33. asam garam

85 14 2
                                    

"Nggak nemu, kan?" tanya gue waktu Daffa akhirnya nyerah dan tiduran di atas kasur.

"Nggak ada," keluhnya sembari pijit-pijit jidatnya. "Kok bisa gak ada, sih? Terakhir aku pake abis nugas terus aku masukin tas."

"Kamu gak ada nenteng earphone dari ruang tengah," ucap gue lalu duduk di sampingnya. "Coba cari di tas, kali aja nyelip. Tas kamu kan kayak kapal pecah."

"Aku rapih ya orangnya!"

"Rapih sih tapi tas kamu itu, loh!"

Bukannya menggubris omongan gue, Daffa malah mencibir dilanjut nyanyi-nyanyi nggak jelas yang lama kelamaan makin ngelantur. Matanya udah sayu banget, efek kelas seharian penuh. Dan dalam sekian detik kemudian dia udah terlelap.

"Jangan tidur," kata gue sambil pencet-pencet hidungnya.

Daffa berdecak pelan lalu mencoba menyingkirkan tangan gue dari hidungnya. Waktu gue menghiraukannya, dia akhirnya buka mata dan memandang gue dengan sebal.

"Gak bisa napas," protesnya baru kemudian gue lepas. "Tidur bentar aja, bangunin sepuluh menit lagi."

"Udah mau Maghrib," omel gue mengingat kata orang tua kalau tidur jam segini tuh pamali. Iya kalau dia ntar bisa bangun. Yang namanya Daffa tuh mana bisa tidur cuma sepuluh menit doang. Tar ujung-ujungnya ketiduran terus kelewatan waktu Maghrib.

Daffa akhirnya nurut terus beralih mainan HP mungkin buat ngilangin kantuk dan gue di sebelahnya juga tetep anteng scroll akun masak-masak di Instagram. HP nya Daffa bunyi notifikasi dan beberapa saat kemudian dia tarik napas panjang entah apa yang baru dia baca barusan.

"Kak," panggilnya pelan. Kebiasaan! Selalu gantung gini kalau ada yang mau diomongin. "Aku mau nonton sama Sonia tar weekend boleh gak?"

"Siapa aja?"

.......

.......

.......

"Berdua aja."

Gue menarik napas panjang yang justru bikin Daffa keliatannya menahan napas.

Jujur gue nggak mau jadi cewek posesif yang dikit-dikit cemburu atau dikit-dikit gak bolehin ini itu. Tapi, kan, tetep aja gitu. Daffa sama Sonia statusnya mantan nggak peduli sesobat apapun mereka sekarang, apa yang dipikirin orang-orang kalau mereka jalan berdua? Jalan sama temen dengan status yang udah pacaran aja terkesan salah, gimana jalan berduaan sama mantan?

Terus ... ngapain, sih, mesti banget berduaan? Kenapa gue nggak diajak?!

"Gak tau," jawab gue masih berusaha netral. "Menurut kamu gimana? Boleh gak? Wajar gak?"

"Ya gak tau, makanya aku nanya," katanya ngegas dikit. Padahal yang harusnya ngegas, tuh, gue.

Hhh sabar.

"Gak tau ya? Kalau aku jalan sama Raka boleh gak? Berdua aja tapi."

Daffa langsung melengos dengan dengusan kesal.

"Aku sama Sonia cuma temen."

"Kamu sama Sonia mantan. Sama kayak aku sama Raka."

"Terus aja bawa-bawa Raka. Dia kan masih naksir kamu."

Kalau gue bales pasti ujung-ujungnya ribut. Kalau nggak gue bales malah gue yang dongkol sendiri harus nahan semuanya. Heran, deh, terakhir ribut sampe putus juga nggak jauh-jauh karena mantan. Masa sekarang mau gitu lagi?

Kemarin udah mohon-mohon minta kesempatan masa sekarang mau gitu lagi?

Akhirnya gue yang bangun dan keluar kamar dengan alibi, "Aku mau nonton Masterchef."

Daffa nggak jawab, dia juga nggak melarang. Mungkin dia paham kita berdua sama-sama butuh waktu buat mendinginkan pikiran dulu.

Dan bener aja. Setelah beberapa saat gue berhasil menyimpulkan kalau Daffa nggak pernah segampang ini kepancing buat marah. He will only snap when he's in a bad mood.

"Mana Masterchef nya?"

Gue nengok dan mendapati Daffa yang udah tiba-tiba duduk di samping gue. Dia udah nggak se-nyebelin sebelumnya.

"Hari gini mana ada Masterchef," sambungnya lagi terus merebut remot. "Aku gak jadi nonton sama Sonia."

"Kamu, tuh, kalau ada masalah coba cerita!"

Daffa terlihat kaget untuk sepersekian detik seolah gue berhasil baca pikirannya. Padahal emang kadang dia segampang itu buat dibaca.

Dia diem lama sembari pindah-pindah saluran TV seolah lagi mempertimbangkan buat cerita apa nggak.

"Yang tau ceritanya cuma Sonia," katanya pelan. "Aku belum siap cerita ke kamu."

Gue merengut. Otak gue mendadak acak-acakan persis benang kusut waktu dengar dia bilang gitu.

"Yang pacar kamu, tuh, siapa, sih?" kata gue frustasi.

"Kamu, lah!"

"Terus kenapa ceritanya sama Sonia doang? Kenapa sama aku gak pernah cerita? Aku gak nyaman dijadiin tempat cerita ya?"

"Bukan gitu!" elaknya. "Paham gak, sih, rasanya aku cuma pengen bagi yang manis-manis sama kamu? Aku gak mau nambahin pikiran kamu."

"Orang pacaran mana bisa manis-manisan terus?"

Kata-kata gue berhasil men-skakmat dia. Gue tau betul kalau orang cerita nggak bisa dipaksain. Gue juga nggak menyalahkan Daffa kalau emang ternyata dia lebih nyaman cerita ke Sonia dibandingkan ke gue. Tapi, kan, di sini yang lagi jalanin hubungan gue sama Daffa. Mau nggak mau dia juga harus bisa belajar berbagi sama gue. Masa dia mau terus-terusan lari dan cari orang lain ketika ada masalah?

"Iya, nanti aku cerita. Tapi gak sekarang."

Daffa mengisyaratkan gue buat mendekat, dan walaupun gue masih sedikit sebal sama dia, gue tetep nurut. Dia melingkarkan tangannya di pinggang gue dan menghujani puncak kepala gue dengan kecupan.

"Udah, aku belum keramas," sela gue.

"Pantesan bau keringet."

Daffa cekikikan waktu gue mukul dia pelan. Suara decitan pintu bikin gue sama Daffa langsung membeku karena kita kemudian inget di kosan juga ada Bila karena tadi dia nebeng pulang bareng Daffa. Nggak bareng Tyas soalnya dia main ke kosan cowoknya.

"Misi, berantemnya udah belum ya? Ini yang di sini dari tadi nahan haus," sindirnya halus.

Daffa langsung membulatkan matanya. "Bil, lo nguping ya?!"

"Ngaco lu anjir! Gue denger apa aja gak jelas, tau-tau kalian udah jadi bucin aja lagi!"

-

gatau apaan tp pengen aja gitu update trims

over everythingOnde histórias criam vida. Descubra agora