📍 19. Dia akan datang

1.6K 181 106
                                    

     "Kamu harus tetap sekolah. Ini perintah. Tidak ada bantahan." ucap Candra mutlak dan tegas yang membuat Raga mendengus kasar.

     Ini sudah empat hari masa skorsingnya. Maka dari itu, mulai hari ini ia harus kembali mengikuti proses pembelajaran di sekolah seperti biasanya. Tentunya setelah membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.

     Dan sudah empat hari pula Mama Kiran belum sadarkan diri. Bahkan, sampai sekarang Mama Kiran pun belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar dari tidur panjangnya.

      Kenapa begitu lama? Raga pikir, masa koma Mama Kiran hanya akan berlangsung selama beberapa jam. Bukan berhari-hari seperti ini. Dan hal itu sukses membuatnya tidak tenang dan sangat enggan untuk hanya sekedar meninggalkan Mama Kiran ke sekolah.

     Raga menatap lurus ke dalam mata hitam milik Candra yang terhalangi kacamata bening berbentuk persegi panjang itu dengan tatapan memohon. "Tapi, Pa. Raga harus tetap di rumah sakit buat—"

     Dengan segera, Candra memotong perkataan putranya itu. Ia tidak suka dibantah. Semua yang ia katakan merupakan perintah yang mutlak dan harus dilakukan.

     "Papa bilang gak ada bantahan! Kamu ini sudah kelas XII, Raga. Sudah saatnya kamu lebih serius. Papa ingin kamu lulus SMA dengan nilai yang baik tanpa kasus memalukan seperti skorsing itu. Mulai sekarang jangan buat kasus di sekolah yang akan membuat reputasi papa, keluarga, menjadi buruk di mata orang. Ingat itu baik-baik." Raga terdiam mendengar ucapan gamblang dari Candra yang kelewat ketus dan mulai melangkah mejauh dari Raga.

     "Memangnya papa pernah sekali aja liat Raga?" Baru berjalan dua langkah, Candra kembali menghentikan langkahnya.

     "Apa maksud kamu?" balas Candra sedikit menoleh pada putra tunggalnya itu.

     "Selama ini papa cuma nuntut ini-itu ke Raga. Tapi apa pernah papa sekali aja perhatiin Raga? Coba ngertiin apa yang sebenarnya Raga mau? Papa gak pernah peduli. Papa cuma ngasih uang, fasilitas, dan apapun itu selain perhatian dan kasih sayang."

      "Lalu? Sekarang saat Raga berulah dan mendapatkan teguran sekolah baru papa bisa tergerak? Itupun cuma peringatan buat gak mempermalukan papa dan keluarga. Asal papa tau—"

     "Cukup." Candra berucap dingin. Dan hal itu sukses membuat rahang Raga mengeras dengan tatapan datar namun menusuk yang ia tujukan pada Candra.

     "Cukup, Raga. Ingat tempat. Jangan bahas masalah ini di rumah sakit. Itu akan memalukan jika ada orang luar yang memendengar. Selama ini papa selalu menuruti semua permintaan kamu. Sekarang, cobalah mengerti. Reputasi papa, keluarga kita itu lebih penting. Coba, dan belajarlah untuk tidak egois." lanjutnya penuh penekanan.

     "Oh ya. Kamu gak perlu khawatir, Mama kamu gak sendiri. Ada dokter, suster, putrinya, dan... Suaminya bersamanya." Setelahnya, Candra benar-benar pergi dari hadapan Raga.

     Namun, sebelum Candra benar-benar pergi, ia sempat memberikan tatapan tajam nan menusuk yang mengisyaratkan sebuah ancaman jika Raga melanggar perintahnya.

     Raga mendudukkan dirinya di bangku rumah sakit yang memang sudah disediakan di setiap sisi lobi. Mendengus kasar, Raga mulai memejamkan mata rapat-rapat. Ia tahu apa maksud dari kalimat terakhir yang Candra katakan. Ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Candra untuk setiap sikap dan perlakuannya.

     Papanya, Candra. Berubah setelah perceraiannya dengan Mama Kiran. Raga tahu, papanya masih begitu terpukul sama seperti dirinya. Maka dari itu, sejak dulu ia tidak terlalu menuntut banyak hal seperti kasih sayang pada Candra.

     Biarlah dirinya seperti ini. Tanpa kasih sayang dan perhatian orang tua seperti anak pada umumnya pun ia masih tetap bisa hidup. Bahkan, sering kali ia merasa dirinya adalah seorang yatim-piatu di saat dua orang yang notabenenya adalah orang tuanya masih ada dan berada di sekitarnya.

Dia MaryamWhere stories live. Discover now