25. pendekatan

96 16 13
                                    

Tyas nggak bercanda waktu dia bilang udah ikhlasin Adnan. Buktinya baru dua bulan lebih putus sama Adnan, roman-romannya dia udah ada gandengan baru aja. Nggak, gue nggak berpikir kalau itu terlalu cepat karena sejujurnya, gue sama Daffa juga jadiannya dua bulan setelah gue putus sama Raka. Ya, kalau ikutin motifnya, sih, harusnya gue juga udah punya yang baru lagi sekarang, yang mana menjadi alibi buat Tyas agar gue ikut sama dia pergi ke acara food festival yang nggak cuma ada makanan katanya, tapi ada gigs dari berbagai macam penyanyi juga.

"Please?" mohon Tyas sembari menautkan jemarinya. "Temen gue bawa temen juga, kok, jadi ntar bisa ya ... sekalian pendekatan atau apalah."

Gue melipat tangan di depan dada seraya menaikkan alis. Kalau boleh terlalu percaya diri, rasanya Tyas sengaja maksa gue ikut buat dicomblangin sama cowok baru. Bukan hal yang tabu juga, sih, dia kan memang kenal banyak orang. Tapi demi menghindari rasa kecewa kalau-kalau tujuannya murni meminta gue buat temenin, gue mengubur prasangka tadi dalam-dalam.

"Tapi ntar jangan keasikan sama cowok lo." Gue mencebikkan bibir. "Ntar tau-tau gue ditinggal sendiri lagi."

"Nggak, pokoknya lo gak akan ditinggal sendiri, deh, kan ada temennya dia juga nanti," katanya sambil ketawa polos.

"Ish, yang bener?! Asalkan jangan tinggal gue pulang aja ntar. Kalo ditinggal gue marah pokoknya."

Tyas cuma nyengir, dan walaupun gue tau gue nggak bisa berekspektasi banyak, gue tetep nemenin Tyas buat pergi ke acara itu.

-

Gue lagi ngedumel gara-gara gebetannya Tyas dan temennya itu lama banget datangnya waktu Tyas tiba-tiba nunjuk sesosok cowok bersweater hitam yang memghampiri kita. Alis gue bertaut karena rasanya cowok ini familiar, tapi lupa gue ketemu dia di mana.

"Lo inget gak Satria yang waktu itu ikut malam taun baruan?" tanya Tyas yang kemudian menyambungkan jaringan di otak gue tentang cowok itu.

"Inget," jawab gue. "Lo gimana bisa deket sama dia?"

Sebelum Tyas sempat jawab, Satria udah nongol di depan kita dengan cengiran yang lebar banget seolah dia habis menang lotre barusan. Di belakangnya menyusul sosok cowok mungil yang manggil-manggil nama Satria.

Satria nggak menggubrisnya, dia malah terlihat panik waktu liat wajah gue. Memangnya gue setan sampe dia harus panik begitu?

"Mei, kan?" katanya. Gue mengangguk.

"Tungguin kek, semangat banget mentang-mentang mau ketemu gebetan," sungut si cowok yang menyusul di belakangnya. Muka Tyas langsung tersipu waktu dengar hal itu.

Ckck anak muda lagi kasmaran gini amat, sih.

"Yeu, lo nya aja yang lama," kata Satria nyaring. "Mei, ini Kenta. Dia orang Jepang gadungan makanya lancar ngomong bahasa, apalagi kalau ngomong kasar."

Gue ketawa canggung lalu salaman sama Kenta. Well, dia emang jelas keliatan beda dari orang lokal. Matanya lebih sipit dan beberapa fiturnya nggak mirip orang Indonesia pada umumnya. Tapi ngomongnya memang lancar.

Kenta senyum lebar waktu menerima jabatan tangan gue. Ada gingsul yang bikin senyumnya manis, dan melihat sekilas dari apa yang ditunjukkan Kenta, dia keliatannya orang yang ceria dan juga ramah. Jadi, mungkin gue sama sekali nggak keberatan kalau ditinggal sama Kenta.

"Ken, lo jagain Mei, ya. Atau sekalian ikut kita juga bisa," kata Satria.

Kayaknya mereka mau langsung nonton gigs, tapi gue laper. Gue melirik Kenta.

"Eh, tapi gue nung--"

"Udah jalan aja duluan," potong Satria.

Dia sama Tyas jalan duluan sementara gue dan Kenta mikir dan berdiskusi juga apa mau makan dulu atau ikut Satria sama Tyas. Kenta, sih, bilang dia lagi nunggu temennya dulu, jadi gue berbesar hati buat mengalah dan nungguin temennya Kenta.

Untungnya kita nggak perlu canggung-canggungan karena Kenta anaknya enak diajak ngobrol. Dia cerita kalau sebenernya dia, tuh, bukan orang Jepang gadungan, melainkan campuran Jepang yang besar di Indonesia. Makanya dia bisa fasih, dan gue nggak seharusnya dengerin kata Satria.

Gue cuma ketawa aja karena Kenta kayaknya menganggap hal itu serius sedangkan gue tau maksudnya Satria cuma bercanda. Di saat yang bersamaan, sebuah suara menghampiri kita berdua. Dahi gue mengernyit mendengar suara yang cukup familiar.

"Daffa!" panggil Kenta semangat ketika yang disebut namanya menghampiri.

Gue sempat komat-kamit, berharap kalau itu bukan Daffa yang sama tapi percuma. Waktu dia udah berada di jarak dekat, baru gue bisa liat kalau itu memang Daffa gue. Daffa yang dulunya milik gue. Tapi sekarang kayaknya dia udah jadi milik orang lain karena dia datang dengan sosok cewek di yang berjalan di sampingnya.

Sial.

-


over everythingOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz