30. akhirnya

123 14 15
                                    

"Aku maunya kesempatan kedua, kamu bakal kasih gak?"

Gue mengerjap, merasakan kelunya lidah gue yang biasanya bakal spontan berucap nggak. Mungkin kespontanan untuk bilang nggak itu cuma jawaban gegabah yang dilayangkan kalau penanyanya bukan Daffa. Atau mungkin gue masih terlalu syok dengar pertanyaannya dengan otak gue yang terpaku kalau Daffa udah punya cewek baru entah yang mana itu.

Perlahan gue merasakan sesuatu yang mengganjal dada gue, memberatkan napas yang berujung bikin sesak. Daffa masih menatap gue penuh harap, tapi gue membuang muka, masih bertahan dengan benteng yang gue bangun sebenarnya entah untuk apa.

Merasa pertahanannya runtuh, gue menarik kedua lutut gue untuk dipeluk dan membenamkan separuh muka gue di antaranya.

"Cerita," gumam gue.

Daffa nggak langsung menangkap ucapan gue yang terdengar samar. Dia menunduk, mencoba menangkap tatapan gue, dan itu bikin gue semakin merasa lemah. "Cerita apa?"

Gue mengedikkan bahu. "Semuanya. Apapun yang bikin aku ngerti."

Daffa membetulkan posisinya, merentangkan kedua tangannya ke belakang buat menyokong badannya. Gelagatnya lebih rileks daripada beberapa menit yang lalu, tapi dalam jarak waktu yang cukup lama, dia cuma menarik dan membuang napas kasar tanpa ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Mungkin terlalu banyak yang harus diceritakan, mungkin juga nggak ada sama sekali.

"Gak nyampe sehari putusin kamu lewat telfon aku ngerasa kayak manusia paling bodoh sedunia," mulainya. "Aku bener-bener kebawa emosi. Sejak tau kamu pergi sama Raka, terus juga keluarga kamu taunya Raka masih pacar kamu, yang ada di otak aku cuma kamu emang pantesnya sama Raka.

"Aku jadi kepikiran, selama pacaran kamu gak pernah bilang kamu sayang aku sama sekali, ya mungkin itu bukan gaya kamu, tapi manis-manis atau gemes-gemes di depan aku pun bisa keitung jari. Beda sama waktu kamu pacaran sama Raka, kayaknya dia sampe diabetes dimanisin kamu terus.... Dari situ aku mikir, oh selama ini aku cuma jadi pelampiasan karena kamu belum bisa move on dari Raka ya?"

Mata gue mulai berkaca-kaca, rasanya pengen membantah semua asumsi dia yang salah, tapi tangis gue dipastikan pecah kalau gue buka suara. Gue nggak pernah sekalipun menebak jalan pikirannya ternyata sejauh itu, dan setelah dia melontarkan hal-hal tersebut, gue sadar gue memang nggak pernah menyatakan perasaan gue yang sejujurnya maupun bersikap manis di depan dia. Tapi karena gue belum move on dari Raka, tuh, tebakan yang jauh melenceng. Faktanya gue selalu menahan diri untuk menunjukkan perasaan gue yang sebenarnya karena gue takut gue bakal jatuh semakin dalam, semakin terikat, dan semakin nggak bisa lepas dari dia.

Buktinya, di saat yang gue tunjukin kebanyakan cuma sisi galak pun gue masih susah lepas dari dia. Gimana kalau beneran gue bersikap manis dan sayang-sayangan sama dia secara frontal?

"Makanya aku gak pernah hubungin kamu lagi," lanjutnya. "Aku selalu pergi sama siapapun yang bisa aku ajak pergi termasuk Sonia, cewek yang waktu itu aku ajak ke mal, Bang Satria, siapapun. Aku kira kamu beneran balik sama Raka, jadi aku juga harus dapetin kebahagiaan yang sama atau bahkan lebih."

Tawa gue muncul sembunyi-sembunyi. Pemikiran kita sama persis makanya nggak ada satupun yang berani ngaku atau bikin pergerakan bahkan di titik keadaan kita udah sama-sama berantakan kayak gini.

Agaknya Daffa sempat melirik gue karena sepersekian detik kemudian dia ikut terkekeh, menertawakan kebodohan kita masing-masing.

"Tau gak apa yang lebih menakutkan daripada lift yang waktu itu ngebuka sendiri di rumah sakit?"

Gue menyeka air mata lalu menoleh ke arahnya. "Apa?"

"Waktu tau kamu datang sendiri dini hari kayak gitu," jawabnya pelan. "Ngerti gak, sih, kamu keluar sendiri jam segitu, tuh, bisa bahaya? Bisa ada kecelakaan atau hantu atau.--"

over everythingWhere stories live. Discover now