3. Hati-hati dan Berani

644 71 3
                                    

Perempuan itu tidak menoleh kala seorang nenek di laboratorium Fisika mengatakan halo padanya. Lantas apa dia harus membalas dengan 'halo juga, hantu?' kalau nenek itu seperti Bibi Selene mungkin dia akan melakukannya namun baginya membalas sapaan hantu laboratorium fisika itu juga tidak ada gunanya. Dia terlalu malas juga ingin cepat-cepat sampai di tempat tujuannya—toilet.

Kalau saja toilet terletak di belakang kelas mungkin akan lebih enak karena tidak perlu jauh-jauh melewati 3 kelas IPA lainnya ditambah laboratorium Fisika.

"Oi, Zea! Ternyata kau juga sekolah di sini ya. Aku baru sadar." Seorang siswi berambut hitam panjang dengan kacamata kotak menghampiri Zea dengan wajah berseri.

"Oh, Fika. Iya, aku di IPA." Zea menggigit lolipopnya kemudian membuangnya ke tempat sampah dengan melemparnya ketika habis.

Fika tersenyum lebar hingga menampakkan deretan gigi berbehel. "Bagus lah, aku di IPS hehehe. Aku turut berduka atas yang menimpa Fanya." Perempuan itu menepuk bahu Zea pelan ketika menyadari perubahan ekspresi Zea.

"Sampai jumpa. Aku ingin ke toilet dulu!" Zea lantas berjalan cepat ke toilet lantaran tidak tahan ingin buang air kecil. Selain itu dia juga terlalu malas dan kurang suka jika membahas tentang Fanya. Entahlah, mungkin karena beberapa kali Fanya menampakkan dirinya di depannya.

Matanya membelalak lebar saat melihat sosok hitam di dekat pintu toilet. Masa bodoh, dia hanya ingin buang air kecil sekarang dan sedang tidak ingin mempedulikan makhluk-makhluk yang bersliweran di sekitarnya. Bahkan saat memasuki toilet perempuan ia langsung disambut dengan sebuah tangan yang bergerak sendiri di wastafel.

Zea menghela napas lega setelah keluar dari bilik toilet. Ia lantas mencuci tangan di wastafel seraya melihat pantulan dirinya di cermin yang ada di sana. Perempuan itu langsung mematikan kran air ketika tangan tadi mendekatinya. Dia segera keluar dari sana karena mulai merasa hawa dingin dan bulu kuduknya meremang. Sungguh tidak lucu kalau dia pingsan konyol gara-gara hantu jail di toilet.

Bulu kuduk Zea meremang kala sosok lelaki berpakaian serba hitam dengan wajah setengahnya gosong mendekat ketika dia baru keluar dari toilet. Tepatnya, ketika ia berada di depan kelas X IPA 4 yang sepi karena ada guru yang mengajar di kelas mereka. Dia mengelus tengkuknya dan berjalan cepat waktu sadar lelaki itu berada di sampingnya hingga ia bisa melihat wajahnya yang gosong entah karena apa Zea tidak tahu.

Kelasnya sudah di depan mata namun dalam sekejap ia merasa ada tangan yang menariknya dan semuanya menjadi gelap.

Dia merasakan hawa dingin ketika terjembab di sebuah tempat yang tidak tahu di mana. Tempat yang suram dengan tembok bercat putih yang catnya pudar atau terkelupas. Ia melihat banyak benda berserakan di sekitarnya, kertas, beberapa botol minuman, bahkan ia juga melihat dasi dengan logo sekolahnya di sana. Zea mencoba untuk berdiri namun seperti ada yang menahan kakinya untuk berdiri. Akhirnya perempuan itu hanya mengumpat kesal walau sebenarnya merasa merinding berada di tempat remang-remang itu.

"Help me!"

"Tolong lepaskan aku. Kumohon."

Satu demi satu suara aneh mulai muncul bersamaan dengan sesosok lelaki berpakaian serba hitam tadi yang mendekat ke arahnya. Zea menundukkan kepalanya lantaran ada yang menatapnya tajam.

"Anak manis, bantu aku pergi dari sini." Sesosok lelaki berpakaian kumuh dengan rambut cokelat dan bermata biru mendekat. Lelaki dengan pakaian khas  Inggris ketika jaman dulu. Entahlah, Zea hanya pernah melihat film klasik dengan pakaian yang mirip dikenakan oleh lelaki di depannya persis itu.

Zea masih terdiam tidak mengatakan apa pun. Bibirnya bergetar karena makin banyak yang menuju ke arahnya. Dia merasa sangat terintimidasi dengan tatapan mereka, tatapan kemarahan, tatapan memohon, atau tatapan putus asa. Lidahnya serasa tidak bisa mengatakan sesuatu yang telah tersimpan di otaknya.

"Sssssssshhhh." Desisan lirih terdengar di telinga Zea hingga perempuan itu menoleh ke sampingnya yang terdapat sesosok wanita dengan badan ular.

"Tidak, aku bakal mati di sini," lirih Zea. Perempuan itu semakin menunduk dan menutup telinganya dengan kedua telapak tangan. Ia juga menutup matanya agar tidak melihat hal aneh yang membuat nyalinya makin menciut.

Perempuan itu merasakan sebuah tangan menyentuh bahunya. Ia hendak menoleh namun merasa ragu serta yakin bahwa akan melihat makhluk aneh lagi. Makhluk yang tidak dia tahu dari mana asalnya. Bahkan mengapa dia di sini pun ia tidak tahu.

"Nona Galak."

Zea membuka matanya perlahan dan memberanikan diri untuk menoleh ke sumber suara. Matanya sudah berair karena menahan rasa takut dari tadi. Dia menyeka air mata yang mulai turun dan mengedarkan pandangannya lagi. Ternyata hanya dia dan lelaki menyebalkan itu yang berada di ruangan tersebut.

"Ayo keluar, kita ke UKS." Lelaki itu memegang kedua pipi Zea agar perempuan itu menatapnya. Ia bisa melihat wajah Zea yang pucat pasi dengan mata sembab. "Apa perlu kugendong, eh?" tanyanya kembali membuat perempuan itu menggeleng lemah.

"Kenapa kau bisa di sini?" tanya Zea seraya menyingkirkan tangan Hafeez yang berada di pipinya.

"Yeah hanya merasa kalau gudang ini ada manusia." Lelaki itu membantu gadis yang terduduk itu untuk berdiri dan menuntunnya keluar dengan perlahan.

"Terima kasih," ucap Zea singkat dengan mata terpejam karena melihat sosok hantu yang berada di perpustakaan ketika mereka berjalan menuju UKS.

"Santai saja. Apa kau terluka?" tanya Hafeez seraya menatap Zea dari atas sampai ke ujung kaki.

"Tidak. Singkirkan matamu itu dasar otak hentai." Gadis itu memilih melepas rangkulan Hafeez karena merasa sudah bisa berjalan sendiri.

"Kau terlalu rata, seperti triplek. Aku tidak berselera." Hafeez menjulurkan lidahnya kemudian membiarkan perempuan itu mendahuluinya. "Lamban sekali, ayo kugendong saja."

Zea menoleh dan menatap tajam lelaki dengan rambut hitam dan berponi agak panjang. SMA Anagata memang membebaskan muridnya untuk masalah gaya rambut atau sepatu, tapi tetap memiliki bermacam peraturan yang harus ditaati.

"Aku masih bisa berjalan dengan kakiku sendiri." Dia tetap berjalan walau kakinya sebenarnya masih gemetaran dan agak lemas gara-gara kejadian tadi.

"Ayolah kau masih lemas, aku yakin kau akan sampai si UKS lima hari lagi," ujar Hafeez seraya menyisir poni panjangnya ke belakang. Melihat ekspresi sebal Zea ia jadi melangkah mundur. "Baiklah aku berjalan di belakangmu untuk memastikan kau tidak pingsan di tengah jalan."

"Whatever," desis Zea karena sadar kalau mereka sudah berada di depan UKS. Perempuan itu langsung memasuki ruangan tersebut dan merebahkan tubuhnya di ranjang dengan kasur putih yang ada di sana.

"Pucat saja masih galak." Lelaki itu duduk di kursi yang berada di dekat ranjang itu. "Lain kali hati-hati karena banyak makhluk selain manusia di sekolah ini."

Zea menatap Hafeez dengan heran. "Apa maksudmu?"

Lelaki itu berdecak kesal dan menyandarkan punggungnya ke kursi itu. "Hati-hati dan berani. Jadilah seperti itu."

•••

Afida kambek huehuehue setelah lama sekali gak update cerita ini//melempar diri sendiri dengan molotov. Jadi gimana cerita ini menurut kalian?

Jangan lupa vote ya dan komen juga huehuehue agar aku bahagia.

17 Januari 2019

Aku Bisa Melihat MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang