2. Halo Manusia!

753 71 0
                                    

Hal yang paling menyiksa Zea minggu ini selain terus-menerus melihat hantu ialah duduk di depan Hafeez. Bayangkan saja setiap hari lelaki itu menarik rambut atau kursinya hanya untuk meminjam alat tulis. Yang dapat dipastikan jika dia tidak memintanya kembali maka pensil atau pulpen yang dipinjam lelaki itu tidak akan kembali.

"Yeayy jam kosong uhuy!" Gian yang duduk di pojok belakang bersorak kegirangan seraya berjoget saking senangnya, membuat beberapa perempuan di kelas itu menatap sebal kepada Gian yang bersorak keras mengganggu mereka.

Jam kosong seperti ini dapat dipastikan kalau akan ada gerombolan siswi duduk di depan kelas membentuk lingkaran yang membicarakan segala hal. Entah itu ayam tetangga yang mati atau sampai hal-hal kecil lainnya. Zea memilih duduk di bangkunya, menopang dagu menikmati lagu yang dia dengarkan lewat earphone.

Dia sedang malas saja bergabung untuk membicarakan hal-hal absurd. Selain itu ia juga tidak mau mereka tahu kalau dia memiliki kemampuan bisa melihat makhluk tak kasat mata. Hell, itu pasti akan membuat hidupnya tambah tidak tenang karena rentetan pertanyaan yang akan mereka tanyakan jika tahu akan hal itu.

Zea sendiri pernah memiliki teman sekelas sewaktu SMP yang dapat melihat hantu, ketika sekelas tahu, teman yang dia lupa namanya itu langsung dikerubungi dan dibanjiri berbagai pertanyaan. Seminggu kemudian, temannya tersebut dijauhi karena sering berbicara sendiri.

Sudahlah lagipula Zea tidak terlalu akrab dengannya. Berbicara saja hanya beberapa kali di kelas, entah untuk menanyakan pelajaran atau ketika piket bersama.

"Melamun saja terus sampai orang-orang selesai mendebatkan mana yang lebih dulu telur atau ayam." Lelaki di belakangnya menarik kursinya hingga perempuan itu terusik dan menoleh.

"Berhenti menarik kursi atau rambutku, Tuan Menyebalkan!" Zea menatap tajam Hafeez yang justru terkekeh kecil melihat ekspresi Zea.

"Dari tadi aku memanggil namamu, Nona Galak. Kau sengaja tidak mendengar atau memang benar-benar tuli?" tanya Hafeez sarkastik namun setelah mengucapkan itu lelaki berambut hitam tersebut tersenyum lebar.

Zea berdecak kesal lantas mematikan musik di ponselnya setelah itu melepas kedua earphone yang menyumpal telinganya. "Apa?"

"Wah pantas saja kau tuli mendadak, telinga saja kausumpal!" Lelaki itu kembali mengunyah permen karet. "Pinjam charger ponsel. Ponselku mau meninggal ini."

"Hish, berhentilah menggangguku." Perempuan itu mengambil charger hitam dari tas ranselnya lantas memberikannya kepada Hafeez dengan muka sebal. Kalau saja lelaki itu tidak mengatainya tuli pasti dia akan meminjamkannya dengan tenang.

"Sayangnya aku tidak mau." Hafeez mengedipkan sebelah matanya kemudian berlari menghampiri Riki dan Gian yang tengah main game.

"Manusia sialan." Akhirnya Zea memutuskan untuk memasang kembali earphonenya dan mengamati sekeliling kelasnya.

Sesosok wanita gemuk yang seminggu lalu memperkenalkan diri sebagai Selene menghampiri Zea dengan muka berseri, membuat Zea menatapnya heran. "Aku dan Tuan Terbalik itu tadi malam berkencan!"

Oke, perlu kalian tahu kalau seminggu ini Bibi Selene selalu berceloteh kepada Zea tentang betapa dia memuja Tuan Terbalik yang setahu Zea merupakan hantu di depan kantin. Hantu yang sering terbang di sekitar kantin dengan kepala berada di bawah dan kaki di atas, benar-benar terbalik seperti Bibi Selene dan beberapa hantu katakan.

"Ooh, selamat," ujar Zea datar. Dia masih malas berurusan dengan cerewetnya Bibi Selene. Untung saja hantu satu itu tidak memiliki wajah seram sehingga Zea tidak begitu takut jika dekat dengannya. Paling hanya sedikit merinding dan merasa dingin.

"Kami berkencan di perpustakaan dan banyak hantu di sana yang iri. Astaga Tuan Terbalik benar-benar membuatku merasa gila."

Ucapan Selene membuat Zea mengerutkan keningnya bingung. Hantu memiliki perasaan?

Bibi Selene tertawa terbahak-bahak melihat wajah serius Zea. "Tentu saja kami memiliki perasaan, toh dulu kami manusia. Walaupun memang ada beberapa hantu bar-bar."

"Kupikir perasan kalian sudah ikut ma-" Zea membekap mulutnya yang hampir saja melontarkan kata-kata yang mungkin akan membuat Selene sedih.

"Mati juga? Kurasa aku tidak." Selene tersenyum lebar kemudian berputar mengelilingi Zea membuat perempuan itu merasa merinding.

Zea melirik sekitarnya, ternyata tidak ada satupun yang heran atau mempedulikannya jadi dia bisa mengobrol dengan Bibi Selene. "Jadi mengapa kalian bisa menjadi hantu?" tanyanya dengan sangat pelan bahkan terdengar seperti bisikan.

"Mungkin karena belum saatnya kembali ke sana?" Bibi Selene berhenti mengelilingi Zea dan bersedekap di depan perempuan itu. "Sebagian dari kami masih ada urusan di dunia ini. Entahlah alasan lainnya aku tidak mengerti namun aku menikmati menjadi hantu asal bisa bersama Tuan Terbalik."

Selene terkikik pelan dan meninggalkan Zea yang masih menatap kepala belakangnya yang berlubang.

Zea menghela napas dalam-dalam lalu berjalan menuju bangku Dea kala perempuan berambut pendek itu memanggil namanya keras dengan suara melengking. Dia tidak tahan jika Dea terus menerus memanggil namanya dengan suara itu maka cara terampuh adalah mendatangi perempuan itu kemudian menyumpal mulutnya dengan segenggam garam, ah tidak, Zea tidak setega itu pada kawannya sendiri.

"Ada apa?" tanya Zea seraya menatap Dea.

Dea terkekeh pelan kemudian mengambil sebuah kotak dari lacinya. "Kau kukasih lolipop asal memberikan ini pada Gian atas namaku pulang sekolah nanti. Ayolah bantu aku Zee kau kan teman satu SMP dengannya."

Perempuan berambut kecokelatan itu nampak menimbang apa perlu dia membantu Dea. Astaga dari sekian banyak lelaki di kelas ini Dea malah tertarik dengan Gian yang sejak SMP dulu terkenal sebagai siswa berpenampilan urakan dan agak gila karena sering teriak-teriak membuat lelucon di kelas. Lolipop di tangan kiri Dea membuatnya mengangguk tanpa ragu dan Dea langsung menyerahkan dua benda itu padanya.

"Gian, ini dari Dea!" seru Zea keras yang membuat Dea memekik kaget dan hendak membungkam mulut Zea namun perempuan itu lebih dulu menghampiri Gian yang berjongkok dengan Hafeez dan Riki di dekat sumber listrik kelas mereka.

"Ini, katakan terima kasih pada perempuan itu." Gian menerima kotak itu kemudian mengernyit heran.

"Dari Dea," ujarnya ketika menyadari kelemotan Gian.

Gian langsung berdiri dan pergi dari tempat itu, meninggalkan dua temannya yang masih sibuk menggigit jari mereka sambil menatap layar ponsel yang Zea ketahui ponsel Hafeez.

Zea yang tengah menggigit lolipop pemberian Dea langsung membelalak kaget. "Kalian nonton hentai?" tanya Zea setelah melihat apa yang berada di layar ponsel Hafeez.

Hafeez dan Riki langsung berdiri dan menatap Zea. "Jangan adukan guru, oke?" ujar Hafeez dengan wajah memohon.

"Zea yang baik, cantik dan imut jangan adukan guru yaa, nanti gelar ketua kelas yang disiplin bakal tercoret. Yaaa," kata Riki, lelaki itu tersenyum manis berharap Zea luluh dengan senyumannya.

Perempuan itu mengendikkan bahunya tak peduli kemudian melangkah keluar dengan lolipop yang tinggal setengah.

Bulu kuduknya meremang dan suasana di sekitarnya mendadak menjadi dingin kala dia melewati laboratorium fisika.

"Hai manusia!"

•••

Huehehehehe mampus kamu Hafeez, ketauan nonton hentai di kelas sama Nona Galak😂

Kira-kira siapa ya yang bilang halo manusia itu? Kalau kalian pernah baca Braver pasti tau! (Promosi terselubung) 😂

Btw cerita ini genrenya fantasy yaa. Berhubung ada banyak hal berbau fantasy dan ini emang gak masuk horor karena gak serem

2 Januari 2018

Aku Bisa Melihat MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang