Chapter 34 | Pamit

17.4K 2.1K 394
                                    

Jika ini yang terbaik untukku, maka berikan hati ini kesabaran Ya Allah. Biarkan hati ini tetap mencintai-Mu tanpa perlu melihat sosokmu. Allah, aku percaya akan ada hari dimana semuanya akan kembali baik-baik saja.

🥋🥋🥋

BUNDA Asyifa belum pernah merasa kehilangan Indira selama 18 tahun ia merawatnya. Ia dan almarhum suaminya selalu menjaga anak-anak dengan sangat baik. Tak hanya pada Indira, melainkan Indra juga. Tetapi, semalam Indira meminta izin padanya untuk berlibur di kampung bersama Alma dan Tari. Tentunya itu membuatnya terkejut. Hal serupa dialami Indra dan istrinya, Fisya.

"Kamu tetap akan berangkat, Sayang?" Indira mengangguk. Ia tersenyum, tangannya merengkuh tubuh rentan Bunda. "Bunda kenapa deh, kan Indi udah bilang dari semalam. Lagian, cuma seminggu kok. Dan perginya nggak sendirian. Bareng Alma sama Tari juga."

Fisya membantu Indira berkemas. Ia juga menyiapkan bekal agar Indira bisa tetap menjaga kesehatan. Tidak jajan sembarangan. Ia juga menitipkan bekal untuk Alma dan Tari agar mereka bisa makan bertiga. Indra sendiri tengah berpikir apakah ia harus memberi uang saku adiknya, atau tidak.

Kalau nggak dikasih, kasihan banget adik gue. Nanti Alma sama Tari jajan, dia melongo lagi. Batinnya, lalu terkekeh sendiri membayangkan hal tersebut.

"Nggak apa-apa Bunda, Indi pasti baik-baik aja." Indira berusaha meyakinkan Bunda. Pasalnya, keberangkatan menuju stasiun Senen sekitar tiga jam lagi. Nanti ia akan diantar oleh Indra menuju stasiun dan bertemu dengan Alma juga Tari disana.

"Tapi kamu baru pertama kali pergi jauh, Dek. Bunda takut kamu kenapa-kenapa," ucap Bunda. Indira memahami itu.

"Bunda, Indi nggak apa-apa. Cuma berlibur. Habis itu Indi juga pulang. Nggak akan lama, Bun," ujar Indira, melihat raut wajah sedih Bunda membuatnya kembali memeluk Bunda.

"Nanti kalau Bunda kangen gimana?"

"Kan bisa video call, Bun. Nggak apa-apa Bun, Indira juga perlu pengalaman. Biar nggak di kamar terus dia, nanti badannya makin gemuk. Apalagi tuh pipi, sekarang jadi kayak bapau," timpal Indra. Fisya menggelengkan kepala melihat tingkah suaminya. Sementara Indira sudah mendelik. Ia tidak terima dikatai gendut macam bapau. Heh, jangan samakan ia dengan Alma, ya!

Bunda diam-diam mengangguk. Ia memberi uang saku untuk Indira. "Dipakai sehemat mungkin ya, Dek. Jangan boros."

"Alhamdulillah, makasih ya Bun. Padahal Indi nggak minta. Indi mau pakai uang tabungan Indi selama kuliah."

"Jangan, Sayang. Simpan dan tabung uangmu. Pakai bila ada keperluan mendesak saja."

Indira mengangguk, memasukkan uang itu ke dalam dompetnya.

"Janji ya, nanti VC Bunda. Pokonya awas aja sehari nggak VC, Bunda bakal susulin kamu ke Purworejo," ucap Bunda, yang langsung membuat Indra, Indira dan Fisya tergelak.

Dalam hati, Indira meminta maaf pada Bunda, jika sebenarnya kepergiannya pun, ingin lari dari kenyataan. Kenyataan jika Indira gagal mendapatkan apa yang ia minta pada Allah.

Indira tak kecewa pada Allah, tetapi ia kecewa pada dirinya sendiri karena terlalu tinggi dalam berharap.

🥋🥋🥋

[NUG's 3✔] SENPAI, Ana Uhibbuka FILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang