39. Tatapan Tajam Itu

345 44 20
                                    

Ulangan kenaikan kelas membuat kepala Zea pusing. Walaupun gadis itu sudah memahami materi dan sudah berulang kali mempelajarinya, tetap saja jika berhadapan dengan soal pasti ada beberapa nomor yang tidak bisa dia jawab. Gadis itu mendesah pelan seraya memijit kepalanya karena telah lelah dengan UKK seminggu ini.

Pipinya mendadak dingin, gadis itu menoleh dan mendapati Hafeez sedang tersenyum sembari menempelkan susu kotak dingin di pipinya. Zea tersenyum riang lantas mengambil susu kotak tersebut dari tangan Hafeez.

"Kau pusing sekali ya karena ada beberapa soal yang tidak sesuai dengan yang kita pelajari?" tanya Hafeez seraya duduk tepat di sampingnya.

"Tentu saja pusing! Apalagi kau berada di dekatku, sana agak menjauh. Kau membuat ginjalku berdetak!" seru Zea dengan galak seraya mendorong Hafeez agar menjauh.

Lelaki itu tertawa pelan lantas mengacak rambut Zea. "Mana ada ginjal yang berdetak, Jagung."

"Ada," ujar gadis itu dengan nada tak terima. Namun tetap menikmati susu kotak dingin pemberian lelaki itu.

"Santai saja sekarang kau sudah bisa bersantai karena ulangan sudah selesai. Nanti mau main tidak?" Hafeez tetap tidak beranjak dari sana, dia justru bergeser mendekat, membuat jarak duduk mereka menipis.

"Main ke mana?" Zea meletakkan kotak berwarna cokelat yang telah kosong itu ke tangan Hafeez. "Buanglah sampah pada temannya."

"Cih, kau ini." Hafeez melempar kotak itu ke tong sampah terdekat. "Main ke mana ya?"

Zea menyentil dahi lelaki itu hingga Hafeez mendengus sebal. "Main ke warung dekat taman kota itu saja. Ah ayam gorengnya sepertinya enak."

"Makanan terus sepertinya yang ada di otakmu."

Gadis itu menoleh kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak hanya itu. Kau juga sering muncul di kepalaku," ujar Zea seraya menatap wajah Hafeez yang kini memerah.

"Lanjutkanlah. Aku menyukainya," bisik Hafeez tepat di telinga kanan Zea. Untung saja koridor ini sedang sepi karena Zea keluar paling awal diikuti dengan dirinya.

Gadis itu lagi-lagi mendorong dahi Hafeez dengan jari telunjuknya agar lelaki itu memberi jarak. Bagaimana tidak? Bila nanti siswa lain keluar pasti mereka akan mengejeknya dan Zea tidak akan mau hal itu terjadi.

"Sumpah kepalaku rasanya mau pecah!" Dea memukul kepalanya sendiri dengan papan tes.

Gian yang berada di depan Dea langsung merangkul perempuan itu dan mengelus kepala Dea yang tadi dipukul papan tes. "Jangan pecah dulu."

"Apakah sudah boleh pulang?" tanya Zea kepada Dea yang terlihat menikmati elusan di kepalanya.

"Kurasa iya. Kenapa? Kau mau pulang?" Dea menaikkan kedua alisnya lantas tersenyum jahil ketika melihat Hafeez yang ternyata duduk di sebelah Zea.

"Iya aku lelah sekali. Ayo Feez!" Zea menggendong tasnya kemudian menarik tangan Hafeez untuk berjalan menuju parkiran. Tak lupa ia juga melambaikan tangan pada Dea dan beberapa teman yang menatapnya heran.

Riana yang juga berada di sana hanya menatap dua orang itu tajam. Ah tidak benar-benar menatap keduanya, ia hanya menatap salah satunya.

•••

"Ini untukmu. Makan yang banyak agar tidak tepos terus." Hafeez mencubit pipi kiri Zea hingga gadis itu mendengus dan menatapnya kesal.

Zea menerima sekantong plastik berisi beberapa roti, camilan, serta air mineral dan beberapa susu kotak rasa cokelat. "Kau baik sekali! Terima kasih Omnivora pemalas!" seru Zea senang.

"Besok lagi tambahkan kata 'ku' setelah kata 'Omnivora pemalas'." Lelaki bermata hazel itu duduk di samping Zea. Dia menatap gadis di sampingnya yang sedang sibuk memilih mau makan yang mana terlebih dahulu.

Zea membuka roti kemudian melahapnya. "Omnivora pemalas-ku?"

"Nah seperti itu!" ujar Hafeez antusias. Dia bahkan merasa seperti telah berhasil mengajarkan orang lain cara meretas sebuah akun.

"Kak Zea." Sesosok hantu cilik dengan boneka kelinci mendatangi mereka berdua.

Perempuan berjaket denim itu mendongak, berhenti mengunyah rotinya dan menatap hantu cilik di depannya.

"Hm?" tanyanya singkat. Ia masih agak kesal karena Abel membantu Fred untuk mematainya.

"Aku minta maaf. Karena aku, Fred jadi bisa menculikmu," ujar Abel dengan raut menyesal dan wajah yang menunduk karena takut menatap wajah Zea. Selain itu, tatapan tajam Hafeez juga membuat nyalinya makin ciut.

Zea menelan rotinya kemudian meminum air mineral yang ada di sana. Dia berpikir sejenak, Abel mungkin terlalu polos sehingga ia tidak sadar digunakan Fred sebagai alat untuk mematainya. Gadis itu melirik Hafeez, lelaki itu nampak menatap tajam hantu cilik itu. Zea menghembuskan napas, sepertinya jika Hafeez sudah seperti ini kejadian menyeramkan akan terjadi.

"Baiklah. Lebih baik sekarang kau tidak berada di sekitarku saja. Aku tidak suka ada hantu yang mengikutiku ke mana pun aku pergi." Zea akhirnya bersuara lagi.

Abel mengangguk setuju, setidaknya Hafeez tidak akan menghukum dia seperti Hafeez menghukum Fred. "Terima kasih, Kak!" serunya seraya pamit dan lenyap dari hadapan dua remaja itu.

"Aku yakin kau yang menyuruhnya minta maaf padaku. Pasti jika dia tidak melakukannya kau mengancamnya dengan suatu hal." Tebakan Zea barusan membuat Hafeez terkekeh pelan. Gadis ini ternyata tahu jika dia telah mengancam Abel.

"Lagipula dia juga ikut campur dalam penculikanmu. Aku tidak suka dengan siapa pun yang mengganggu gadisku," ujar Hafeez ringan.

Perkataan lelaki itu berulang kali berputar di kepala Zea. Menciptakan sebuah pertanyaan yang langsung dia lontarkan. "Aku bukan gadismu."

"Baiklah, kau milikku. Okey?" Alis tebal yang digerakkan naik turun itu membuat Zea menggembungkan pipinya kesal.

"I think we're better together," bisik Hafeez.

•••

YEAYY AKU UPDATE AKHIRNYA HUHUHU SETELAH KEMALASAN NULIS INI BERAKHIR 😂

Btw gimana part ini menurut kalian? Ini mau tamat lhoo.

Oh iya, misal aku bikin cerita baru tentang tokoh cerita ini kalian mau gak? Mau ceritanya Orion apa Ruya?

(Nanya doang aku males nulisnya paling😂)

Kalo emang kalian mau dan akunya ide ngalir bakal aku bikinin (insyaallah)

Aku Bisa Melihat MerekaWhere stories live. Discover now