🐳Prolog

9K 158 0
                                    

Byur

Saat ruangan berdua pintu tersebut di buka, Rachel bisa merasakan seluruh tubuhnya yang dibalut seragam sekolah basah oleh air. Rachel mendongak untuk melihat sesuatu yang membuatnya basah kuyup di pagi-pagi seperti ini. Ternyata ada sebuah ember kecil tepat di atas pintu.

Seketika semua orang yang berada di dalam ruangan datang menghampiri Rachel. Lalu sedetik kemudian gelak tawa memenuhi indra pendengarannya.

"HAHAHAHAHAHA."

Semua orang menertawakannya, Rachel hanya mampu menghela nafas panjang. Sudah tidak aneh lagi kejadian seperti ini menimpa dirinya. Selama tiga tahun berada di gedung besar yang sering disebut sebagai sekolah ini, Rachel tak pernah mendapat perlakuan baik dari siswa-siswi di sini. Semua merendahkan Rachel hanya karena di saat semua teman-temannya sudah menggunakan Iphone 11. Rachel masih menggunakan samsung yang layarnya sudah retak karena sudah tiga tahun tidak ia ganti-ganti, di saat teman-temannya membawa kendaraan beroda empat untuk kesekolah. Rachel masih menggunakan sepeda bututnya. Mungkin karena derajat Rachel tidak sama dengan yang lainnya, itu menjadi alasan Rachel tak memiliki teman dan selalu dibully.

Rachel menatap malas ke arah tiga orang gadis yang berdiri tepat di hadapannya sambil menyilangkan tangan di depan dada.

"Gimana? Masih betah sekolah di sini?" Tanya salah seorang gadis bernama Myesha dilihat dari name tag yang menempel di baju seragamnya.

"Kerjaan lo lagi?" Tanya Rachel datar.

Semua siswa-siswi di sini tahu siapa sosok Rachel, gadis jutek yang sulit sekali di dekati. Rachel sama sekali tidak punya teman, mungkin hanya dua anak manusia yang saat ini tidak hadir mau berteman dengan gadis seperti Rachel.

"Kenapa? You know lah. Gue lakuin ini supaya lo keluar dari sini, anak miskin kayak lo mana pantes sekolah di tempat mewah kayak gini," Ujar Myesha yang langsung diangguki oleh yang lainnya.

Rachel tersenyum sinis, ia melangkah mendekati Myesha.

"Seharusnya manusia-manusia kayak lo yang nggak pantes sekolah di sini, nggak usah belagu. Hidup cuma mengandalkan harta orang tua gak pantes lo banggain," Bisik Rachel tepat di telinga Myesha.

Tak menutup kemungkinan jika Myesha marah setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Rachel, baru saja ia ingin menjambak rambut panjang Rachel. Rachel sudah melenggang pergi.

"Sialan lo!" Teriak Myesha. Namun sama sekali tidak didengar oleh Rachel, gadis itu terus berjalan menuju toilet untuk membersihkan seragamnya yang basah.

Rachel mengamati penampilannya di depan sebuah cermin besar di dalam toilet. Seluruh seragamnya basah, sampai-sampai tercetak jelas tangtop yang ia kenakan. Rachel segera membuka tas ransel berwarna Cream yang tidak pernah ia ganti sejak SMP. Hari ini Rachel tidak mungkin mengikuti pelajaran dalam keadaan seragam basah seperti ini. Bisa-bisa ia masuk angin di tambah AC di dalam kelasnya selalu berada di suhu paling dingin.

Setiap hari Rachel selalu membawa Hooddie hitam miliknya, rencananya ia hanya akan mengganti baju seragamnya saja. Karena Roknya tidak terlalu basah.

Meski Hooddie yang saat ini ia kenakan terlihat kebesaran, Rachel tetap merasa nyaman mengenakannya.

Rachel melangkah menuju kantin, Rachel tidak perduli jika harus dimarahi karena bolos pelajaran. Hal itu sudah sering Rachel lakukan selama bersekolah di tempat ini.

Rachel mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin, meskipun belum menunjukan jam istirahat. Kantin nampak terlihat ramai oleh siswa-siswi yang menghuni lantai tiga yang sangat dikenal kekejamannya ketika sedang membully seseorang.

Namun hal itu sama sekali tidak mengurungkan niat Rachel untuk ke kantin. Gadis yang mengenakan sepatu Kodachi lusuh tersebut terus melangkah sampai ia berada di tempat yang sering ia duduki bersama kedua temannya yang saat ini sedang tidak masuk sekolah.

Brak

Rachel tidak terkejut sama sekali ketika ada seseorang yang menggebrak mejanya. Rachel mendongak, menatap empat anak manusia yang berdiri tepat di depannya.

"Lo orang susah, bersihin meja di sebelah sana dong. Gue sama temen-temen gue mau duduk, gak mungkin banget anak pejabat kayak kita duduk di tempat kotor," Ujar salah seorang laki-laki yang selalu menjadi Raja di area lantai tiga gedung sekolah ini.

"Lo nyuruh gue?" Tanya Rachel datar sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Ya iyalah, pake nanya lagi. Bego banget sih jadi orang!" Kesal yang lainnya.

Rachel bangkit berdiri.

"Bersihin aja sendiri, gue bukan pembokat lo." Baru saja Rachel ingin melangkah pergi, tiba-tiba tangannya dicekal keras oleh seseorang. Rachel menoleh, menatap datar ke arah Melvin yang saat itu tengah menatapnya tajam.

"Dari sekian banyaknya yang sekolah di sini, cuma lo satu-satunya cewek yang paling belagu. Lo punya apa si. Mobil mewah? Rumah mewah? Hape mahal? Sampe lo sebelagu ini. Ngaca, orang susah kayak lo gak pantes menginjakan kaki di tempat ini!" Ujar Melvin sakartis.

Rachel berdecih, lantas melepas paksa tangannya yang masih di cekal oleh Melvin.

"Seharusnya manusia-manusia gila hormat kayak lo semua. Yang gak pantes sekolah di sini, ketauan orang tua lo korupsi kan lo sendiri yang malu. Jadi simpen sombong lo baik-baik." Setelah menepuk pundak Melvin dua kali, Rachel melangkah pergi meninggalkan kantin yang seluruh penghuninya menatap ke arahnya.

🐢🐢🐢🐢

Rachel berlari tergesa-gesa di lorong rumah sakit. Setelah mendapat pesan, ia segera meluncur ke rumah sakit.

Sungguh, dadanya bergemuruh karena takut. Ia berusaha keras menggerakan kedua kakinya yang sulit sekali untuk digerakan. Kabar ini. Menjadi kabar yang menakutkan dan membahagiakan untuk Rachel.

Rachel mendorong kasar sebuah pintu yang terbuat dari kaca, ia mengatur nafasnya yang tak beraturan sebelum menghampiri seorang dokter yang berdiri tepat di ranjang seorang Pria yang tengah tertidur pulas itu.

"Seharusnya kamu tak perlu ke sini."

Rachel memandang ke arah seorang Pria berjas besar berwarna putih. Yang Rachel ketahui bernama William. Dokter yang selama satu tahun ini mau merawat Ayahnya yang koma.

"Bagaimana?" Tanya Rachel.

"Tadi sempat ada pergerakan sedikit. Semoga itu bisa menjadi kabar baik, sudah setahun Ayahmu koma. Saya berharap banyak, tuhan mau mengembalikan Ayahmu," Jawab Sang Dokter.

"Ya sudah. Saya permisi, kalau ada apa-apa. Segera panggil saya." Rachel hanya mengangguk. Setelah kepergian Dokter tersebut, Rachel segera menghampiri ranjang Sang Ayah. Ia menatap lekat wajah Sang Ayah yang terlihat begitu damai. Pria itu sama sekali tidak merasa risih dengan selang-selang yang menempel di seluruh tubuhnya.

Sudah satu tahun semenjak kecelakaan yang merenggut Bundanya. Ayahnya koma seperti ini, Rachel berharap banyak pria itu bisa bangun secepat mungkin. Karena sungguh Rachel sangat merindukan kehadirannnya, Rachel ingin mencurahkan segala keluh kesah yang ia rasakan pada Sang Ayah.

Rachel duduk di sebuah kursi di dekat ranjang Sang Ayah. Ia menggenggam tangan yang mulai keriput itu, menciumnya begitu dalam. Sampai akhirnya, tanpa sadar. Rachel tertidur masih dengan tangan Sang Ayah yang ada digenggamannya.

Will Be Fine ✓Where stories live. Discover now