Chapter 13 | Rasa Cinta?

20.2K 2K 530
                                    

Untuk meyakinkan diri sendiri benar cinta atau tidak, banyak sekali hal-hal yang harus dipertimbangkan. Seperti jika dia selalu ada dalam pikiran dan benakmu.

🥋🥋🥋

INDIRA menggeleng ketika Alma mengajaknya ke kafe dekat kampus untuk bertemu dengan Tari, sekalian mereka menghabiskan waktu sebelum adzan ashar. Bayangan kasur yang empuk dan aroma masakan Bunda sudah terngiang-ngiang di kepala Indira sejak tadi.

"Ayo lah, Dir. Ini Tari udah nungguin nih di kafe..." Alma mencoba membujuk Indira lagi. Namun, Indira tetap tidak mau. Alma menghela napas, mengetikkan balasan untuk Tari. Alma meminta maaf karena tidak bisa menepati janjinya datang bersama Indira. Indira sedang mood yang tidak baik.

Mentari

Yo rapopo, Al. Isih ono dino esuk. Ati-ati ning dalan. Aku yo arep balik iki lagi ngenteni ojek. (Ya nggak apa-apa, Al. Masih ada hari besok. Hati-hati di jalan. Aku juga mau pulang ini lagi nunggu ojek)

Balasan Tari cukup membuat Alma lega. Setidaknya ia tidak merasa bersalah pada Tari. Alma bersyukur, ia dikelilingi orang-orang baik.

"Terus gimana? Mau pulang?" tanya Alma setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas ranselnya. Ia menatap Indira yang begitu tidak bersemangat. Apalagi tadi setelah menemui Azzam, Indira tak kunjung balik sampai latihan sore itu selesai. Saat Alma mencari-cari keberadaan Indria, sahabatnya itu mengirimi pesan jika Indira sudah menunggu di halte. Indira ingin cepat pulang.

"Iya, Alma...," lirih Indira. Gadis itu cemberut, apalagi mendapat pesan dari Indra jika Abangnya itu tak bisa menjemputnya. Alhasil, mereka sedang menunggu angkot lewat. Tidak mungkin naik ojek karena itu pemborosan.

"Dir, tuh angkot. Mau pulang sekarang?" Indira mengangguk. Membiarkan Alma melambaikan tangan agar angkot berhenti. Sesaat angkutan umum itu berhenti di depannya, Indira langsung masuk dengan wajah masam. Sungguh, ia sudah tidak bersemangat hari ini. Alma diam saja. Ia menyebutkan alamat rumah Indira pada supir angkot. Lalu, ia kembali terdiam. Mengamati pemandangan sore melalui pintu angkot yang terbuka.

🥋🥋🥋

Selepas merapikan tegi'-nya ke dalam tas, ia mengganti pakaiannya dengan kaus hitam polos yang dipadupadankan dengan kemeja flanel berwarna biru. Azzam juga sudah mandi di toilet kampus. Ia tak punya waktu banyak karena sekarang sudah menunjukkan waktu ashar. Ia harus bergegas ke masjid terdekat untuk melaksanakan kewajiban.

"Ka, lo ikut gue nggak ke masjid?" Azzam bertanya pada Kafka yang saat itu belum pulang. Memang hanya mereka berdua saja yang belum pulang karena Azzam dan Kafka sepakat untuk pulang terakhir. Membiarkan ruangan sepi lalu Azzam akan mengunci pintu ruangan.

"Boleh. Kebetulan banget lagi bosan di rumah." jawaban Kafka membuat Azzam mengerutkan dahi. "Tumben? Tante Karin nggak di rumah?"

"Lagi di Bandung, di rumah Nenek."

"Oh." Azzam mengedikkan bahu. Menurutnya, Kafka ini anak yang sangat menyayangi Mamanya. Kafka selalu menemani Tante Karin kemanapun wanita itu pergi. Setelah kepergian Om Farhan beberapa bulan yang lalu, Tante Karin begitu terpuruk. Kafka sebagai anak satu-satunya berjanji akan selalu menemani Mamanya agar beliau tidak merasa kesepian. Jadi, heran sekali jika Kafka berkata ia sedang bosan di rumah.

"Eh, gue bawa mobil. Langsung ketemu di sana aja ya," ujar Kafka. Azzam mengangguk. Ia menuju motornya yang di parkiran di parkiran kampus. Azzam mengecek bensin, masih cukup setidaknya sampai besok.

[NUG's 3✔] SENPAI, Ana Uhibbuka FILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang