36. Bukan Dia

317 50 22
                                    

Hafeez meringis melihat perban yang menutupi bahu gadis yang terbaring di depannya. Dia menduduki kursi yang ada di sana kemudian menghubungi Nio yang sampai sore ini belum memberikan kabar tentang pria penjaga kedai es krim yang kabur itu. Sungguh, jika Nio mendapatkan pria itu dia akan membuat pria itu menyesal karena mencari masalah dengannya.

"Apa kau sudah menemukan pria brengsek itu?" tanya Hafeez tenang dan menahan segala amarahnya karena di depannya Zea tengah beristirahat.

"Sudah, Tuan. Saya membawa dia ke tempat biasa." Ucapan Nio barusan membuat Hafeez menghela napas lega.

"Baiklah, jaga dia jangan sampai lolos," ucapnya lantas memutuskan panggilannya dan meletakkan ponselnya di meja.

"Aish!" Suara kesakitan itu membuat Hafeez menatap Zea yang kini sedang berusaha duduk.

Lelaki itu berdiri kemudian membantu gadis itu duduk. "Masih sakit?" tanyanya.

"Tentu saja," balas Zea seraya menghela napas berusaha agar tidak mengingat kejadian kemarin.

"Kau mau makan sesuatu?" Hafeez mrngacak pelan rambut Zea karena perempuan itu masih saja galak walaupun sedang sakit.

Zea menggeleng pelan. "Jangan pergi, nanti dia kembali," gumam gadis itu seraya menunduk.

"Pria itu sudah ditangkap oleh suruhanku." Lelaki itu berusaha menenangkan Zea yang terlihat agak gelisah.

Lagi-lagi Zea menggeleng. Ia mencengkeram selimut yang menyelimuti kakinya. "Bukan dia. Fred merasukinya."

Kening lelaki itu mengernyit heran. "Tapi tetap saja tangannya yang melukaimu," desis lelaki itu hingga membuat Zea agak merinding.

"Bagaimana jika dia kembali?" ujar Zea seraya menarik selimutnya karena merasa suhu ruangan ini tambah dingin.

"Aku akan menangkapnya sebelum dia mendekatimu. Oh iya, aku sudah memberitahu orangtuamu kalau kemarin kau diculik dan sekarang di rumah sakit."

Zea menghela napas pelan, gadis itu menatap Hafeez yang wajahnya tampak berantakan sekali. Kantung mata menghitam, rambut gondrong yang acak-acakan serta seragam yang sobek. Dan apa itu? Ada beberapa luka goresan di lengan Hafeez juga memar di wajahnya.

"Kau tidak mengobati lukamu?" tanya gadis itu, dia sungguh merasa bersalah karena luka itu disebabkan karena lelaki itu menolongnya.

"Tadi sudah. Sebaiknya kau memikirkan lukamu juga. Bagaimana bisa kau diculik oleh pria itu?" Nada penasaran juga sedikit emosi membuat gadis itu berdecak.

"Bukannya kau mengirimiku pesan agar menunggumu di halte? Tapi kau malah pulang dengan Riana, cih," sindir Zea terang-terangan yang membuat Hafeez membulatkan matanya.

"Ponselku hilang pada hari di mana kau diculik. Kau tau? Pria itu juga yang mengambilnya." Ayolah dia juga sebenarnya malas mengantarkan Riana.

"Sebenarnya aku heran mengapa kau tiba-tiba menjauhiku? Aku saja tidak berbuat suatu kesalahan padamu!" seru Zea tak terima, wajahnya yang tadinya kalem mendadak menampilkan raut wajah galaknya.

"Maafkan aku, okey. Aku hanya salah orang. Kau ingat saat kau melihat ibumu dengan pria saat hari ulang tahunku? Pria itu ayahku, kupikir ibumu adalah selingkuhan ayahku dulu waktu aku kecil. Tapi ternyata bukan," jelas Hafeez dengan nada penyesalan yang kental.

Tidak seharusnya dia menjauhi Zea, dia benar-benar menyesal karena sikap bodohnya itu.

Suara pintu yang dibuka membuat dua remaja itu menoleh. Seorang wanita dengan jaket hitam membawa sekeranjang buah kemudian berjalan tergesa. Leena langsung memeluk putrinya dan mengelus rambut Zea penuh kasih sayang. Dua hari ini dia dibuat cemas karena Zea tidak kunjung pulang.

Aku Bisa Melihat MerekaWhere stories live. Discover now