15. makan-makan

90 17 4
                                    

Gue menelan ludah, berusaha buat berbaur sama keadaan yang kurang-canggung-gimana-lagi-coba sekarang. Mama bener-bener ngajak orang yang dia maksud sebagai pacar gue buat makan bareng dan orang tersebut juga menyetujui ajakan Mama. Jadi, berakhirlah kita di sini, gue sekeluarga beserta Raka, mantan gue.

Waktu tau Raka beneran menyetujui ajakan Mama, gue antara kaget gak kaget sebenernya. Seorang Jibran Rakaditya mana bisa menolak ajakan apalagi dari orang terdekatnya? Tapi gue masih gak percaya dia gak beralasan buat gak datang karena, ya, kita udah putus hampir setahun lalu dan dia tau sekarang gue udah sama Daffa.

Salahnya memang di gue nggak kasih tau keluarga kalau gue sama Raka udah putus. Tapi itu semua karena mereka sayang sama Raka udah kayak sayang ke anak sendiri. Gue bahkan sempet ragu mereka bakal menerima Daffa kalau-kalau gue kenalin dia suatu hari nanti.

Mikirin Daffa bikin dada gue tambah sesak. Harusnya gue lagi ke panti sama Daffa sekarang. Harusnya gue gak lagi mikirin gimana cara kasih tau Daffa kalau hari ini gue makan bareng mantan dan keluarga gue. Harusnya gue gak mikirin reaksi Daffa ketika dia tau nanti. Daffa selalu santai soal apapun, kecuali hal yang berkaitan sama mantan gue dan orang-orang terdekatnya.

"Kamu kapan main-main ke rumah lagi?" tanya Mama yang bikin gue mendongakkan kepala.

Raka melirik ke arah gue dan gue cuma bisa diam, merapatkan bibir tanpa tau harus ngomong apa. Aneh. Gue yang dulu bisa langsung deg-degan dalam radius sekian meter dari Raka sekarang malah udah nggak ada sensasi berdebar-debar atau salah tingkah walaupun orangnya duduk tepat di hadapan gue.

"Kapan-kapan, tante, kalau udah gak sibuk lagi," jawab Raka dengan sopan.

Seolah acara makan ini udah berubah jadi acara meet n greet sama Raka, dia mulai dibanjiri pertanyaan dari Papa, Mama, Kak Kiana, dan bahkan Alta, adik gue.

Alta yang berniat masuk arsitektur semangat banget karena dia tau Raka juga kuliah di fakultas yang sama dengan jurusan impiannya itu. Biasanya dulu gue juga semangat banget kalau udah ngobrol bareng gini, tapi sekarang rasanya udah beda. Berada di ruangan yang sama sama Raka bikin gue merasa terisolasi, seolah ini bukan tempat gue.

Kalau dipikir-pikir sedih juga, seseorang yang dulu sepenuhnya mengisi ruang di hati, sekarang malah terasa asing.

Senyum gue merekah waktu dapet notifikasi dari Daffa, dan gue cepet-cepet permisi ke toilet. Daffa ngirimin foto dia lagi sama orang-orang di panti yang sepersekian detik disusul chat dia yang berbunyi:

Liat, yg kangen kamu bkn cuma aku tapi mereka juga. Ayo main lagi!!!!

Btw have fun sm keluarga kamu, salam dari aku ya😬

"Kamu selingkuh dari Raka?"

Pertanyaan itu bikin gue cepet-cepet mengunci HP dan masukin balik ke dalam tas. Kak Kiana berdiri di hadapan gue, alih-alih menatap gue dengan tatapan menghakimi, dia lebih keliatan bingung. Gue kaget bukan main waktu denger pertanyaan itu.

Dulu waktu gue awal deket sama Daffa sebagai temen, banyak banget rumornya yang bilang gue selingkuh dari Raka. Dan rumor itu bikin gue risih karena kemanapun gue pergi pasti ada yang sinisin. Padahal nyatanya nggak gitu, emang dasar orang-orang hobinya ngambil kesimpulan sendiri.

Gue menggeleng lalu cuci tangan di wastafel. "Enggak ada yang selingkuh."

Kak Kiana masuk bilik toilet, tapi tetep menginterogasi gue berhubung gak ada siapa-siapa juga.

"Kamu barusan senyum-senyum sendiri dapt chat dari cowok lain, siapa namanya?"

"Daffa," jawab gue jujur.

Gue paling gak bisa bohong sama dia. Gimanapun keadaannya pasti dia yang selalu jadi orang pertama yang perhatiin segala perubahan sikap gue.

"Nah itu," balas Kak Kiana. "Ditambah, kalian dari tadi diem-dieman."

"Daffa pacar aku," jawab gue pelan.

Kak Kiana gak menyahuti sampe dia keluar bilik dan cuci tangan. Untuk beberapa saat, dia diem, menatap gue lewat cermin dan itu gue artikan sebagai sinyal buat gue meneruskan cerita.

"Aku sama Raka udah putus," mulai gue.

"Sejak kapan?"

"Hampir setaun? Sepuluh bulanan kayaknya?"

"Dan kamu gak kasih tau Mama sama Papa?" kata Kak Kiana gak percaya. "Kamu tau, kan, gimana sayangnya mereka sama Raka? Alta juga."

"Justru itu!" timpal gue frustasi. "Kakak bisa bayangin gak, sih, gimana reaksi mereka kalau aku cerita yang sejujurnya? Kayaknya mereka bakal lebih kecewa daripada waktu aku gagal SBMPTN."

Kak Kiana meraih tangan gue lalu meremasnya seolah dia lagi menyalurkan semangat. Gue mendongak, menatap dia dengan tatapan sendu, tapi air muka Kak Kiana tetap tegas.

"Cepet kasih tau Mama sama Papa, ya," katanya. "Kalau kamu terus pura-pura gini, yang sakit bukan cuma mereka, tapi Raka sama Daffa. Kamu juga."

Gue biasanya nggak suka dikasih tau mengenai apapun itu, termasuk apa yang harus dan gak harus gue lakukan. Tapi Kak Kiana punya poin skakmat di argumennya barusan. Jadi gue nggak mendebat lebih lanjut. Toh ini bisa jadi tamparan buat gue agar nggak sembunyiin masalah terus. Gue nyakitin semuanya kalau terus-terusan bohong gini. Tapi gue nggak mungkin bilang sekarang. Nggak secara langsung, nggak di depan Raka.

pft

over everythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang