28. uring-uringan

99 16 4
                                    

Curhat sampe nangis-nangis dramatis yang gue kira bakal bikin lega ternyata cuma mitos belaka. Pasalnya, setelah dari rumah Bara waktu itu mood gue makin berantakan sampe-sampe gue capek sendiri. Nggak ada hari terlewati tanpa tiba-tiba nangis, atau tiba-tiba ngerasa kosong, atau tiba-tiba kesal sendiri, dan kalau udah kayak gini gue jadi jauh lebih sensitif dari biasanya. Untungnya, gue nggak perlu maksain buat mengisolasi diri karena emang pada dasarnya gue selalu mood buat sendiri, dan dua hari terakhir juga gue ditinggal sendiri di kosan karena yang lain punya acara masing-masing.

Gue pernah bilang kalau gue nggak pernah kepikiran Daffa lagi kecuali saat nggak lagi ada kerjaan, dan saat-saat ini adalah salah satunya. Kalau kata orang fase pasca putusnya cewek diawali dengan galau dan nangis, mungkin gue sebaliknya. Udah lebih dari tiga bulan putus dan gue nangis-nangisnya baru sekarang ... kangen-kangennya baru sekarang seolah semua emosi yang selama ini gue tahan akhirnya tumpah juga.

Gue langsung terduduk waktu dengar pintu depan terbuka, tapi ternyata kalah cepet sama ketukan di pintu kamar gue bahkan sebelum gue keluar buat ngecek siapa yang datang.

"Masuk," ujar gue dengan suara sengau.

"Gelap banget kamar kamu," adalah komentar pertama yang dilontarkan Kak Irin waktu masuk kamar gue.

Emang sengaja gue gelapin. Niatnya biar gampang tidur, tapi gue nggak bisa tidur sama sekali.

"Udah makan?" tanyanya, gue menggeleng.

Dua hari ini kayaknya yang masuk perut gue bahkan nggak ada sesuap nasi sama sekali. Semua yang gue makan malah bikin mual.

"Aku bawa makanan dari rumah, tuh," lanjutnya.

"Ntaran aja, deh, makannya. Belum laper."

Dengar suara gue yang persis orang abis nangis gini, Kak Irin menghela napas berat.

"Lagi ada masalah, ya?"

Gue mengangguk. "Cuma ... lagi gak mood ngapa-ngapain aja."

"Dari kemarin-kemarin itu? Udah hampir seminggu, loh," tuturnya yang bikin hati gue rasanya makin berat. "Kalau ada yang ganjel cerita aja. Jangan ditahan sendiri."

Gue mengerjapkan mata. Kalau cerita juga kayaknya bakal terdengar konyol. Masa gue yang sebelum-sebelumnya baik-baik aja terus mendadak jadi kayak gini? Terlebih Daffa kayaknya baik-baik aja tanpa gue, dan gue masih berpikiran dia udah punya yang baru walau beberapa kali ketemu dia tetep baik sama gue daripada menghindar kayak apa yang gue coba lakukan.

"Gapapa," jawab gue pelan. "Cuma lagi kepikiran."

"Mau cerita?"

Gue mengangguk. "Tapi jangan diketawain."

"Ya, masa orang lagi sedih aku ketawa?"

Setelahnya cerita gue mengalir gitu aja, dan seraya bercerita, gue sadar kalau yang bikin gue uring-uringan selama ini bukan cuma Daffa, tapi gue juga. Susah payah gue mengakui ini, tapi mungkin kalau waktu itu gue nggak dengan gampang mengiyakan ajakan putusnya Daffa kita nggak bakal kayak gini. Gue nggak akan uring-uringan menumpahkan semua kekesalan dan kesedihan gue atas semua pertanyaan yang nggak pernah gue layangkan. Namun di sisi lain gue rasa juga mungkin memang udah jalannya putus ketika gue inget Daffa bohong soal ke panti bareng Sonia. Dan ke mana dia di malam Bara kecelakaan sampe jaketnya bau alkohol. Dan siapa cewek yang waktu itu bareng dia di mall.

Dan apa dia udah punya cewek baru.

Dan fakta kalau Daffa sebenarnya punya lingkaran pertemanan yang luas. Nggak cuma friendly, dia juga populer di kalangan perempuan, makanya gue disinisin cewek-cewe fakultasnya, jadi sebenarnya gampang aja bagi Daffa buat move on dari gue.

Dan lagi gue berpikir mungkin emang kita baiknya putus. Kata-katanya setelah putus dari gue, gue rasa lebih berlaku buat dia. That he deserves better.

"Ada baiknya nggak, sih, kamu ketemu dia dan ngomongin hal yang belum jelas?" saran Kak Irin setelah gue mengakhiri cerita. "Daffa juga belum pernah hubungin kamu kan setelah putus?"

Gue mengangguk. Soal dia belum hubungin gue setelah putus gue ambil sebagai tanda kalau dia emang nggak mau berhubungan sama gue lagi. Tapi tiap ketemu langsung hal itu bertentangan sama sikap dia.

"Nggak tau." Gue mengedikkan bahu. "Mungkin aku emang cuma lagi bad mood."

"Enggak semuanya seenteng bad mood kali," katanya kemudian. "Lagipula kamu gak tau, kan, keadaan dia kayak gimana. Belum tentu dia baik-baik aja kayak yang kamu pikirin."

Gue mengingat perkataan Kak Irin sepanjang siang, tapi ego gue keukeuh kalau apa yang gue liat adalah gimana Daffa sebenarnya.

Sorenya HP gue berdering dan gue membeku sekian detik sambil menatap nama kontak yang muncul di layar HP. Gue kira gue mulai gila sampe ngebayangin yang enggak-enggak, tapi yang nelfon memang ibunya Daffa.

"Halo tante," sapa gue sedikit kaku.

Udah berbulan-bulan gue nggak ketemu atau ngobrol sama dia dan sekarang gue jadi kepikiran ada apa sampe repot-repot nelfon gue?

"Halo Mei. Ya ampun, Mei, udah lama gak main ke rumah," serunya, lebih riang dari yang gue pernah dengar.

Gue menahan tawa canggung seraya mengernyitkan dahi, nggak tau mau jawab apa. Nggak ada lagi alasan buat main ke rumah ketika gue sama Daffa udah nggak ada apa-apa. Untungnya sebelum keadaan jadi terlalu canggung, dia melanjutkan.

"Mei lagi sama Daffa gak?"

"Nggak tante," jawab gue mendadak merasa aneh. "Ada apa, ya, tante?"

Sebuah helaan napas berat terdengar di ujung telfon dan gue menggigit bibir untuk mendengar jawaban apapun darinya.

"Daffa nggak pulang ke rumah udah tiga hari," tuturnya. Nada riang yang sebelumnya luntur digantikan dengan setitik kekhawatiran. Seolah menular, gue juga langsung dihantui rasa khawatir.

"Dia ... gak kasih tau tante mau ke mana?"

"Enggak," katanya sendu. "Kalau kamu lagi sama Daffa atau ketemu Daffa nanti, bilang suruh kabarin Ibu ya, nak. Gak apa-apa kalau belum mau pulang, tapi bilang dia buat kabarin Ibu ya."

Gue menelan ludah. Dengar perkataannya barusan bikin gue ikutan sedih juga. "Iya tante, nanti aku bilang sama Daffa."

-

over everythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang