43. gerimis

66 10 4
                                    

[ f l a s h b a c k ]




Siapa yang sangka kalau ternyata ujung-ujungnya gue bakal deket juga sama Daffa? Padahal kita kayaknya nggak punya satu pun kesamaan yang bisa buat diobrolin, malah selalu ribut karena dia nggak suka hal yang gue suka dan sebaliknya. Kayak film romansa, atau milk tea, atau banyak hal lainnya. Tapi walaupun begitu dia udah kayak Bara kedua yang selalu nemenin kalau gue lagi butuh.

Waktu itu gerimis, gue baru dua mingguan putus sama Raka dan masih ada galau-galau sedikit tiap inget dia.

"Bareng gak?"

Mobil Daffa waktu itu terparkir di depan fakultas gue, tapi dia nggak keliatan kayak sama-sama baru kelar kelas.

"Nggg...gak deh," jawab gue sembari nutupin kepala pake tangan.

"Hujan, emang lo bawa payung?" terornya. Nggak, sih, cuma gue lagi nggak pengen balik ke kos, dan mengetahui fakta kalau orang-orang kampus tuh mulutnya pada nyinyir, jadi gue ragu. "Cepet masuk tar sakit ribet."

Gue mendecak pelan terus masuk mobil juga akhirnya. Begitu duduk, kepala gue langsung ditaroin tisu sama Daffa, bikin gue noleh dengan bingung, sampe-sampe telat ngehnya kalau mobil dia sedikit bau rokok.

"Lo mau langsung balik?" tanya dia, jelas-jelas mengalihkan fokus gue.

"Nggak pengen..."

"Terus mau ke mana, nih?"

Gue mengedikkan bahu. "Ke kos lah?"

Daffa langsung pasang muka heran. "Lah, katanya gak mau balik? Gimana, sih?"

"Ya abis emang mau ke mana lagi?"

"Maksudnya kalau lo mau ke mana gitu gue temenin," jelasnya.

Masalahnya gue nggak tau pengennya ke mana. Kalau mau berhenti di mana gitu gue males. Cuacanya lagi dingin banget, hujan dari pagi, yang mana sebenarnya enak buat gulung-gulung di kamar kosan. Tapi kalau gue balik ujung-ujungnya bakal ngurung diri juga.

"Emang lo lagi senggang apa?"

"Ya, buat lo mah gue senggang-senggangin," katanya sambil senyum kecil.

Gue ketawa pelan walau nggak dipungkiri juga merasa aneh. Ngaco banget, sih, Daffa yang biasanya iseng tiba-tiba serius gini?

"Alah, basi!" tukas gue.

"Gue serius, nih," keukeuhnya tapi gue memilih buat nggak nanggepin.

Tiba-tiba inget kata Tyas kalau dia itu playboy kampus.

Dengan keputusan yang nggak jelas, kita berujung keliling kota, ngelewatin jalan-jalan kecil yang nggak pernah gue tau sebelumnya. Sejujurnya gue agak nggak enak sama dia karena ngerepotin banget gue yang abis putus dia yang kena? Mana sepanjang jalan kita kebanyakan diem. Yang bunyi cuma radio.

Gue cuma ngitungin air hujan yang jatuh di jendela. Sumpah dangdut banget, kalau nggak ada Daffa mungkin gue udah nangis dan berlaga kayak di video klip sedih.

"Laper gak?" tanya Daffa memecah lamunan gue.

"Lo udah makan belum?"

"Kebiasaan lo deh, ditanya malah nanya balik," komentarnya sembari memutar mata. "Gue belum makan ini, makanya mau ngajakin lo makan."

"Yaudah, tapi gue males turun turun..."

"Siap, tuan putri!"

Pada akhirnya kita pesan drive thru fast food. Dan baru setelah kita dapet makanan, obrolan mulai ngalir gitu aja.

"Lo terakhir putus kapan?"

Pertanyaan yang tanpa pikir panjang itu keluar dari mulut gue, bikin gue sama Daffa sama-sama kaget.

"Hmm udah ada hampir setaunan kali," jawabnya tanpa sedikit pun merasa terusik. "Lo kenapa putus sama mantan lo yang sekarang?"

"Ya gitu, dia sibuk, terus gue ngerasa makin ke sini makin hambar."

"Tapi lo galau," sambarnya.

"Iya tapi gue kayaknya lebih galauin kenangannya daripada orangnya. Paham gak?" tanya gue.

Daffa manggut-manggut. Tangannya sibuk banget dua-duanya pegang setir, tapi yang satu pegang burger juga, yang satunya lagi kadang ngoper gigi.

Gue yang risih liatnya akhirnya ambil alih burger dia.

"Bahaya tau multitasking sambil nyetir," ucap gue.

Daffa, untuk sepersekian detik, keliatan kayak abis liat hantu. Ekspresinya kosong sebelum dia akhirnya berdehem.

"Kak, minum dong, tolong," pintanya amat sopan sampe kali ini gue yang heran.

Gue menatapnya skeptis sebelum nyodorin dia minum. Lalu nyuapin dia makanan lagi, udah persis kayak anak kecil. Bedanya anak kecil yang ini udah bisa nyetir.

Bensin mobilnya Daffa kayaknya udah hampir abis karena kita muterin kota dari siang sampe hampir gelap. Gerimisnya masih konsisten waktu dia nganterin gue ke kos. Bener-bener sampe ke depan bukannya di depan gang karena katanya takut gue sakit gara-gara nggak bawa payung.

"Makasih ya, makasih banyak pokoknya hari ini udah nemenin gue," kata gue sebelum turun dari mobil.

"Kak, soal yang tadi, gue serius," balasnya, bikin jantung gue mendadak sprint tanpa alasan jelas.

Yang tadi yang mana? Apaan?

"Apa..."

"Lo kalau butuh temen hubungin gue aja, buat lo mah beneran gue adain waktu."

Kan, lagi gue deg-degan.

"Ha! Makasih banget, tapi gak usah serius, ntar ada yang marah lagi," celetuk gue.

Daffa mengernyit. "Siapa yang bakal marah?"

Gue mengedikkan bahu. "Mana gue tau. Gebetan lo kali atau siapa gitu cewek lo yang mana? Udah ah gue turun ya, makasih! Bilang kalau lo udah nyampe rumah!"

Terus gue lari-lari kecil dari mobilnya dia ke dalam kos, disambut Tyas yang pasang muka nggak percaya.

"Lo balik sama Daffa?" tanyanya hampir histeris.

"Iya...emang kenapa?"

"Lo ada apa-apa ya sama dia?!"

"Yas, gue baru putus dari Raka masa iya sih udah ada apa-apanya sama Daffa."

Muka parnonya Tyas masih bertahan beberapa saat seterusnya.

"Ih jangan deket sama dia, maksudnya bukan jangan, sih. Terserah lo aja, tapi ati-ati dia brengsek!"

"Tenang aja, gak bakalan kok!" Gue meyakinkan dia lantas masuk kamar.

Tapi setelahnya gue malah jadi kepikiran banyak hal. Kayaknya salah banget, nggak seharusnya tadi keluar sama Daffa.

-


over everythingHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin