Chapter 32 | Sepakat Untuk Menikah (2)

18.9K 2.1K 370
                                    

SIAPIN TISUUUUUUUU! 😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭

***

Rencananya gagal untuk mengikuti pendakian bulan ini. Indira tidak memiliki persiapan apa-apa untuk mendaki yang akan dilaksanakan minggu ini. Ini hari Jumat, masih ada waktu hari ini dan besok untuk ia bersiap-siap sebenarnya. Tapi, Indira rasa mendaki itu memerlukan banyak barang. Apalagi, waktu mendaki adalah seminggu, itu sudah pulang-pergi. Tadinya, Alma tetap memaksa ingin ikut. Padahal, dari awal Alma yang paling tidak minat. Namun, Alma juga tidak bisa memaksakan Bapak dan Ibu di kampung untuk kembali mengirimkan uang untuk persiapan membeli tas gunung, atau uang untuk menyewa tenda.

Mereka sudah masuk ke kelompok 5. Kebetulan, Indira dan Alma berada di dalam kelompok yang sama. Namun, tetap saja. Mereka berdua tidak bisa mengikuti acara mendaki semester awal ini. Mereka sepakat, akan mengikuti pendakian semester depan.

"Sayang banget deh, Dir. Padahal, kan, kita satu kelompok sama Gibran. Duh, Gibran tuh ya, ganteng! Mukanya ada arab-arabnya gitu. Hidungnya Masya Allah, mancung nggak kaya aku, mancung ke dalam!" ucap Alma, mereka tengah berjalan menuju kantin. Kebetulan hari ini jadwal kelas tidak terlalu padat. Jadilah Alma dan Indira bisa bersantai-santai sejenak setelah melaksanakan shalat dhuha.

"Gibran? Yang mana tuh?" tanya Indira, ia memang tidak hapal satu persatu nama-nama anggota MAPALA. Apalagi, laki-laki. Boro-boro menghapal namanya, Indira rasa ia tidak mengenal mereka semua, kecuali Liam-Ketua Himpunan MAPALA.

"Itu lho, ihh susah jelasinnya. Pokonya ganteng banget, Dir! Tari juga pasti setuju sama ucapanku," ucap Alma, begitu yakin dengan opininya.

Indira menggelengkan kepala, lebih baik ia memesan minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya, sekaligus perasaanya setelah melakukan tes lisan Bahasa Jepang dengan Milka Sensei. Wanita berstatus dosennya itu memang sangat cantik, rambutnya lurus panjang berwarna hitam, namun, Indira sering merinding ketika melihat wajahnya yang kaku, jutek apalagi jika sudah waktunya tes. Beliau bukan seperti kebanyakan guru di SMA Indira yang cenderung ramah dan suka tersenyum.

"Al," panggil Indira, membuat yang dipanggil menoleh. "Ya, Dir?"

"Mau mesen apa?"

"Kamu mau mesenin?" tanya Alma, cekikikan. Biasanya, Indira akan melotot karena tidak mau men-traktir Alma begitu saja. Namun, kali ini Indira mengangguk. Menyerahkan buku menu dari warung Budhe Lastri. "Tapi, jangan banyak-banyak lho! Aku nggak bawa uang banyak. Bunda ngancam aku disuruh hemat, keperluan lagi banyak banget," ucap Indira, mengantisipasi Alma memborong makanan di warung Budhe Lastri. Kan, bahaya. Bisa habis uangnya.

"Iya-iya, ih." Alma menjawab jengkel. Lalu, kemudian berubah menjadi berbinar melihat menu-menu. Ia menunjuk nasi goreng, siomay, dan juga jus jambu biji.

Indira mengangguk lagi. Ia menyerahkan menu itu kepada Budhe Lastri. Lalu, duduk kembali di kursinya. Indira mengirimkan pesan pada Tari jika mereka ada di kantin. Berniat mengajak Tari bergabung.

Waalaikumsalam. Iya, Dir. Bentar lagi. Aku masih ada kelas. Tunggu, ya ;)

Jawaban Tari di seberang sana sudah cukup untuk Indira. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas ransel. Bertepatan dengan itu, pesanannya datang. Indira memesan sepiring gado-gado, dan air putih hangat. Perutnya terasa lapar, padahal Indira ingat jika tadi lagi ia sudah sarapan, di kelas pun ia terkadang mencuri-curi waktu untuk memakan roti, atau buah yang sudah dipotong-potong oleh Bunda. Namun, tetap saja. Perutnya seperti karet yang tak kunjung kenyang.

[NUG's 3✔] SENPAI, Ana Uhibbuka FILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang