18. terserah

89 17 12
                                    

"LAH, KOK ADA ELO?" pekik Bara heboh waktu gue akhirnya memilih tempat duduk di sebelah dia.

Untuk ukuran lapangan futsal, tempat ini ternyata lumayan luas dan rame banget. Melihat gue yang udah gugup sendiri karena nggak tau mesti duduk di mana, Daffa mengarahkan gue buat duduk sama Bara tadi. Untungnya Bara juga nggak bawa pasukan, jadi gue bebas aja ngekor sama dia.

Sebagian tempat duduk udah dipenuhi pendukung dari dua kubu, dan gue nggak paham kenapa begitu masuk tadi orang-orang langsung sinisin gue.

"Emang kenapa?!" tanya gue ketus. "Orang gue diajak Daffa!"

"Wah." Bara menggelengkan kepalanya sambil mendecak nggak percaya. "Anjing juga ya si Daffa."

"Kenapa, siiih?!"

"Lo mau tau kenapa tempat ini penuh?" tanya Bara. Gue mengangguk. "Lo tau fakultas mana di kampus kita yang saling slek?"

"Fakultas lo, FEB, sama..."

Gue mengutuk dalam hati. Fakultas Ekonomi sama Fakultas Teknik dari dulu emang nggak pernah bisa akur. Dan alasan Daffa mengajak gue buat nonton futsal adalah karena fakultas dia tanding lawan Fakultas Teknik.

Raka salah satunya pemain dari Fakultas Teknik.

Menyadari hal itu gue otomatis menarik kedua tali hoodie-nya Daffa. Tadinya gue mau pake turtleneck biar sekalian ketutupan leher gue, tapi Daffa bilang bakalan gerah banget, dan gue akhirnya disuruh pake hoodie-nya dia.

Sekarang gue jadi paham kenapa orang-orang tadi sempet sinisin gue. Mereka mungkin orang yang sama dengan orang-orang yang dulu sok tau masalah gue sama Raka dan Daffa. Sekeras apapun gue coba untuk gak mengumbar hubungan gue waktu sama Raka dan Daffa, tetep aja gue gak bisa lari dari mereka-mereka yang sok tau.

"Udah ngeh lo?"

Gue mengangguk lalu menatap Bara dengan tatapan memelas. "Bar, gue mau cerita, deh."

Bara mengedarkan pandangannya. "Jangan di sini, banyak orang. Lo tau gimana sensinya cewek-cewek di kampus gue ke lo." Dia kemudian melirik gue yang dari tadi narik-narik tali. "Buka apa jaket lo, gue yang gerah liatnya."

Gue juga gerah! Gerah banget malah. Emang si Daffa, tuh, ngerjain aja bisanya!

"Masuk angin gue."

Yang pengen gue lakukan sekarang adalah cepet-cepet pulang. Kalau bukan karena Daffa yang ganti bajunya super lama, mungkin gue gak perlu menunggu dengan gusar kayak gini. Bukan, bukan karena kepanasan pakai hoodie atau kepanasan karena bisikan orang-orang yang nyampe ke telinga gue, tapi karena tadi Raka sempet liat gue dan untuk sekian detik, dia senyumin gue.

Ketemu Raka lagi entah kenapa terasa salah setelah apa yang terjadi beberapa minggu sebelum ini. Gue nggak cuma merasa bersalah sama Raka yang udah bener-bener bukan bagian dari hidup gue lagi, tapi juga karena masih bohong sama Daffa dan entah bakal menceritakan yang sejujurnya apa nggak. Untuk sementara waktu, gue rasa nggak ketemu dengan Raka adalah solusi yang tepat agar Daffa nggak membahas topik mengenai dia lagi.

Pikiran gue terinterupsi waktu ada yang menghampiri. Awalnya gue kira itu Daffa, tapi ternyata Raka.

Duh, Daffa lama banget, sih, ganti baju doang!

"Mei," sapanya dan mau gak mau gue harus senyum.

Raka sebaik ini mana mungkin bisa gue jutekin.

"Hai," sapa gue. "Mau pulang?"

Raka mengangguk. Ada hening yang menjeda sebelum akhirnya dia buka suara. "Aku udah bilang ke orang tua kamu kalau kita udah putus."

over everythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang