📍 12. Light

1.9K 248 68
                                    

     Raga menghela napas panjang untuk yang ke sekian kalinya. Ia gugup juga mungkin sedikit gengsi. Raga benci mengungkapkan perasaannya, karena hal itu begitu sulit ia lakukan. Raga lebih memilih mengerjakan soal-soal fisika yang sulit dan rumit dari pada harus mengungkapkan perasaannya.

     Namun, khusus hari ini ia sudah membulatkan tekad. Ia tidak akan mundur.

     "Mama yang selalu bukain pintu, nyambut gue setiap gue pulang." Raga berucap pelan, tatapannya tertuju pada pintu bercat putih di hadapannya.

     "Kenapa juga saya harus melahirkan anak seperti kamu."

     Raga semakin mempererat genggamannya pada tangkai buket bunga tulip yang ia beli dari toko bunga milik Maryam, ketika sekelebat ucapan Mama Kiran bertahun-tahun lalu terlintas begitu saja tanpa bisa dicegah.

     "Kamu akan menyesal, jika suatu saat nanti kamu belum sempat membahagiakannya, berbakti padanya. Bahkan hanya untuk sekedar meminta maaf pun belum sempat, dan pada saat itu juga Allah sudah lebih dulu mengambilnya."

     Raga memejamkan mata sejenak, di saat perkataan Mama Kiran terngiang di telinganya, ucapan Kak Toha tempo hari pun ikut serta. Ia bingung, marah? Tentu saja masih. Namun, sampai kapan ia akan terus mempertahankan ego-nya? Setiap orang punya hak untuk mendapatkan kesempatan kedua bukan?

     Memantapkan hati, Raga membuka pintu dan masuk ke rumah.

     "Assalamualaikum."

     Hening.

     Tak ada sahutan salam lembut yang biasa Raga dengar, juga tidak ada Tuan Putri kecil yang berlari dan berhambur ke pelukannya.

     Rumah megah ini terasa kosong. Bukan ini yang Raga inginkan. Harta, kekayaan, uang. Oke, mungkin selama ini hanya itu yang terpenting bagi Raga.

     Namun, tak bisa dipungkiri bahwa selama ini yang Raga inginkan bukan sekedar uang. Ia ingin kembali seperti dulu ketika keluarganya masih harmonis. Hanya itu. Apakah hal itu sangat sulit untuk terwujud?

     "Apa mereka pulang?" gumam Raga pelan.

     Seketika kekosongan kembali menyelimuti hati Raga. Entahlah, selama ini rasa hampa seperti ini sudah biasa Raga rasakan. Malah, mungkin Raga sering merasa jika di dunia ini ia hanya hidup sendiri sebelum ia bertemu dengan teman-temannya, juga... Dia. Namun, sekarang? Apa yang terjadi dengan dirinya?

     Raga menatap sendu buket bunga tulip di tangannya. Menghela napas berat, Raga melangkah manaiki anak tangga. Namun, langkahnya berhenti ketika menyadari pintu kamar Giya sedikit terbuka.

     Perlahan, Raga mendekat dan mendorong pintu agar terbuka lebih lebar.

     Raga tersenyum lega, di sana ia dapat melihat Giya yang tengah melepas mukena berwarna white pinknya.

     Sebenarnya Raga malu, sangat malu malah. Adiknya yang masih sangat kecil saja sudah rajin beribadah. Ya, walaupun Raga tahu Giya masih tidak terlalu lancar dalam bacaan solat.

     Tapi itu sudah sesuatu yang bagus dan bisa dibilang patut diapresiasi untuk anak seumuran Giya. Lalu apa kabar dengan dirinya?

     Giya tersenyum lebar saat menyadari kehadiran Raga, lalu melangkah menghampiri Raga yang masih berdiri di ambang pintu. "Abang Raga kok lama banget sih?"

     "Maaf, tadi jalannya macet." Raga berucap penuh penyesalan, pasalnya saat ini Bi Murni tengah ambil cuti seharian ini karena sakit. Alhasil, Giya di rumah sendiri jika tidak sedang bermain di rumah temannya yang merupakan tetangga sebelah.

Dia MaryamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang