📍 14. Bagai kepompong

1.9K 238 88
                                    

     Derap langkah kaki terdengar di sepanjang lorong yang kanan-kiri nya merupakan bekas ruang OSIS dan ruang komite sekolah.

     Lorong yang mengarah ke lab fisika dan toilet pojok itu lenggang, banyak siswa yang tidak berani hanya untuk sekedar melangkahkan kaki melewati lorong, dikarenakan rumor adanya hantu penunggu di area lorong.

     Rumor tersebut seperti sudah turun-temurun diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya di sekolah. Jadi mereka tidak lagi asing dengan rumor itu.

     Lorong gelap, sepi, terletak paling pojok, dan hawa aneh yang selalu bisa membuat bulu kuduk berdiri. Para siswa lebih memilih memutar arah yang tentunya jaraknya lebih jauh untuk menuju lab fisika atau toilet pojok.

     Namun, hal itu tidak berlaku bagi Raga. Ia tidak percaya rumor adanya hantu penunggu lorong, selama ini ia selalu melewati lorong ini tapi nyatanya tidak terjadi sesuatu seperti yang para siswa katakan. Ia menganggap hal itu hanya kabar hoax saja.

     Dengan santai ia terus melangkah menuju tempat yang diminta oleh Diyas. Beberapa menit lalu, Diyas mengiriminya pesan untuk segera menemuinya di dekat lorong pojok. Diyas bilang ingin mengatakan sesuatu. Dan, dia hanya akan mengatakannya jika Raga sudah sampai di lorong pojok.

     "Sesuatu apa sampai Diyas gak mau bilang lewat chat atau telepon?"

     "Harus banget di tempat kayak gini?"

     Raga terus bertanya-tanya mengenai tingkat Diyas yang akhir-akhir ini sangat aneh. Jika Raga bergabung dengan Radit dan Firman, maka Diyas pasti pergi.

     Alasannya selalu saja ada. Namun bukan itu masalahnya. Jika diamati lebih detail, bisa dilihat sebelum Diyas benar-benar pergi, ia selalu melontarkan tatapan tajam nan menusuk pada Raga seolah Raga adalah musuh bebuyutannya.

     "Kenapa semua orang akhir-akhir ini jadi aneh?"

     "Pertama Diyas, terus Laili. Besok siapa lagi?"

     Raga terus self talk, memecah suasana hening di sekitarnya. Tatapannya menajam ketika siluet tubuh seseorang yang sudah sangat ia kenal tertangkap oleh indera penglihatannya di pertengahan lorong.

     "Akhirnya datang juga, Raga?" Diyas berucap santai sambil menyunggingkan seulas senyum miring. Ditatapnya wajah datar di depannya itu dengan tajam.

     Raga memasukkan sebelah tangannya ke saku celana. "Gak perlu bertele-tele. Langsung ke intinya."

     "Wow, santuy men. Buru-buru amat? Mau kemana? Ke Maryam, hm?" Nampak kerutan tercetak jelas di kening Raga. Sementara Diyas masih tetap pada senyum miringnya.

     "Jadi apa yang mau lu omongin berkaitan dengan Maryam?"

     "Nah itu. Akhirnya otak cerdas lu guna juga." Raga memicingkan mata tidak suka dengan perkataan Diyas.

     Diyas maju beberapa langkah mendekat pada Raga. "Dengerin baik-baik. Gue udah pernah memperingatkan lu buat jauhin Maryam jika elu cuma main-main sama dia." ucapnya sambil mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Raga.

     "Kalo gue gak main-main?"

     Diyas mundur beberapa langkah, menggeleng pelan sambil tersenyum meremehkan. "Seorang Raga gak mempermainkan cewek? Haha itu bukan Raga men. Gue udah kenal elu dengan baik, dan gue tau persis lu itu kayak gimana."

     Sungguh, Raga merasa seseorang yang saat ini berada di depannya ini bukanlah Diyas. Diyas tidak akan berkata seperti itu.

     "Jika itu perspektif lu tentang gue, maka gue pribadi sangat prihatin dengan pemikiran picik elu, Yas. Lu bilang lu sahabat, lu kenal gue dengan baik. Lalu sekarang? Beginikah seorang sahabat? Diyas yang saat ini berdiri di depan gue, bukanlah sosok sahabat yang selalu bersama gue. Bukan."

Dia MaryamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang