Chapter 48 | Dua Sisi Orang Tercinta

17.7K 2.1K 290
                                    

BAGIAN EMPAT PULUH DELAPAN

Aku tidak akan berhenti untuk mencintaimu, meski disisi lain kau tidak perduli padaku.

🥋🥋🥋

Sudah dua hari ini, Bunda Asyifa terlihat pucat, bukan karena sakit melainkan karena sangat khawatir dengan kondisi putrinya, Indira. Indira terserang gejala Demam Berdarah dan dilarikan di rumah sakit sejak dua hari kemarin. Awalnya, Indira terlihat lemas dan tak bersemangat pada hari kamis. Indira tidak nafsu makan, ia hanya mengganjal perut dengan roti itupun tidak habis. Keesokan harinya, Indira menyerah dan mengatakan pada Bunda untuk memberitahu Alma jika ia tidak bisa masuk kampus. Sorenya, Bunda Asyifa yakin ada hal yang tidak beres. Beliaupun meminta Indra untuk mengecek keadaan Indira. Dugaannya benar, jika Indira sakit. Ternyata, terkena DBD dan harus segera mendapat penanganan dokter.

"Bun, istirahat dulu, yuk. Bunda pucat sekali. Fisya buatin teh ya?" Fisya menawarkan, melihat wajah ibu mertuanya membuat Fisya tidak tega. Ia memang menemani Bunda Asyifa berjaga. Biasanya, akan bergantian ketika suaminya sudah pulang. Karena Fisya tidak boleh berlama-lama di rumah sakit karena ia sedang mengandung.

"Gak apa-apa, Fisya. Bunda disini saja. Kamu sudah makan?" Fisya mengangguk, ia yang memang baru datang, karena berbarengan berangkat bersama Indra ke kantor, segera menaruh kantung plastik yang dibawanya. "Belum, Bun. Perut masih nggak enak. Maunya makan rujak terus."

Mendengar itu, Bunda Asyifa segera mendesah berat. "Ya Allah, Fisya. Sudah hampir siang ini, ayo makan. Kasihan calon cucu Bunda di dalam, belum dapat jatah sarapan. Duh, nak, nanti besar jangan dendam sama Ibumu ya, karena nggak dikasih sarapan tepat waktu," ujar Bunda, meski begitu Fisya sangat senang. Akhirnya Bunda terlihat ceria lagi, sesekali Bunda mengusap perutnya yang sudah terlihat membuncit dengan penuh kasih sayang.

"Gak bakal dong, Eyang. Nanti kalau sudah besar aku mau jadi anak berbakti untuk Ayah, Ibu sama Eyang. Oh ya, sama Kak Indira juga," ucap Fisya, sengaja menggunakan nada anak kecil. Membuat Bunda tertawa karenanya. Bunda membuka plastik yang Fisya bawa, ternyata berisi dua box bubur ayam. "Kamu dengerin Bunda juga, untuk beli bubur tanpa sterofoam lagi?"

Fisya mengangguk cepat. "Bunda bilang, nggak baik buat kesehatanku. Fisya juga gak mau nanti bayi Fisya kenapa-kenapa."

"Bagus, Bunda mau yang terbaik untuk kamu dan calon cucu Bunda."

"Iya, Bunda," jawab Fisya. Setelah itu, mereka sarapan bersama. Menunggui Indira yang masih tertidur di atas brankar. Semalam, Indira tidak bisa tidur karena suhu tubuhnya tinggi hingga 38 derajat celcius. Katanya, kepalanya ikut pening dan tak lama setelah itu, Indira muntah-muntah. Setelah meminum obat, barulah Indira bisa tertidur hingga sekarang.

🥋🥋🥋

Indira terbangun ketika terdengar bising-bising suara. Ia memijit pelipis dan mengaduh, saat sebuah infus tertarik akibat pergerakannya. "Awwwh," ringisnya. Alma yang tengah memakan snack di pangkuan lantas berdiri. "Ya Allah, Dir, udah bangun? Eh-eh mau ngapain? Sini, biar aku aja. Pelan-pelan bangunnya. Jangan dipaksa kalau sakit," ujarnya, gadis itu membantu Indira bangun dari posisi tidurnya. Mendudukannya untuk bersandar di kepala ranjang.

"Al...," erang Indira, suaranya parau. "Haauus..."

Tari, yang semula memperhatikan ikut bangkut dan mengambil segelas air. Ia menuntun Indira untuk meminum dengan hati-hati. "Pelan-pelan, Indira. Nanti kesedak."

Indira mengangguk. Ia bisa bernapas lega setelah meneguk tiga tegukan air minum. Tenggorakannya jadi tidak kering lagi.

"Gimana? Udah mendingan? Kata Bunda, semalam kamu muntah?" mendengar pertanyaan itu, Indira mengangguk. Kemudian, ia mengedarkan pandangan. Tidak ada Bunda disana ataupun Mba Fisya. "Bunda sama Mbak Fisya mana, Al, Tar?" tanya Indira. Alma dan Tari sangat prihatin dengan keadaan Indira. Bayangkan, sudah gagal dalam urusan cinta, kini Indira harus menahan rasa sakit luar biasa.

[NUG's 3✔] SENPAI, Ana Uhibbuka FILLAHWhere stories live. Discover now