12. perubahan rencana

107 16 16
                                    

Paginya, gue merasa lega bisa bangun lebih awal dari Daffa jadi gue bisa melakukan ritual cuci muka dan sikat gigi dulu. Nggak tau, deh, mungkin kalau dia yang bangun lebih dulu gue bakal diketawain gara-gara muka bantal gue. Di sisi lain, Daffa bangun lebih telat juga bikin gue kikuk sendiri karena gak tau mau ngapain lagi. Berkali-kali bangunin dia juga percuma, tidurnya kebo banget.

Pada akhirnya gue memilih untuk ke dapur karena di dapur udah ribut suara orang masak. Bibi yang ngurusin rumahnya Daffa udah rajin banget masak jam segini dan gue dengan gatau malunya bilang mau bantuin. Lagian gak enak aja kalau gue cuma diem dan gak ngapa-ngapain. Untungnya dia baik dan ramah banget.

"Daffa, tuuuh, emang kalau tidur bangunnya susah banget," keluh Bibi yang lagi ngulek bumbu. "Biasanya Ibu yang bangunin sekalian dicipratin air."

Gue terkekeh pelan. Kayaknya emang bukan rahasia lagi buat siapapun yang tau Daffa kalau dia sering telat bangun. Tyas sama Bila aja bilang dia kadang telat masuk kelas pagi.

"Daffa bandel gak, Bi?" tanya gue iseng.

Bibi langsung bergidik sambil geleng kepala.

"Bandel banget, Bibi kalau lagi masak gini biasanya digangguin sama dia!"

"Tapi Bibi sebel gak sama Daffa?"

"Ya enggak sebel juga," katanya. "Daffa udah kayak anak sendiri. Mau sebandel, senakal apa juga, Ibu sama Bibi gak pernah hukum dia yang berat-berat."

Gue manggut-manggut. Otak gue gak perlu loading lama-lama buat paham maksud dari "senakal apapun" yang dimaksud Bibi. Senakal-nakalnya Daffa yang gue tau, dia dulu sering keluar malem dan main ke klub bareng sama Bara dan temen-temen kumpul mereka yang lain. Kadang cuma minum biasa, kadang sampe bener-bener mabuk.

Itu dulu, sih. Sejauh yang gue tau sekarang Daffa udah jarang ke klub. Paling mentok nongkrong di deket fakultasnya dia. Mungkin karena sekarang dia gaulnya sama anak yang gak neko-neko macem Adli, Bila, dan Tyas. Mungkin juga dia udah males main-main ke klub.

"Biiiiiii." Gue noleh ketika suara rengekan Daffa terdengar dan dia udah berdiri di pintu dapur. Persis kayak anak TK lagi minta mainan.

"Apa? Sarapannya belum jadi," kata Bibi ketus.

Daffa sontak mencebikkan bibir terus narik gue yang udah gak lagi ngapa-ngapain ke pelukannya. Emang bener-bener ya ini anak gak tau malu banget ada orang lain juga.

"Bukan sarapan!" omel Daffa. "Bibi pagi-pagi udah ngambil pacar aku."

Bibi noleh ke gue. "Tuh, kan, kerjanya ngerjain Bibi terus. Udah, sana sana jangan ganggu Bibi masak."

Dengan terpaksa, gue ngikut ketika Daffa nyeret gue balik ke ruang tengah dan beresin sofa yang masih berantakan bekas tidur semalem. Daffa kemudian duduk lagi di sofa sambil scroll entah apa yang ada di HP nya. Gue nyusul duduk di sebelah dia ketika tiba-tiba disodorin HP nya di depan muka gue.

Awalnya gue kira posting-an lucu, tapi ternyata foto tindikan telinga. Rupanya anak ini memang gak tau kata menyerah dalam kamusnya.

Gue menghela napas sembari balikin HP nya Daffa dan natap dia dengan tatapan galak.

"Nggak ada," tandas gue. "Bandel banget, sih, ngapain pengen nambah lagi, itu telinga kamu udah banyak bolongnya."

"Satu lagiiii aja," katanya, sedikit merengek, tapi masih tetep terdengar persuasif. "Aku kemaren liat punya temen terus lucu aja."

"Temen siapa, deh? Kayaknya temen kamu gak ada yang tindikan?"

"Temen yang biasa ketemu di klub," jawabnya enteng, tapi gue langsung pasang telinga baik-baik. "Kemaren apa kemaren lusa ketemu dia di tempat makan."

"Oh, kirain kamu main ke klub."

Daffa mengernyitkan dahi, seolah pertanyaan itu gak memungkinkan keluar dari mulut gue. "Emang boleh?"

"Duuuh, yang larang-larang kamu main ke klub emang ada? Kan aku gak pernah larang," cerocos gue. Sepersekian detik kemudian, gue menambahkan dengan suara menciut. "Ya ... asal gak macem-macem."

Lagi, Daffa ngeliatin gue dengan tatapan bingung yang berangsur digantikan sama tatapan gak percaya. Keliatannya, sih, dia masih menganggap gue aneh karena udah menyatakan demikian.

"Gak ah," katanya setelah diem lumayan lama. Daffa terus narik gue buat duduk di depannya. "Kak, mau main gak?"

"Main apa? Main ke mana?"

Dia nggak langsung menjawab, melainkan nyisirin rambut gue pake jari-jarinya. "Main ke panti, yuk, aku udah lama gak ke sana."

Butuh beberapa saat bagi gue untuk memroses semuanya. Dan ketika gue ngerti sepenuhnya ajakan Daffa, mata gue membulat bersamaan dengan anggukan semangat yang gue kasih sebagai jawaban.

Selama ini, Daffa emang banyak cerita tentang pantinya, tapi dia belum pernah sekalipun ajak gue buat main ke sana. Makanya, ketika diajak buat ikut, gue seneng bukan main. Rasanya, gue kayak dipercaya buat melongok bagian dari masa kecilnya Daffa, bagian dari hidupnya yang gak semua orang tau.

"Mau, mau!!!"

Denger gue semangat begitu Daffa cuma ketawa. Dia mengepal rambut gue sebelum mengikatnya pakai ikat rambut yang selalu nangkring di pergelangan tangannya.

"Liat sini," ujarnya dan gue nengok. Daffa mengecup pipi gue--lebih tepatnya melipir sedikit ke rahang gue--sebelum melanjutkan, "Dah cantik. Mandi sana, abis itu kita makan terus pergi."


--


huf

over everythingWhere stories live. Discover now