Chapter 44 | Ngidam

21.3K 2.2K 521
                                    

Aku memang tidak tahu diri. Mencintaimu yang bahkan sudah menjadi milik orang lain. Maafkan aku, biarlah rasa ini memudar seiring berjalannya waktu. Satu hal yang tidak akan pernah aku lupa, jika sampai detik ini, aku masih mencinta.


🥋🥋🥋

LIBURAN memang masih panjang. Sekitar dua minggu lagi untuk Indira menikmati detik-detik sebelum kembali menjalani aktivitas di kampus bersama Alma dan Tari. Tetapi, Indira sudah kembali ke Jakarta tiga hari yang lalu. Menikmati indahnya desa selama satu minggu penuh membuat pikirannya relaks. Indira memang butuh itu. Ia begitu menikmati setiap pagi ke pasar bersama Alma dan Tari dengan cengtri. Atau juga, terkadang hanya bersama Tari dan ditemani oleh Ibu Sarinah dengan berjalan kaki karena Bu Sarinah tidak ingin mengambil resiko dengan dibonceng Alma. Mereka melewati jalanan kecil sehingga waktu yang dibutuhkan untuk ke pasar menjadi lebih singkat.

Setiap sore, Indira akan belajar memasak bersama Bu Sarinah. Beliau juga sering sekali bertanya mengenai Bundanya. Kayanya, beliau ingin sekali bertemu dengan Bunda. "Insya Allah Bu, kalau Allah mengizinkan. Nanti Ibu sama Bapak kesana, ya. Indira buatin peyeum deh, asli buatan orang sunda asli," ujarnya kala itu. Membuat Bu Sarinah berdecak kagum. Indira memang berbeda dari putrinya. Disaat Indira gencar sekali ingin mengetahui menu-menu baru darinya, Alma malah sibuk membantu Bapak menanam singkong di kebun belakang.

Dan saat malam harinya, Indira, Alma dan Tari juga akan mengaji di langgar. Sejenis mushola namun biasanya khusus untuk para wanita. Mulai dari anak kecil, hingga yang sudah lansia. Mereka bertiga menjadi sorotan Ibu-ibu disana, apalagi Indira yang begitu asing di mata.

Indira sama sekali tidak merasa risi, ia senang mendapatkan ilmu baru dari Ibu-ibu di langgar. Mendapat teman baru dan juga adik-adik kecil yang begitu manis. Mereka sangat sopan dan santun menurut Indira. Indira pernah melakukan kecerobohannya, seperti biasa. Padahal, Bunda selalu mewanti-wanti agar ia tidak ceroboh. Tetapi, sikap ceroboh itu seolah mendarah daging. Indira menabrak anak kecil hingga menangis begitu keras. Ia begitu panik. Lalu, ia memberikan uang dan menjanjikan untuk membeli jajan asal anak itu tidak menangis. Indira ketakutan, apalagi ia tidak mengenal siapa anak kecil yang ditabraknya.

Namun, sebuah tangan menolak uang yang Indira sodorkan. Indira melihat seorang wanita yang ia duga adalah Ibu dari anak yang ia tabrak itu. Ibu itu tersenyum padanya. "Kamu bukan gadis disini, ya?" tanyanya, sangat lembut. Membuat kegelisahan yang memenuhi relung hari Indira seketika menjadi lebih lega.

"Iya, Bu. Nama saya Indira, dari Jakarta," jawanya, memperkenalkan diri. Wanita itu menerima uluran tangannya. "Nama saya Hani. Panggil saja Bu Hani. Saya Ibunya Cacha."

Indira menganggukan kepalanya mengerti. Jadi, anak yang ia tabrak tadi bernama Cacha? Namanya lucu sekali. Batinnya.

"Saya melihat kalau kamu menabrak anak saya, dan Cacha menangis," ucap wanita itu, membuat Indira kembali resah. Apa wanita itu akan marah padanya karena sudah membuat putrinya menangis?

Dugaannya salah. Bu Heni sama sekali tidak memarahinya. Namun, malah tersenyum begitu lembut dan Indira mengaku jika senyum Bu Heni sangat manis.

"Nak Indira, ada satu kebahagiaan yang selamanya tidak bisa kita dapatkan dengan cara itu," ujar Bu Heni tiba-tiba saat beliau sudah berhasil menemukan Cacha. Cacha pun segera bermain dengan teman-temannya lagi setelah sudah dirasa membaik. Tidak menangis seperti sebelumnya.

[NUG's 3✔] SENPAI, Ana Uhibbuka FILLAHWhere stories live. Discover now