24. Melihat Keganasan Orang Patah Hati

408 63 40
                                    

Ketika hendak mengenakan sepatunya, Zea dikejutkan dengan ibunya yang menepuk bahunya. Hal itu membuat Zea mendongak menatap ibunya yang kini terlihat rapi dengan dress putih formal. Tumben sekali pagi-pagi ibunya akan menghadiri acara formal.

"Zea, tiga hari ke depan aku harus menemani ayahmu untuk urusan bisnis di luar kota. Kau tidak apa-apa kan kami tinggal? Ory juga di rumah." Ucapan Leena barusan membuat Zea menatap ayahnya yang sekarang tengah membaca koran, memakai setelan jas yang serasi dengan dress ibunya.

"Baiklah. Jangan lupa membawa oleh-oleh untuk kami ya!" ujar Zea antusias saat ibunya tersenyum mengangguk.

Ayahnya menurunkan koran yang tadi di baca dan menyeruput kopinya kemudian berkata, "Tenang saja, ayah akan membelikan makanan khas daerah sana, okey?"

Pria berambut cokelat itu mengacungkan jempolnya, dibalas dengan acungan jempol anak gadisnya yang kini selesai memakai sepatu. Jika makanan saja Zea langsung antusias. Ia kemudian menyerahkan uang jajan untuk tiga hari ke depan pada putrinya itu.

"Pulang sekolah langsung pulang. Jangan keseringan bermain. Jangan lupa makan juga," kata Leena seraya mengelus rambut putrinya itu.

"Iya iya, aku berangkat dulu."

"Ingat jangan lupa napas, Zea!" seru ayahnya yang membuat Zea terkekeh pelan dan langsung menghampiri Ory.

Yah, kakaknya itu tiga hari ke depan akan mengantarnya ke sekolah. Pulangnya dia bisa menaiki bus, atau mungkin jika tidak ada bus di bisa meminta Oryza untuk menjemputnya. Kakaknya itu akhir-akhir ini terlihat lebih hidup, maksudnya selama ini Ory jarang sekali peduli pada Zea. Zea tersenyum lebar ketika sudah sampai di depan gerbang sekolahnya.

"Sampai jumpa, Kakakku tersayang!" serunya diiringi langkah mundur sambil tersenyum pada Ory yang terkekeh.

Zea menormalkan langkah kakinya, tentu saja jika ia berjalan mundur pasti akan menabrak. "Dea! Mana? Katanya mau mentraktirku!" tuntut Zea pada perempuan tinggi yang berjalan mengiringinya.

"Nanti ya saat istirahat. Sepertinya hari ini akan banyak tugas. Aku membaca di grup katanya Ibu Anjar tidak hadir dan memberikan tugas pada kelas kita." Dea berlari mendahului Zea ketika terlihat Gian melambaikan tangan padanya.

Akhirnya Zea berjalan sendirian. Ia sesekali bergeser ketika ada hantu yang akan lewat. Sebenarnya ia bisa menembus mereka namun rasanya agak aneh karena ia belum terbiasa. Walau dia sudah lebih berani jika melihat hantu namun tak dipungkiri masih ada beberapa hantu yang menurutnya menyeramkan. Belum lagi ketika ia sedang berjalan sendiri ia merasa ada yang membuntutinya.

Sesampainya di kelas, Zea disambut oleh Abel yang sekarang berdiri tersenyum lebar di pintu kelasnya. Kenapa hantu itu selalu mengikutinya, ini sungguh mengganggu. Cengiran Abel membuat Zea mencibir pelan kemudian berjalan menembus hantu itu.

Lima menit lagi bel masuk akan berbunyi namun sosok Hafeez belum juga muncul. "Belum berangkat, padahal aku ingin menanyakan tentang rencana kami."

"Sepertinya dia terlambat," ujar Abel tiba-tiba. Gadis kecil itu memainkan rambutnya yang dikucir dua. Ia mengelus bonekanya sambil menyanyikan lagu anak-anak.

"Bisakah kau tidak mengikutiku ke mana pun aku pergi?" bisik Zea tajam pada Abel yang dibalas gelengan hantu cilik itu.

"Tidak mau. Aku disuruh Kak Fred untuk mengikuti Kakak," jawaban Abel barusan membuat Zea berdecak sebal. Sebenarnya apa yang diinginkan hantu Fred itu?

"Kawan-kawan! Ini ada tugas dari Bu Anjar. Beliau tidak bisa mengajar hari ini karena sedang sakit." Riki menunjukkan beberapa kertas di tangannya di depan kelas.

Aku Bisa Melihat MerekaWhere stories live. Discover now