22. Pukulan Luar dan Dalam?

352 52 12
                                    

Zea langsung mengerjapkan matanya dan berseru sebal karena tidurnya terganggu. Ia segera meraih ponselnya dan menjawab panggilan itu tanpa melihat siapa yang menelepon dirinya. Ah, lelaki itu kenapa menelepon sepagi ini.

Gadis itu menghela napas dan menjawab sapaan yang baru diucapkan penelepon. "Iya halo. Kenapa, ini masih pagi sekali."

"Sungguh jika kau ada di depanku aku akan membasahi tulang keringmu. Ini sudah jam delapan, Jagung! Cepat bersiap." Lelaki di seberang sana terdengar marah-marah.

"Aku masih ngantuk." Zea menggaruk kepalanya beberapa kali kemudian menguap.

"Mandi, nanti kita ke sana menggunakan sepeda saja. Katanya mau membantu Bella!"

"Iya, kau nanti ke sini saja dulu. Bye, aku mau bersiap." Zea langsung menutup telpon dan melempar ponselnya ke kasur asal.

Gadis itu masih enggan untuk bangkit dan melakukan aktivitas mandi atau cuci muka. "Oh kasur, kau sungguh posesif denganku," bisiknya sambil mengelus kasurnya dan memejamkan mata.

Dengan malas dia mengumpulkan nyawanya yang entah ke mana saat ia tidur tadi. Kemudian Zea menyiapkan pakaian yang akan dia pakai, tak lupa gadis itu juga mencharger ponselnya. Sepertinya benda itu akhir-akhir ini ia gunakan terus menerus entah untuk memainkan game atau sekedar menonton anime.

"Ibu, nanti aku mau pergi," ujar Zea saat bertemu ibunya di dekat toilet.

Leena memicingkan matanya menatap Zea penuh selidik. "Ke mana? Sendiri?"

"Ke Taman Kota. Dengan temanku." Ia memutar bola matanya malas ketika ibunya masih menatapnya penuh penasaran.

"Temanmu siapa? Pasti dia punya nama." Leena sekarang melipat tangannya di depan dada. Zea jarang sekali ijin bermain, ini membuat dirinya agak senang namun juga penasaran.

"Ayolah, aku hanya dengan Hafeez, teman sekelasku." Handuk yang tadi ada di tangannya sekarang dia letakkan di bahunya. Sampai kapan ibunya mau menanyainya ini itu?

"Baiklah. Hati-hati ya." Wanita itu tersenyum kecil lantas berjalan meninggalkan Zea yang menggerutu sebal.

Ia segera membersihkan diri, setelah itu dia juga berganti pakaian. Zea mengenakan jaket denimnya lalu mencabut ponselnya dari charger dan memasukkannya ke kantong celana. Setelah itu perempuan itu menyisir rambutnya kemudian memakai sneaker putihnya. Zea mengikat rambutnya agar nanti tidak menyulitkannya saat bersepeda.

Ketika ia hendak pamit ke ayahnya yang tumben sekali hari minggu tidak bekerja, ia dikejutkan dengan munculnya hantu cilik di depannya. Hantu itu tersenyum lebar dan memamerkan bonekanya kepada Zea, sepertinya boneka itu sama dengan yang selalu dia bawa.

"Kakak mau ke mana?" tanya Abel dengan riang. Hantu cilik itu mengelus bonekanya dengan penuh sayang.

"Pergi," jawab Zea singkat. Ia memasukkan beberapa lembar uang ke saku jaket denimnya, untuk berjaga-jaga jika dia ingin jajan.

"Ikut boleh?"

"Okey, jangan berisik." Ucapan Zea barusan langsung diangguki Abel. Hantu cilik itu sekarang membuntuti Zea yang berjalan ke ruang tamu.

Di sana Zea dikagetkan dengan hadirnya alien—maksudnya Hafeez. Lelaki itu duduk tenang dan berbincang dengan ayahnya. Sesekali dua orang itu tertawa, entahlah mereka sedang membicarakan apa Zea tidak tahu. Gadis itu kemudian berjalan ke sana menghampiri ayahnya.

"Ayah aku ijin pergi," ujar Zea seraya sesekali melirik Hafeez yang sekarang terlihat sangat santai.

"Dengan Hafeez? Ah baiklah."

Aku Bisa Melihat MerekaWhere stories live. Discover now