20. Manusia yang Bisa Bernapas

357 55 11
                                    

"Sudah bersih," bisik Hafeez

Zea mengerjapkan matanya kemudian menatap Hafeez. "Aku ingin pulang."

"Ayo kuantar pulang. Lagipula kenapa kau jalan sendirian malam-malam." Lelaki itu membantu Zea berdiri.

"Aku hanya ingin membeli camilan. Aku membawa sepeda dari rumah." Kaki perempuan itu masih gemetaran akan tetaoi tangisnya sudah berhenti.

Hafeez berdecak lalu berjongkok. "Kau sangat gemetaran, mau kugendong?"

"Tidak. Aku bisa berjalan." Zea berjalan dengan gemetaran mendahului Hafeez yang kini sudah berdiri lagi.

"Kau pulang denganku okey?" Dia membantu Zea berjalan karena melihat perempuan itu berjalan sangat pelan dengan kaki gemetar. Apalagi ketika hendak melewati mayat-mayat itu.

"Tapi sepedaku?" tanya perempuan itu dengan suara bergetar ketika melewati mayat-mayat dengan kondisi begitu mengenaskan.

Ini adalah kali kedua dia melihat kematian di depan matanya.

"Tenanglah aku akan menyuruh seseorang untuk mengantarkannya ke rumahmu." Lelaki itu berhenti berjalan tepat ketika mereka sampai di mayat lelaki berambut biru.

Dia mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. Zea tidak begitu mendengarkan percakapan Hafeez dengan orang yang ditelpon. Dia sekarang fokus melihat mayat-mayat itu, mendadak ia merinding dan kakinya tambah gemetaran. Perempuan itu langsung mengalihkan pandangannya ke lelaki yang masih merangkulnya.

"Hafeez," bisik Zea pelan seraya mencengkeram lengan Hafeez ketika ia melihat tangan yang terpotong di depannya.

"Kau bersamaku, tenanglah. Sekarang loncati saja tangan itu. Oh ya, kau mau membeli camilan dulu?" tanya Hafeez setelah memasukkan ponsel hitamnya di saku celana. Ia membantu Zea meloncati tangan itu karena tubuh perempuan itu gemetaran.

"Iya. Terima kasih telah menolongku," ujar Zea pelan.

Hafeez mengacak rambut Zea seperti biasanya. Perempuan itu mendadak tidak galak. "Besok lagi jika tidak ada yang menemanimu pergi malam hari, kau bisa memintaku untuk menemanimu."

Gadis itu mengangguk patuh. Mereka sudah tiba luar gang itu. Sebuah motor hitam yang sangat berbeda dengan motor yang biasanya Hafeez gunakan terparkir bebas di tepi jalan. Zea tidak yakin jika dia bisa dengan mudah menaikinya. Motor itu terlihat tinggi.

Hafeez sudah mengenakan helm hitam full facenya. Ia menoleh dan mendapati Zea yang menggembungkan pipi. "Kau kenapa? Ah ini pakai helmnya."

Zea menerima helm cokelat yang diulurkan Hafeez. "Aku tidak yakin bisa menaiki motor itu dengan mudah."

"Pendek." Hafeez memukul-mukul pelan helm Zea hingga membuat perempuan itu mendengus sebal.

"Kau saja yang terlalu tinggi," desis perempuan itu sembari mencoba menaiki motor itu. Hafeez yang telah duduk tenang di sana tertawa karena Zea terlihat kesulitan.

"Mau kubantu?" Lelaki itu mengulurkan tangannya berniat membantu Zea namun perempuan itu sudah bisa duduk di jok belakangnya.

"Tidak. Ayo ke minimarket terdekat dari rumahku. Sepedaku masih di sana." Dia memukul pelan pundak Hafeez agar lelaki itu melajukan motornya.

"Kau pulang denganku," tegas Hafeez yang membuat Zea mendengus.

Pada akhirnya perempuan itu hanya mengangguk dan memegang tas yang dikenakan oleh Hafeez ketika lelaki itu melajukan motornya. Jalanan masih lumayan ramai. Sepertinya dia berlari terlalu jauh dari minimarket tempatnya memarkirkan sepedanya. Ya, ia bertemu keempat lelaki itu di depan minimarket dan dihadang ketika memarkirkan sepeda gunungnya.

Aku Bisa Melihat MerekaWhere stories live. Discover now