33. Palsu

292 50 22
                                    

Sudah tiga hari ini Hafeez tidak mengajak Zea mengobrol ataupun menganggap keberadaan gadis itu. Zea sendiri hanya cuek saja karena beberapa kali ia mengajak Hafeez ngobrol lelaki itu tidak menanggapinya. Seolah ia baru saja melakukan kesalahan besar yang membuat Hafeez marah. Padahal menurut dia, ia tidak melakukan apa pun yang membuat lelaki menyebalkan itu marah.

Kini Zea di kantin bersama dengan Dea dan Riana. Ia memakan mienya dalam diam, begitupun dengan dua temannya itu. Sejak tadi memang Zea malas diajak berbicara. Ia hanya menanggapi beberapa obrolan dengan kata yang singkat.

Abel yang tiba-tiba datang dan berdiri di samping Zea membuat Zea tersedak lantas meminum air mineralnya. Gadis itu melirik hantu cilik berwajah polos itu kesal.

"Kau kenapa Ze?" tanya Riana yang telah menghabiskan sepiring mienya.

Dea sendiri juga menatap Zea aneh karena Zea terus melirik ke bangku kosong di sampingnya. "Kau seperti melihat hantu saja," ujar Dea di sela-sela makannya.

"Ah, aku tidak apa-apa," balas Zea seraya melanjutkan acara makannya tanpa merespon ucapan Abel yang menurutnya tidak penting.

"Kak Zea kenapa kau cuek sekali. Aku hanya ingin berbicara denganmu. Ini penting sekali!" seru Abel yang mulai jengkel karena sikap tidak peduli perempuan yang ia ajak mengobrol itu.

Zea menghela napas kesal. Gadis itu kemudian meminum air mineralnya hingga habis lantas berdiri. "Aku mau ke toilet dulu. Kalian duluan saja ke kelas."

"Nah begini dong!" Hantu cilik itu mengikuti Zea hingga ke toilet perempuan sambil mengoceh beberapa hal tentang temannya.

"Ada apa?" tanya Zea seraya melipat tangannya di depan dada. Ia menatap Abel tajam, jika saja tatapannya bisa membungkam hantu cilik itu ia akan sangat bersyukur.

"Aku mau menanyakan suatu hal. Apakah besok kakak pulang sendiri?" tanya Abel.

"Cih tidak penting sekali," balas Zea kesal seraya keluar dari toilet itu. Tidak lupa ia juga membanting pintu toilet karena jengkel sekali dengan Abel.

Astaga dia sungguh ingin hantu cilik itu tidak mengganggunya. Ia akhirnya hanya duduk di depan Laboratorium Bahasa seraya menatap lurus ke depan, memperhatikan beberapa siswa yang tampak berlalu lalang. Zea terlalu malas mengobrol dengan seseorang saat ini.

Gadis itu mengeluarkan ponselnya dari saku rok seragam kemudian menonton film kartun yang sudah dia download sebelumnya. Beberapa adegan yang lucu membuat Zea tertawa terpingkal-pingkal hingga beberapa siswa yang lewat menatapnya heran. Hell, dia butuh film komedi sepertinya.

"Astaga tokoh ini lucu sekali," gumam Zea seraya mencubit tangannya sendiri karena gemas dengan tokoh kartun itu.

Sebuah notifikasi dari LINE membuat gadis itu berhenti menonton film dan membuka aplikasi LINE-nya. Sebuah pesan yang membuatnya memutar bola mata malas namun bibirnya kemudian tersenyum ketika membaca pesan itu.

Hafeez Rajata: Nanti pulang bersamaku. Tunggu aku di halte bus depan sekolah.

Zea segera menyanggupi itu, ia sungguh akan menjitak kepala Hafeez dan menanyakan mengapa lelaki itu menjauhinya tiga hari ini.

Gadis itu lantas kembali ke kelas dengan riang. Suasana hatinya mendadak membaik, ia juga tidak begitu paham apa alasannya.

•••

Pulang sekolah, Hafeez menuju parkiran bersama beberapa teman lelakinya. "Heh Feez, pinjam ponselmu untuk minta hospot dong," ujar Gian seraya mengulurkan tangannya ke Hafeez.

"Aku tidak membawa benda itu. Kurasa ketinggalan di rumah," balas Hafeez seraya mengambil kunci motornya.

"Kau tidak mendengar juga? Tadi saja ia kuajak main game tidak bisa karena ponselnya ketinggalan." Riki mengeluarkan kemeja seragamnya kemudian mengenakan jaket bombernya.

Gian mendengus sebal. "Padahal aku ingin mengabari Dea."

"Dasar tidak modal," balas Riki seraya menjitak kepala Gian.

"Ingat, kau sering minta hospot padaku," sindir Gian lantas balas menjitak kepala Riki.

"Hafeez!" Seorang siswi berambut hitam dengan wajah cukup manis melambaikan tangan ke Hafeez dan berlari kecil menghampiri lelaki itu.

"Hm?" tanya Hafeez agak malas.

"Bisakah kau mengantarku pulang?" tanya Riana dengan mengedipkan kedua matanya untuk membujuk Hafeez.

Lelaki beralis tebal itu melirik kedua temannya dan menunjuk dua orang itu. "Kau bisa pulang dengan dua orang itu. Aku tidak tahu rumahmu," ujarnya.

"Tapi—"

"Sudahlah antar dia, kasian," bisik Riki seraya menepuk bahu kawannya yang nampak malas itu.

"Iya tidakkah kau lihat wajahnya memelas seperti itu? Ah, asal jangan sampai Zea melihat kalian saja," ujar Gian seraya menyenggol lengan Hafeez dengan sikutnya. Membuat lelaki di sampingnya itu balas menendang pantatnya.

"Baiklah." Hafeez mengenakan helmnya kemudian Riana memboncengnya miring, membuat Hafeez memutar bola matanya malas.

"Di mana rumahmu?" tanya lelaki itu.

Riana tersenyum begitu lebar lantas menyebutkan alamat rumahnya. Rona merah di pipinya membuat dia tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa dia malu dan bahagia saat ini.

Sementara di halte depan sekolah, Zea memainkan jemarinya sambil menatap jalanan. Ia tersenyum tipis ketika melihat motor Hafeez menuju ke arahnya.

Akan tetapi senyumnya pudar saat melihat Hafeez bersama Riana. Apa-apaan ini?

Zea mendengus sebal seraya menatap dua orang itu tajam. Ia akhirnya menelepon Oryza untuk menjemputnya. Beberapa kali ia menelepon namun kakaknya tidak menjawab hingga membuat dia mengusap wajahnya kasar lantas memutuskan untuk menunggu bus.

"Cih untuk apa dia mengirimiku pesan seperti itu jika dia melupakannya," gumam Zea kesal.

Ia di halte sendirian menunggu bus yang tak kunjung datang. Sejak tadi ia sungguh bosan dan memainkan ponselnya hingga ponselnya mati karena baterai habis. Zea akhirnya hanya menyandarkan tubuhnya di punggung kursi halte itu. Gadis itu menatap jalanan yang lumayan sepi itu.

Dia merasa tidak enak. Ada sesuatu yang membuatnya agak waspada. Ia menatap sekitarnya dan matanya berhenti pada pria bertopi hitam yang terlihat memperhatikannya. Pria itu berjalan mendekat ke arahnya hingga membuat Zea agak merinding.

Gadis itu akhirnya memutuskan berlari dari sana. Ia berlari dan mendengar ada orang berlari juga di belakangnya. Zea menoleh dan mendapati pria bertopi itu berlari mengejarnya. Napasnya makin memburu, jantungnya berdetak lebih kencang saat ini.

Otaknya menyuruh dia agar tetap berlari. Zea menoleh lagi kemudian merasa lega karena pria itu tidak ada.

"Huh, pria aneh itu kenapa mengejarku?" tanya Zea dengan kesal. Kakinya masih gemetaran karena mengingat insiden malam itu ketika dia dikejar remaja berandalan.

"Mencoba menghindariku, Zea Mays?" tanya pria itu dengan suara dinginnya.

•••

WOHOHOO KONFLIK DIMULAI GAES WOWKWOWKWK.

Jadi, gimana part ini menurut kalian?

Akhir-akhir ini emang aku males banget nulis huhuhuu :'(

Btw jangan lupa vote dan comment yaa, aku sayang kalian:)

Btw es krimnya seger yaa 😂

Btw es krimnya seger yaa 😂

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Aku Bisa Melihat MerekaWhere stories live. Discover now