13. tumbang

98 17 17
                                    

Udah dipastikan besok pagi pas bangun tidur badan gue bakal pegel-pegel. Seharian ini, gue sama Daffa jalan-jalan tanpa tujuan di mall dan kita berakhir di toko furnitur, liat-liat perabotan sambil berkelana dari satu display ke display lainnya. Tentu aja semua ini ide gue karena Daffa mana mau jalan-jalan kayak begini. Sebenernya, gue juga agak ogah kalau harus ke tempat rame sama Daffa. Orang-orang selalu menatap kita dengan aneh karena perbedaan tinggi kita jauh banget. Tapi berhubung gue lagi males leyeh-leyeh di kos atau di rumahnya dia, jadilah kita berakhir di sini.

"Setelah aku itung-itung." Gue memulai ketika kita keluar dari salah satu display kamar tidur. "Dua milyar cukup gak, sih, buat bangun rumah sama isi-isinya juga? Eh, sama jasa arsitek juga? Kayaknya enggak, ya? Apalagi berapa taun ke depan pasti makin mahal semuanya."

Daffa mengernyit. "Gampang, udah, nanti aku kerja cari duit yang banyak biar kita bisa bangun rumah sendiri."

Gue tarik napas, udah bersiap buat menyerang balik sampe gue ngeh dengan omongan Daffa. Dengan ngomong kayak gitu, seenggaknya udah punya pikiran yang menjurus ke sana gak, sih.... Pipi gue dijalari panas seketika, padahal tadi maksud gue murni nanyain jumlah uang buat bangun rumah. Sumpah, gue bahkan gak ada niatan buat mancing Daffa ngomongin hal kayak gini.

Ngeliat gue yang mendadak diam, Daffa inisiatif menggandeng tangan gue--yang sama sekali gak membantu meredakan kecepatan detak jantung gue.

"Tangan kamu panas banget, ih," ujar gue sesaat setelah bisa kembali berpikir normal.

"Laper, udahan yuk," rengeknya.

Gue mendengus pelan. Ini pertama kalinya kita jalan setelah sekian lama pacaran kalau nggak di kos ya di rumahnya dia. "Bentar lagi, deh."

"Sekarang, deh," mohon Daffa. "Aku beliin milk tea."

Mendengar minuman favorit gue disebut, gue langsung sumringah dan ngangguk terlampau semangat. Akhirnya kita jalan keluar dari toko furnitur menuju stand minuman favorit kita.

Gue yang udah semangat mengira bakal dapetin milk tea dengan mudah, ternyata harus lebih sabar karena di tengah jalan Daffa ketemu temennya sampe-sampe dia ngobrol dulu. Lama. Gue nggak tau, sih, ini temen apa atau temen dari mana, tapi yang mereka obrolin nggak jauh-jauh dari temen yang lain yang belum ketemu lama sama mereka juga. Intinya gue nggak mengerti apapun yang lagi mereka bahas.

"Eh, cewek lo, nih?" tanya temennya seolah dia baru sadar atas presensi gue.

Daffa mengangguk dengan seutas senyum di bibirnya. "Kenalan dulu, kak."

Temennya yang nggak kalah tinggi itu mengulurkan tangan yang gue terima untuk salaman. "Mei."

"Wildan," ujarnya sambil senyum. Lalu dia nengok ke Daffa. "Kirain lo masih sama Sonia."

Ya elah.

YA ELAH.

Sonia lagi, Sonia lagi. Sonia, tuh, mantannya Daffa yang paling ikonik deh kayanya.

Ekspresi Daffa langsung menegang sementara gue cuma pasang senyum manis.

"Gak, lah," katanya Daffa terus merangkul gue, seolah mau meyakinkan entah siapa kalau ceweknya dia yang sekarang ini ya gue. "Gue duluan, ya!"

Wildan ngangguk terus Daffa nuntun gue sampe kita nyampe di stand minuman. Selama itu nggak ada satupun kata yang keluar dari mulut kita. Padahal sebelumnya semangat banget cerita-cerita, dan gue ngerti Daffa jadi lebih berhati-hati bawa-bawa nama Sonia di depan gue setelah gue tau status mereka.

Daffa nggak perlu lagi nanya—dan gue nggak perlu bilang—minuman apa yang gue pengen karena dia udah hafal betul. Jadi ... suasana bener-bener mendadak sunyi. Kalau orang liat mungkin auranya kita kayak lagi berantem, padahal nggak.

over everythingWhere stories live. Discover now