5. jam malam

118 19 11
                                    

Daffa masih betah tutup mulut sambil duduk di atas motornya bahkan setelah gue turun dan lepas helm. Terhitung udah setengah jam lebih dia nggak buka mulut karena selama perjalanan tadi juga dia nggak mengucap satu kata pun. Masing-masing dari kita diem, Daffa dengan entah pikiran apapun yang bikin dia bungkam, dan gue dengan kekesalan tersendiri kenapa dia bertingkah kayak gitu.

Bahkan setelah bermenit-menit gue berdiri di hadapannya, menunggu dia buat ngomong, Daffa masih tetep diem. Dia cuma tarik-buang napas sambil menatap lurus ke arah gue yang sejujurnya bikin gue risih sampe-sampe gue mesti buang muka karena gue tau dia lagi menelisik ekspresi gue. Atau mungkin dia yang nunggu gue untuk ngomong duluan. Tapi kalau emang itu alasannya, gue nggak punya satu hal pun buat dikatakan ke dia. Jadi gue berbalik, udah siap ambil langkah buka pagar kalau aja nggak ditahan Daffa. Dengan entengnya, dia bikin gue menghadap dia lagi.

"Mau masuk gitu aja?" tanyanya dengan intonasi datar. Tangannya masih nahan tangan gue biar nggak kabur ke dalem.

Gue menghela napas dalam-dalam, mencoba tetap berkepala dingin di situasi kayak gini.

"Emang kamu masih mau ngomong? Dari tadi kan diem aja."

Daffa mendengus pelan sambil perlahan melepas tangan gue. Gak tau kenapa dia keliatannya kesel banget, padahal kalau diharusin, kayaknya gue yang mesti lebih kesel karena didiemin sepanjang jalan tanpa alasan.

"Kamu ngapain, sih, main sama mereka?"

Sesaat setelah pertanyaan itu terlontar, gue ngerti kenapa dia tiba-tiba diam seribu bahasa. Yang dimaksud 'mereka' sama Daffa adalah temen-temen kuliah cowok gue. Entah untuk alasan apa, Daffa kayaknya gak terlalu suka sama mereka.

"Emangnya gak boleh?"

"Bukannya gak boleh, kamu katanya udah dewasa tapi pulang aja nggak tau waktu."

Sontak gue menelan ludah sambil nunduk dan ketika gue mendongak, wajahnya Daffa udah sedingin balok es. Oke, gue ngerti sekarang kenapa dia marah sama gue, karena memang salah gue juga main sampe lupa waktu dan dijemput dia begitu tau kalau jam setengah sebelas malem gue masih di luar.

"Gak usah main-main sama mereka lagi," katanya, bikin gue cukup terkejut sama permintaannya.

"Loh kenapa? Kan mereka masih temen aku juga, mereka baik ke aku—"

"Baik ke kamu? Kalau baik ke kamu kenapa gak ada yang inisiatif buat anterin kamu pulang padahal udah jam segini?"

"Sssh." Gue naruh telunjuk di depan mulut gue, ngasih tau dia buat pelanin suaranya.

Kosan gue letaknya di tengah gang yang lumayan gede, kalau ribut bisa kedengeran dari ujung depan sampe belakang. Apalagi posisinya sekarang udah hampir larut, gak ada orang di gang selain kita. Gak ada yang bikin keributan selain kita.

"Aku nggak setaun dua taun kenal mereka," kata gue pelan. "Kamu tau kamu juga bisa percayain aku ke mereka."

"Kamu perempuan sendirian di sana, kak," tuturnya. "Bahkan sama Bara sama Jefry aja aku masih bisa belum percayain kamu ke mereka sepenuhnya."

Rasanya gue bisa melebur di tempat ketika Daffa mandangin gue lama tanpa ada suara. Daffa yang selalu berisik nggak pernah bisa gue artiin diemnya dan gue nggak suka menebak-nebak apakah dia bakal langsung pergi gitu aja setelah ngomong apa yang pengen dia omongin, atau dia bakal menahan gue lebih lama dan ngomelin gue lebih lanjut. Pilihan kedua terdengar jauh lebih baik daripada ditinggal pergi tanpa kata-kata.

Kepala Daffa perlahan menunduk, seolah dia juga melonggarkan pertahanannya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya selanjutnya berhasil bikin hati gue terenyak.

"Kalau mereka.... macem-macem sama kamu gimana?" lirihnya. Perlahan dia mendongak dan matanya udah nggak segalak atau sedingin tadi. Tatapannya udah luluh jadi kayak anak anjing yang ketakutan. "Kalau kamu kenapa-napa dan aku gak lagi ada di sana gimana?"

Napas gue tercekat. Di titik ini, gue udah nggak pengen lagi mendebat apa yang dia bilang karena kalau gue buka suara kayaknya gue bakal langsung nangis. Ego gue udah serata tanah. Kalau skenarionya dibalik, gue juga pasti bakal lebih khawatir dan lebih histeris dibanding dia.

Ngeliat wajah Daffa yang memerah, gue mendekat ke arahnya. Gue menarik kepala Daffa pelan, ngebiarin wajahnya tenggelam di bahu gue. Napasnya jauh lebih tenang dibanding sebelumnya dan perlahan gue bisa merasakan tangannya melingkar di pinggang gue.

"Janji, jangan bikin aku khawatir lagi," pintanya.

Suara Daffa terdengar persis rengekan, yang berarti dia udah luluh. Sudut bibir gue terangkat naik liat Daffa yang berubah 180 derajat dari sebelumnya.

"Jangan ketawa!" sergahnya, tapi gue malah makin nahan ketawa gara-gara tingkah lucunya dia.

"Iya, iya," kata gue setelah berhasil nahan ketawa.

"Iya apa? Jangan asal iya aja!"

"Iya, aku janji," bisik gue seraya ngelus rambutnya lembut.

Kita bertahan di posisi yang sama beberapa menit selanjutnya sebelum Daffa lepasin pelukan dan gue secepat kilat mengecup jidatnya. Dengan senyum sendunya, dia mengulurkan tangan buat ngacak rambut gue.

"Pulang dulu, ya. Sana kamu masuk," katanya dengan gerakan ngusir.

Gue mencibir. Biasanya gue gak bakal mengindahkan perkataan dia yang nyuruh gue masuk duluan, tapi kali ini gue nurut. Setelah melawan dan bikin dia terus-terusan khawatir sepanjang hari, gue nurutin maunya dia. Dan dari jendela kamar gue, gue bisa liat Daffa dadah-dadah ke arah gue dengan senyuman khasnya yang udah balik lagi.

over everythingWhere stories live. Discover now