40. Jaket Denim dan Sebuah Umpatan

337 46 42
                                    

Zea mendesah kesal ketika berkali-kali Oryza memberikan berbagai macam riasan di wajahnya. Gadis itu sungguh malas menggunakan banyak riasan di wajahnya. Jika tidak dipaksa oleh Oryza dan tawaran menggiurkan berupa uang maka Zea tidak akan mau menjadi bahan percobaan kakaknya itu.

"Kapan selesai?" tanya Zea seraya menguap karena mengantuk. Hell, setelah ia memberitahu Ory jika sekolahnya akan mengadakan pesta setelah UKK, kakaknya itu yang justru antusias.

Padahal kan dia yang ke sana.

"Diamlah, sebentar lagi selesai!" ujar Ory seraya merapikan alis Zea kemudian memakaikan maskara di bulu mata Zea yang sudah lentik itu.

"Pokoknya aku tidak mau pakai bulu mata palsu!" seru Zea ketika Ory hendak mengambil bulu mata palsu.

"Baiklah, kau nanti pakai gaunku saja. Sepertinya besok kau perlu beli gaun karena isi lemarimu hanya kaos kebesaran, jaket, dan celana training." Oryza lantas mewarnai bibir Zea dengan lip tint agar tidak pucat.

"Ribet sekali sih," gerutu Zea karena sejak tadi Ory mengoceh betapa ia harus memiliki barang-barang seperti milik kakaknya.

"Kau nanti ke sana kuantar atau mau naik taksi?" tanya Oryza setelah menyodorkan gaun berwarna putih bergaya simple kepada adiknya.

"Entahlah aku sungguh malas dengan pesta itu." Gadis yang sekarang rambutnya digerai itu memutar bola matanya malas. Jika acara ini tidak diwajibkan maka ia akan rebahan di kasur sambil menonton anime.

"Kau ini. Sana ganti pakai gaun itu." Ory langsung keluar dari kamar adiknya itu.

Zea akhirnya dengan berat hati mengenakan gaun putih yang diberikan Ory. Panjangnya di atas lutut dan gaun itu menampilkan kedua bahunya serta sebagian punggungnya. Ia lantas memilih sneakers warna putih dan mengenakannya. Dia tidak akan mau jika disuruh mengenakan heels ataupun sepatu berhak tinggi. Itu sungguh menyusahkan.

"Ory! Apa ini tidak terlalu terbuka?" tanya Zea ketika ia keluar dari kamar dan langsung disuguhi kakaknya yang sedang berdiri sambil bersandar di tembok kamarnya.

Ory menoleh dan menggeleng pelan. "Kau cantik sekali," puji Ory. Ia bertepuk tangan lantaran make up natural yang dia aplikasikan pada adiknya berhasil dan sangat cocok.

Zea terlihat feminim walau raut wajahnya yang cemberut membuat dirinya ingin melempar sofa ke muka adiknya itu.

"Itu ponselmu berdering terus." Ory menunjuk ponsel Zea dengan dagunya kemudian mengedipkan sebelah matanya kepada adiknya.

Nama Hafeez langsung tertera di layar ponselnya, membuat gadis itu menghela napas sebelum mengangkatnya. "Halo."

"Cepat keluar. Aku sudah di depan rumahmu. Ini sudah jam tujuh malam dan pestanya kurasa akan dimulai lima menit lagi." Suara bernada perintah itu membuat Zea memutar bola matanya malas. Dia meraih sling bag warna hitamnya dan memasukkan beberapa lembar uang di sana.

"Iya aku keluar." Gadis itu lanyas mematikan panggilan itu dan memasukkan ponselnya di tas kecilnya.

Hafeez malam ini mengenakan jaket denim dengan kaos hitam sebagai dalamannya. Lelaki itu juga memakai celana jeans hitam serta tak lupa sneakers warna hitam melekat di kakinya. Ia melambaikan tangan kepada Zea yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu nampak tengah memakai helm pemberiannya.

"Wah tumben pakai dress. Oh iya, yang perempuan kan wajib pakai dress," ujar Hafeez diselingi tawa kecil melihat raut wajah kesal Zea.

"Ini terpaksa!" seru Zea kesal lantas menaiki motor hitam lelaki itu.

"Kurasa kau harus memelukku agar tidak jatuh." Lelaki itu berujar seraya melajukan motornya dengan kecepatan lebih, membuat Zea menuruti ucapannya.

Aku Bisa Melihat MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang