang. "Aku jawab enggak."

"Bohong terus," sindir Daffa yang makin bikin hati gue tersayat.

"Terus kamu mau aku bilang apa?" ujar gue dengan nada yang semakin meninggi dan suara sumbang. "Kamu mau aku bilang kita lagi berantem terus bikin ibu kamu khawatir? Kamu mau aku bilang kita berantem biar ibu kamu bisa ikut bantu selesaiin masalah kita?"

Di titik ini, tangis gue nggak terbendung lagi. Gue udah terisak, dan saat Daffa memandang gue dengan kasihan, gue buru-buru buang muka.

Apa, sih, maunya Daffa? Gampang kok kalau mau bikin gue marah atau merasa bersalah, gak perlu repot-repot adu argumen dulu kayak gini. Bikin capek.

"Kak..."

"Aku turun di sini aja," kata gue setelah lumayan mengenali area jalanan.

"Terus kamu mau gimana? Jalan kaki? Nggak, aku anterin sampe kosan."

"Turunin. Aku."

"Duduk aja. Denger gak, sih, aku anterin kamu sampe kosan."

"Adimas."

Daffa langsung menyisikan mobilnya dengan suara mendecit. Gue menyeka air mata dan keluar dari mobil tanpa sedikitpun melirik Daffa. Mungkin dia kebingungan kenapa gue minta turun. Mungkin dia menyesal atau sedih. Atau mungkin juga dia malah kesenengan waktu gue keluar dari mobilnya.

Kosan jaraknya nggak terlalu jauh dan gue bisa tempuh dengan jalan kaki. Yang terpenting, gue harus bisa menahan tangis sebelum sampai di kosan.

-

over everythingWhere stories live. Discover now