📍 16. Telepon

1.6K 195 34
                                    

"Apa uang saku yang kamu terima selama ini kurang?" Ucapan datar itu terlontar dari seorang pria tengah baya dengan setelan formal yang membalut tubuh tegapnya.

Raga menggeleng, masih menatap kedua sepatu sneaker yang ia kenakan. Ia amat terkejut akan pertanyaan yang tiba-tiba Candra-papanya tanyakan padanya ketika ia baru saja sampai.

"Apa selama ini fasilitas yang Papa kasih ke kamu itu belum cukup, ha?!" Nada pria yang diketahui ayah dari Raga itu meninggi.

Lagi-lagi Raga hanya bisa menggeleng. "Enggak, Pa."

"Lalu, sekarang apa ini? Kamu diskors karena berantem di sekolah? Kamu bukan anak kecil lagi, Raga!" Candra menatap Raga nanar. Tidak ia sangka putra sulungnya, kebanggaannya akan menjadi seperti ini.

Candra menghela napas berat. "Tadi Papa ditelpon oleh pihak sekolah mengenai laporan sikap kamu selama ini."

Memijat pangkal hidung mancungnya, Candra berdecak kecil. "Jujur Papa sangat kecewa."

Raga tetap menunduk, mengepalkan tangan erat. Perasaan marah, kesal, bimbang, semua campur aduk menjadi satu.

"Jadi ini hasil belajar kamu selama Papa kerja? Jadi preman yang suka berantem, mukulin orang di sekolah?" lanjutnya nanar.

Raga mendongak, memberanikan diri untuk menatap mata Candra. "Pa, Raga bisa jelasin kalo itu semua cuma-"

"Papa gak mau denger apapun lagi dari kamu. Mulai besok, semua fasilitas mewah kamu papa cabut. Termasuk uang saku kamu pun papa potong!" tegas Candra mutlak.

Raga tertegun, kemudian dengan segera merubah ekspresinya menjadi datar. Ia tak bisa membantah. Ia tak punya hak untuk membantah. Ini memang salahnya. Ya mungkin, dengan berat hati Raga harus menerimanya.

Buk!

Raga menjatuhkan diri ke sofa ruang tamu. Rumah megah itu kembali hening setelah kepergian Candra menuju lantai atas.

"Hah." Menghela napas kasar, Raga mulai memejamkan mata. "No problem. This is only... Masalah kecil. Gue bisa menghadapinya." ucapnya berusaha menyemangati diri.

Drrtt drrtt

Tut

Tanpa melihat nama si penelepon Raga menolak panggilan tersebut. Moodnya sedang tidak stabil, saat ini Raga sedang tidak ingin diganggu dan berbicara dengan siapapun.

Drrtt drrtt

Tut

Lagi-lagi Raga mematikan sambungan telepon.

Drrtt drrtt drrtt

Berdecak sebal, akhirnya Raga pun menekan tombol accept di layar handphonenya pada nomor yang tak dikenal itu.

Tut

"Dengan luak black coffee dengan siapa di mana?" Raga menjawab asal.

Hening. Tak ada jawaban dari seberang sana, hanya helaan napas ringan yang terdengar.

Raga menatap handphonenya dengan kernyitan samar di dahinya. "Halo?"

Masih hening. Tak ada jawaban.

Sementara itu, Raga tidak menyadari jika seseorang di seberang sana kini tengah berusaha sekuat tenaga menormalkan debaran jantungnya yang terus berpacu dengan kencang.

"Ini siapa? Kalo gak penting gue tutup-"

"Tu-tunggu."

Kernyitan nampak semakin jelas di kening Raga saat mendengar suara si penelepon.

Dia MaryamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang