Chaptet 22 | Menikah

20.9K 1.9K 271
                                    

Diwajibkan bagi setiap laki-laki dan perempuan muslim, untuk melengkapi sebagian ibadah mereka dengan ikatan yang sah, yaitu menikah.

🥋🥋🥋

DIA berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang terlihat berbeda hari ini. Sangat cantik, puji perempuan di belakangnya. Indira tersenyum, berterimakasih kepada Alma, sahabatnya yang rela tidak kuliah hari ini untuk menemaninya.

"Kamu cantik banget, Dir. Pangling deh," ucap Alma membuat Indira tersipu malu. Ia mematut dirinya sendiri yang kali ini berkesempatan memakai kebaya berwarna putih bersih. Tak jauh berbeda, Alma pun sama. Hanya saja, ukurannya saja yang membedakan.

"Maaf ya, kalau Bunda ngerepotin kamu," kata Indira, Alma menggeleng sebagai jawaban. "Kamu itu kaya sama siapa aja, Dir. Gak apa-apa kok. Aku senang bisa membantu. Lagian, sehari libur gak apa-apa kali. Kuliah terus, capek!"

Indira tertawa. Mereka berdua terlihat seperti kakak beradik, bukan lagi sahabat. Pintu diketuk dua kali dari luar. Indira membuka pintu, terlihat Abangnya pun sudah rapi dengan kemeja putih yang dipadupadankan dengan jas putih. Tak lupa ada setangkai mawar merah di saku kemejanya yang dibiarkan terlihat.

"Masya Allah, Abang. Abang ganteng banget kalau begini!" aeru Indira, membuat Indra yang sejak semalam keringat dingin menghembuskan napas. Bisa-bisanya disaat seperti ini, adiknya itu justru gencar menggodanya.

"Makasih lho, dek. Tapi, kita gak punya waktu banyak. Mending langsung berangkat. Gak enak sama keluarga Fisya kalau kita telat. Bunda juga udah siap. Lah, kamu lama banget. Berasa kamu yang pengantinnya, bukan Abang," ucap Indra. Sedikit was-was ketika Indira menatapnya penuh godaan. Namun, Indra justru merasa rileks kala Indira memeluknya.

Indra mengerutkan dahi, menatap Alma yang juga melakukan hal serupa.

"Gak nyangka kalau Abang sama Mbak Fisya mau nikah hari ini, kayanya baru kemarin deh Abang minta izin sama Bunda buat ngelamar Mbak Fisya untuk dinikahi. Waktu emang cepat banget berlalu ya, Bang."

Indra mengusap-usap bahu Indira yang justru bergetar. Bunda datang, menatapnya seolah meminta jawaban.

"Lho-lho, ini kenapa Indira nangis? Diapain, Bang?"

"Gak diapa-apain kok, Bun. Emang dasarnya aja cengeng, tuh," ejek Indra, Indira cemberut. Tidakkah Abangnya itu merasa jika setelah menikah nanti, maka ia akan tinggal bersama Bunda saja? Ih, tidak berperikeabangan!

"Udah ah, jangan becanda terus. Acaranya mau dimulai satu jam lagi lho, Bang. Jangan telat, Bunda gak enak sama calon besan kalau telat." Bunda menyuruh Indra agar segera turun. Mobil sudah siap menunggu dan dua mobil lainnya siap mengiringi, di dalamnya membawa seserahan dan beberapa barang lainnya.

Di dalam mobil terdepan, yang mana adalah keluarga Indira, lengkap dengan Alma yang menemani.

Indira berhenti menangis ketika Bunda mengancam jika riasannya akan rusak jika ia masih saja menangis. Indira tidak mau, ia sudah berjam-jam didandani oleh Alma dan seorang wanita yang bertugas untuk mendadaninya, maka akan sangat sayang sekali waktu yang terbuang-buang itu jika make-up-nya cepat luntur.

"Jelek banget sih, kalau nangis gitu." Indra balik meledek. Kemudian, mengaduh mendapat sentilan dari Bunda. "Ini juga, udah mau nikah masih aja gangguin adiknya. Pikirin tuh, gimana ijab qobul-nya. Nanti lupa."

[NUG's 3✔] SENPAI, Ana Uhibbuka FILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang