17. marks

124 16 56
                                    

[🚨 read at your own risk! contains some SLIGHT inappropriate things. if you're uncomfortable pls just skip, thanks.]


Selama udah nggak ada kelas lagi, gue jadi mager total buat ke mana-mana. Ke kampus sekali pun rasanya berat kalau bukan karena Daffa yang maksa, dan hari ini juga masih belum beruntung karena gue nggak ketemu atau sekedar papasan sama dosennya. Dibales WA-nya pun nggak. Berujung gue cuma diem di perpustakaan sambil sedikit baca-baca dan nungguin Daffa selesai kelas sebelum akhirnya dia ikut balik ke kosan.

"Semoga dosennya diberikan hidayah," kata Daffa setelah denger cerita gue yang bertubi-tubi.

"Aamiin," sahut gue.

"Kak, aku minta itu dong, yang bulet-bulet buat jerawat," katanya waktu kita memasuki kosan.

Gue mengernyitkan dahi, nggak paham maksudnya apa sampe gue nengok dan perhatiin mukanya cukup lama.

"Pimple patch?"

"Nah, iya! Bagi, nih, liat jerawat baru muncul, kayanya kangen kamu dari kemaren-kemaren."

"Bacot, ih," tukas gue yang ditanggapi Daffa dengan mencebikkan bibir. "Tunggu—"

Perkataan gue terputus waktu liat Bila lagi nugas di ruang tengah. Sama cowoknya, Abil. Niat gue yang awalnya mau menyuruh Daffa buat nunggu di sana jadi pupus. Bisa habis mereka berdua diisengin Daffa.

"Eh, ada dua sejoli," sapa Daffa yang bikin Bila mendengus, tapi malah diladenin sama cowoknya.

"Eh ada dua sejoli juga," balas Abil. "Sekarang jadi empat sejoli."

"Kalian lagi nugas, ya?" tanya gue basa-basi.

"Iya, nih," jawab Bila.

"Gue enggak," jawab Abil. Jayus banget ya Allah sebelas dua belas sama si Daffa. Abil kemudian nunjuk Bila dengan dagunya. "Nih, gue nemenin dia nugas."

Gue manggut-manggut. Sambil mikirin gimana caranya biar gak terjadi Perang Dunia ke-tiga, gue mematung sejenak di sana sampe akhirnya Tyas melengos lewat menuju kamarnya dari dapur. Wow. Dia bahkan gak nyapa Daffa atau kita-kita yang ada di sini. Gue hampir membuka mulut buat nyapa Tyas kalau aja gue nggak sadar matanya sembab, dan raut mukanya menunjukkan dia sedang dalam mood yang nggak baik.

Waktu gue melirik Bila, dia langsung menangkap sinyal gue dan mengisyaratkan sesuatu yang beberapa saat kemudian gue interpretasikan kalau Tyas baru putus sama pacarnya.

"Ayo, Daf."

Gue menarik tangan Daffa menuju kamar tanpa pikir dua kali. Gak mungkin gue nimbrung sama Bila dan Abil di sana. Kebayang gimana perasaannya Tyas yang lagi campur aduk gitu ngeliat isi kos dipenuhin sama pasangan. Masalahnya Tyas sama Adnan, tuh, paling adem ayem. Gak pernah ada masalah, gak pernah keliatan ribut atau cekcok, terus gak nyangka banget ujung-ujungnya mereka putus.

Tapi, ya, namanya hubungan memang nggak bisa ditebak. Yang dari luar keliatannya paling akur sekalipun kita nggak tau seberapa banyak yang harus mereka hadapi dan sembunyikan. Apapun itu alasan mereka putus, gue harap Tyas nggak terlalu lama terpuruk.

"Kenapa tadi, kak?"

Gue menoleh ke Daffa lalu mengutuk dalam hati. Sial. Sekarang Daffa udah di kamar gue, gue nggak tau mesti gimana. Daffa ke kamar gue cuma sekali dua kali, itu pun nggak lama-lama—atau dia numpang tidur, tapi guenya nunggu di luar.

"Gapapa," jawab gue sambil menaruh barang-barang ke tempatnya masing-masing. "Pimple patch nya di kotak make up, tuh, cari aja. Aku mau mandi dulu."

over everythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang