35. Benang Kusut

281 57 26
                                    

Kantung mata yang menggelap serta wajah kusutnya membuat beberapa orang di kelas tahu bahwa lelaki itu semalaman begadang. Dari cara berpakaian yang acak-acakan dan gaya rambutnya makin berantakan menandakan dia sedang banyak pikiran. Hafeez sudah beberapa kali menghela napas ketika duduk di bangkunya. Ia mencoba untuk memejamkan mata dan tertidur namun tidak bisa.

Fakta bahwa Zea semalam tidak pulang membuat Hafeez begadang untuk melacak keberadaan gadis itu.

Nyatanya sampai pagi ini dia dan dua orang suruhannya belum mendapat info di mana keberadaan seorang Zea.

Lelaki itu mengacak rambutnya kesal. Ia tadi berharap Zea berangkat sekolah nyatanya Zea belum datang juga. Hafeez mengambil ponsel putihnya (yang kemarin baru dia beli) lantas mengecek apakah ada kabar dari dua orang suruhannya.

"Kau kenapa?" tanya Riki setelah menepuk punggung Hafeez dengan agak keras dan anehnya kawannya itu tidak membalasnya.

Hafeez menghela napas kasar. Lelaki itu kemudian menggendong tasnya yang sangat enteng lantas keluar kelas dengan tergesa. Riki yang melihatnya hanya mengernyit heran. Ia mengecek ponselnya yang tiba-tiba bergetar. Ternyata pesan dari Zea lima menit yang lalu bahwa perempuan itu tidak masuk karena sakit.

"Pantas saja Hafeez membolos," gumam Riki seraya memasukkan ponselnya lagi ke saku celananya.

Sementara Hafeez, lelaki itu kini sudah melajukan motornya keluar dari sekolahan. Untung saja satpam yang biasanya menjaga tidak ada. Ia melajukan motornya dengan kecepatan lebih agar cepat sampai ke tempat tujuan.

Beberapa menit yang lalu, dua orang suruhannya berhasil melacak keberadaan ponsel Zea.

Sampai di sebuah kedai es krim, Hafeez memarkirkan motornya kemudian menghampiri dua suruhannya yang terlihat tenang. Kedai es krim itu tutup dan hal itu membuat Hafeez mengernyit heran. Setahunya, kedai es krim itu buka hampir setiap hari.

"Tuan, kami tadi melacak ponsel Nona Zea dan mengarahkan ke tempat ini. Namun beberapa menit yang lalu ponsel itu tidak terlacak lagi," ujar si Nio yang sekarang membawa tas hitam dan kaos putih.

Michelle, suruhan Hafeez yang lebih pendek sedikit dari Nio lantas memperlihatkan rekaman cctv yang dia dapatkan semalam. Zea nampak berlari menghindari seseorang namun orang yang mengejar Zea tidak nampak di rekaman itu. Rekaman itu mendadak kacau saat Zea menoleh.

"Sepertinya orang yang menculik Nona Zea cerdik sekali, Tuan." Michelle mematikan ponselnya kemudian mengambil barang dari tas yang Nio bawa.

"Sebaiknya kita membawa senjata untuk menggeledah tempat ini." Hafeez menerima sebuah gantungan kunci. Gantungan kunci ini milik Zea, ia tahu betul gadis itu menggantungkan benda itu di tasnya.

"Saya hanya membawa pistol, Tuan," kata Nio yang langsung melepas tasnya dan memperlihatkan beberapa pistol serta pelurunya di sana.

"Bagus sekali tempat ini sedang sepi. Apa kalian sudah mencari jalan masuk ke tempat ini tanpa dicurigai orang lain?" tanya Hafeez seraya mengambil sebuah pistol dan mengisinya dengan peluru. Lelaki itu lantas memasukkan pistol tersebut di tasnya.

Nio mengangguk yakin. Pria berumur tiga puluhan itu lantas berjalan menunjukkan sebuah pintu tua di belakang kedai es krim itu. Nio kemudian membukakan pintu tersebut sehingga Hafeez bisa masuk terlebih dahulu.

"Kalian bisa tunggu di sini saja. Apa kalian membawa mobil?" Hafeez menngambil pistol di tasnya lantas melempar tasnya kepada Michelle.

Dua orang suruhan itu nampak tidak yakin dan hendak menolak namun Hafeez menatap mereka tajam. "Baik Tuan kami akan menunggu di sini. Kami ke sini mengendarai mobil," ujar Michelle tenang namun ada nada cemas di sana.

Hafeez memasuki sebuah ruangan yang begitu asing. Aroma jeruk yang begitu segar membuat dia merasa agak tenang. Beberapa hantu melewatinya dengan santai namun ada juga yang menatapnya aneh. Lelaki itu sudah menelusuri beberapa ruangan di sana dan yang ia dapat hanya ruang kosong yang nampaknya merupakan kamar.

"Di mana kau Jagung," gumamnya pelan seraya mengacak rambutnya lantaran tak kunjung menemukan Zea. Ia juga tidak begitu yakin apakah Zea ada di sini atau tidak.

Suara tetesan air membuat Hafeez menajamkan pendengarannya. Ia mendengar tawa pria dan beberapa kalimat aneh yang tidak ia dengar begitu jelas. Hafeez juga mendengar teriakan gadis yang membuat kakinya bergerak lincah untuk mencari sumber suara itu.

Satu-satunya ruangan di tempat ini yang belum ia masuki adalah ruangan dengan pintu tua yang terletak di area paling belakang. Semakin mendekat ke ruangan itu, suara tetesan air makin terdengar jelas.

Rahang Hafeez mengeras ketika mendengar suara yang begitu familiar di otaknya. Ia lantas menendang pintu itu hingga roboh dan mengenggam erat pistolnya.

"Sialan," ujar pria itu ketika melihat Hafeez memasuki ruangan. Dia langsung mengambil pisau yang diletakkan di meja terdekat.

"Hafeez." Zea menatap Hafeez yang sekarang menatap pria dengan rambut agak keriting itu.

"Kau mau menyentuh Zea? Keparat!" serunya lantas menembak tepat di bahu pria itu.

Pria penjaga kedai es krim itu menatapnya marah kemudian menerjang Hafeez. Ia berhasil melukai tangan Hafeez dengan goresan pisaunya sementara Hafeez sudah membuat pelurunya bersarang di kaki pria itu.

Melihat keadaan Zea yang acak-acakan serta tiga kancing seragam gadis itu yang terbuka membuatnya makin murka dan menyerang pria itu dengan brutal.

Pria itu menyeringai lantas berlari ke arah Zea dan menusuk bahu gadis itu hingga Zea menjerit. Jeritan itu langsung membuat Hafeez menembak pria itu di bagian punggung karena pria itu berusaha melarikan diri. Namun ia tidak mengejarnya, ia melempar pistolnya asal dan mendekati Zea.

Ia melepaskan tali yang mengikat kaki Zea kemudian mengacak rambutnya kasar ketika melihat rantai di kedua tangan Zea.

"Kuncinya di bawah meja itu," ujar Zea lemah seraya menahan rasa sakit di bahu kirinya. Dia menggigit bibirnya dan menatap luka di bahunya.

Setelah mendengar bahwa kunci diletakkan di bawah meja, Hafeez langsung mengambilnya dan membuka rantai yang terlihat begitu menyiksa Zea. Dia memeluk gadis itu kemudian menggendongnya dan berjalan cepat untuk keluar dari sana.

"Tenanglah Ze. Maafkan aku." Suara Hafeez terdengar bergetar dan ada nada penyesalan di sana.

"Hey kenapa minta maaf. Kau kan tidak melakukan kesalahan padaku," ujar Zea. Gadis itu terlihat menahan sakit di bahunya dan tersenyum tipis.

"Michelle! Antarkan kami ke rumah sakit!" ujar Hafeez ketika melihat Michelle yang menatapnya cemas. Sementara Nio sudah berlari mengejar pria yang membuat masalah itu.

"Baik Tuan."

Di mobil, Hafeez tak hentinya berdoa agar Zea tidak apa-apa. Dia mengelus rambut gadis itu dan menggenggam tangan Zea. Kenapa rumah sakit terasa begitu jauh hingga ia ingin sekali mengumpat namun menahannya ketika melihat tatapan lesu Zea. Raut wajah Hafeez begitu cemas melihat Zea yang kesakitan dan darah yang terus mengalir walau ia sudah menyobek seragamnya untuk menghentikan darah yang keluar itu.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Mata Zea terpejam dan tangannya terkulai lemas.


•••

Aduh maaf banget baru update yaa. Aku gatega banget nulis part ini :((

Btw gimana part ini menurut kalian?

Hua jangan marahin akuuuuu

Aku Bisa Melihat MerekaWhere stories live. Discover now