38. ego

88 15 0
                                    

"Kenapa, sih? Lagi marahan ya?" tanya Alta waktu gue suruh masuk ke kamar gue.

Anaknya sekarang malah ngedeprok di pinggir kasur sambil terus-terusan kepo.

"Ish udah sana kasih tau aja kamar kamu di mana terus suruh dia mandi!"

"Datang-datang marahan," omel Alta. "Tuh mata kakak sembab kenapa? Jangan bilang dia yang bikin kakak nangis?"

Gue mencibir. "Kalau iya emang napa?"

"Gak kaget, sih, kan kakak cengeng. Masa sama pacar sendiri dibikin nangis."

Alta terus ketawa sambil jalan keluar kamar setelah gue mencak-mencak. Iyalah emang nggak boleh nangis gara-gara pacar sendiri? Orang pacarnya aja jahat!

Bukannya mandi, gue malah ngelamun di kasur sampe ketiduran.

Kayaknya gue baru bangun sekitar jam sembilan malem dibangunin Kak Kiana yang nyuruh makan. Liat Kak Kiana gue makin pengen nangis soalnya nggak percaya aja, orang yang dulu sering ngajakin gue nonton barbie bareng, yang suka ngomel kalau gue ikut main sepeda, yang selalu ceritain gue apa aja besok udah mau dilamar orang?

Gue menghela napas panjang terus makin kenceng peluk guling.

"Heh, sana makan dulu, malah tidur lagi," katanya sambil toel-toel pundak gue. "Cowok kamu kasian, tuh, disuruh makan malah ntar ntar aja."

Mendengar itu gue langsung melek dan menghadap Kak Kiana.

"Loh, udah ketemu?" tanya gue kaget karena pas tadi gue sama Daffa datang dia masih di luar.

"Udah," jawabnya santai. Kemudian seolah bisa membaca pikiran gue, Kak Kiana melanjutkan. "Nggak se-pecicilan yang kamu bilang. Tinggi banget, kamu sama dia keliatan kayak kurcaci gak?"

"Ish! Belum aja dia nunjukin sifat aslinya!"

"Kata Alta kalian lagi berantem," ucapnya tiba-tiba sembari mengangkat satu alisnya. Gue mengedikkan bahu, pertanda nggak mau bahas itu, tapi Kak Kiana malah bilang, "Jangan gitu, dong, masa besok kakak lamaran suasananya gak enak. Lagian berantem kenapa, sih? Jangan-jangan cuma karena hal sepele?"

Setelah menimbang lagi, gue pun cerita. Bohong banget kalau yang namanya Kak Kiana itu nggak pernah overthinking, apalagi besok tanggal lamarannya. Tapi sisi positifnya dari dia adalah, setelahnya dia selalu bisa untuk membiarkan semuanya ngalir.

Gue menceritakan gimana kronologisnya dari awal sampe diem-dieman begini. Akhirnya Kak Kiana bilang yang salah nggak cuma dia karena melalaikan janjinya, tapi juga gue karena gue nggak bisa let go and let it be aja. Coba aja gue bisa lebih ikhlas dikit menyikapinya, mungkin gue nggak akan sekesal ini.

"Kadang kalau mau hidup tenang harus bisa ngorbanin ego," katanya selesai gue cerita. Gue? Tentu saja merasa tertampar karena ya emang dari sore tadi gue membiarkan ego gue menang. "Bukan cuman soal hubungan aja, sih, tapi makin gede pasti makin banyak yang bikin kamu harus nggak membesarkan ego."

-

Gue ngajak Daffa jalan buat nyari cemilan sekaligus ngobrol-ngobrol sehabis mandi dan makan. Sebelumnya, gue nggak pernah melihat Daffa sekalem tadi waktu di rumah. Dia cuma diem dan ketawa sopan diajakin ngobrol sama Papa ataupun Alta. Bahkan ketika gue ambilin dia makan dengan porsi besar, berasumsi dia pasti laper pun Daffa terlampau kaget gue masih bisa baik ke dia.

Dan gue merasa jadi orang brengseknya di sini. Selain cuekin dia sore tadi, gue juga membiarkan Daffa merasa asing di lingkungan yang baru yang mungkin bikin dia canggung. Kalau gue jadi dia, mungkin gantian gue yang bakal ngambek sekarang.

"Ngobrol apa aja tadi sama Alta?" tanya gue di jalan pulang beli roti bakar buat orang-orang rumah.

"Hmmm.... Kuliah, game, bola, ya itu-itu aja, sih," jawabnya. Ada jeda lama yang diisi helaan napas berat dia. "Maaf ya, kemarin sama hari ini aku ngeselin terus."

Gue mendongak liat mukanya Daffa yang udah sedih banget. Padahal pengen gue ledekin tiap hari juga ngeselin, tapi muka dia kayak hampir mau nangis. Gue nggak bisa diginiin.

"Kemarin kelas penuh sampe sore, HPku mati gak sempet di-charge dan aku ketiduran sampe paginya," jelasnya sendu. "Hari ini malah ngurus syarat-syarat KKN sampe gak sempet buka HP. Tau-tau Ibu nelfon nyuruh jemput kamu terus langsung buru-buru pulang. Sumpah aku, tuh, gak niat nelantarin kamu. Cuma lupa waktu aja."

"Urusan KKN nya udah selesai?"

Daffa membulatkan matanya seolah nggak mengharapkan respon demikian dari gue.

"Udah." Dia mengangguk. "Tinggal nunggu milih tempat aja. Tapi itupun masih lama."

"Jangan jauh-jauh," gumam gue.

Daffa meraih tangan gue lalu menggandengnya. "Iya."

"Aku minta maaf juga," ucap gue setelah mengumpulkan keberanian untuk meruntuhkan segenap ego gue.

Gue nggak bisa melihat ekspresi Daffa dengan jelas karena lampu jalan yang redup. Dan sepanjang jalan banyak rumah kosong yang terbengkalai ditinggal pemiliknya.

"Buat apa?"

"I've been ignoring you all day."

"Kak, mau peluk, deh."

Daffa ikut berhenti ketika gue menghentikan langkah. Dia langsung memeluk gue yang mana bikin gue tenggelam di badannya. Walau udah kecampur bau masakan dan bau rumah gue, wanginya Daffa masih menusuk dan gue harus mengakui gue kangen banget sama dia. Gue merasa bersalah banget sama dia.

Sehari nggak dikabarin aja gue rasanya mau hilang akal. Gimana ntar kalau dia KKN?

"Jangan nangis lagi," katanya memelas. "Kalau sebel sama aku ngomong. Jangan dipendem sendiri terus nangis."

Gue menarik napas dalam-dalam. Baru diomongin gitu aja air mata gue udah kembali menggenang di pelupuk.

"Iya," jawab gue dengan suara bergetar.

"Tuh, kan, baru aku bilang jangan nangis."

"Gak bisa!" seru gue frustasi lalu mulai tersedu-sedu entah kenapa. Sisa-sisa emosi tadi sore dicampur rasa bersalah dan sedih kayaknya udah memuncak sampe gue nggak bisa tahan lagi. "Maafin."

Daffa menghela napas panjang terus usap-usap kepala gue pelan. "Ssh iya iya, yaudah nangis aja gapapa. Jangan minta maaf lagi."


-

over everythingWhere stories live. Discover now