31. Hafeez Kenapa?

308 53 21
                                    

"Selamat ulang tahun, Hafeez," bisik gadis itu.

Hafeez yang terkejut karena pelukan mendadak gadis itu kini tersenyum lebar. Dia mengelus rambut Zea lantas gadis itu melepas pelukan mereka. Lelaki itu bisa melihat wajah Zea yang agak memerah, membuatnya langsung mencubit gemas kedua pipi gadis itu.

"Kau menggemaskan sekali."

"Sakit, lepaskan tanganmu dari pipiku!" ujar Zea seraya mencubit tangan Hafeez yang masih berada di pipinya.

"Tidak mau." Hafeez menjulurkan lidahnya mengejek Zea.

"Ini sakit, Tuan menyebalkan!" seru gadis itu galak.

Lelaki itu tertawa terbahak-bahak lantas melepas cubitannya pada kedua pipi gadis itu. Ia sungguh menikmati ekspresi kesal Zea yang membuat dia ketagihan untuk menjahili perempuan tersebut. Sampai-sampai beberapa hantu di taman itu menatap mereka penasaran karena tawa Hafeez yang tak kunjung berhenti.

"Kau itu kado terbaik sepanjang masa." Hafeez merangkul Zea yang masih mengelus pipinya yang sakit.

Mereka berjalan bersisian mengelilingi taman sambil berdebat berbagai macam hal yang akhirnya Zea-lah yang kalah dalam perdebatan itu. Dua remaja itu kemudian duduk di ayunan yang tersedia di sana.

"Bisakah kau mendorong ayunannya?" tanya Zea yang baru saja duduk di ayunan itu.

"Aku sudah duduk. Malas sekali untuk berdiri lagi," balas lelaki itu seraya menatap hantu-hantu taman yang melintas di depannya.

"Menyebalkan," gerutu gadis itu seraya menggerakkan ayunan itu dengan kakinya yang ia tekan ke tanah.

"Eh hai Abel!" Seruan Hafeez barusan membuat Zea mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang Hafeez panggil.

"Kenapa kau bisa ada di sini?" Zea menatap penuh selidik hantu cilik yang berada di depan mereka itu.

Abel tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-gigi kecilnya. "Ini taman tempatku bermain waktu aku masih hidup."

"Bonekamu baru?" Hafeez mengamati boneka kelinci berwarna putih yang Abel pegang sedari tadi, bukan boneka lusuh lagi.

Hantu cilik itu mengangguk antusias dan tersenyum begitu lebar. "Iya aku mendapatkannya karena bekerja."

"Bekerja?" tanya Zea tidak percaya. Bagaimana bisa hantu cilik seperti Abel dipekerjakan? Apakah hantu juga membuka suatu usaha?

"Iya! Tapi kata bosku aku tidak boleh memberitahukan itu. Astaga aku lupa!" Abel menepuk jidatnya beberapa kali kemudian menghela napas.

"Bagaimana dengan Bella? Dia sudah pergi?" Hafeez bersandar di kursi taman itu. Tangannya masih setia berada di pundak Zea.

Hantu cilik itu mengangguk dengan wajah yang sedih. "Kak Bella katanya tidak akan kembali," ujarnya seraya mengelus boneka barunya itu.

"Sudahlah tidak apa-apa." Lelaki itu tersenyum berusaha menghibur Abel.

"Kalian kenapa di sini berdua?"

Hafeez dan Zea saling berpandangan lantas Hafeez berdehem pelan dan berujar, "Jalan-jalan saja."

"Bukannya kalian harus sekolah ya?" tanya hantu itu polos.

"Dia mengajakku bolos sekolah," ceplos Zea seraya mencubit pipi Hafeez hingga lelaki itu mengaduh karena cubitannya keras.

"Tapi kau juga terlambat. Ya sudah bolos saja sekalian," bela Hafeez lantaran tak terima dirinya disalahkan.

"Hey, kau yang mengajakku bolos!"

Abel berdecak sebal melihat dua manusia di depannya yang berdebat. "Bye Kakak-kakak. Aku mau bertemu bosku!" seru hantu itu seraya melambaikan tangan pada dua remaja itu.

Aku Bisa Melihat MerekaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt