📍 18. The opposite

1.7K 201 31
                                    

     Jarum jam sudah menunjukkan pukul 21.33 dini hari. Namun, Maryam belum juga beranjak dari duduknya.

     Gadis itu masih terjaga, pandangannya tertuju pada buku tebal di pangkuannya, namun jika diamati lebih dekat, pupil mata gadis itu tidak bergerak layaknya orang yang sedang membaca.

     Dia terlihat seperti sedang melamun.

     Maryam belum bisa tidur. Padahal, ia sudah berdzikir dan membaca surat-surat pendek dalam Al-Qur'an seperti yang biasa ia lakukan sebelum tidur. Karena rasa kantuk tak kunjung datang, akhirnya ia memutuskan untuk membaca buku ensiklopedi sejarah Islam.

     Mungkin dengan begitu matanya akan lelah dan rasa kantuk akan segera menggerayanginya. Namun, nyatanya hal itu tidak terjadi. Malam ini, rasa kantuk seolah hilang, ter-dalated dari kamus hariannya.

     Deretan huruf di buku tebal yang biasa menjadi makanan pokoknya sehari-hari itu kini seperti tak ada artinya. Entah kenapa kini deretan huruf tersebut menjadi kabur, sepersekian detik berikutnya tak terasa sebutir likuid bening jatuh dan menetes pada lembaran buku di pangkuannya.

     "A-aku... Kenapa aku menangis?" Dengan segera Maryam menyeka sudut matanya. Ini benar-benar aneh.

     Ia hanya akan menangis ketika ia merasa melakukan suatu kesalahan dan tanpa sengaja menjalankan larangan-larangan Allah. Tapi kini, ia merasa bukan seorang Maryam Afra Husain yang dulu. Bukan Maryam Afra Husain yang biasanya.

     Buk. Maryam menutup buku setebal 689 halaman itu sembari menghela napas kasar. Sebanyak apapun ia mencoba, ia tetap tidak bisa fokus pada apa yang dibacanya.

     Niat hati untuk mengalihkan pikiran-pikiran yang membuatnya tidak nyaman sejak kembali dari ruang sakit gagal total.
    
     Bayang-bayang ketika ia di rumah sakit, ucapan Wanda, fakta yang baru ia ketahui tentang Wanda dan Raga, semuanya terus berputar memenuhi kepalanya.

     Semua itu begitu menggangu. "Tapi, kenapa aku harus merasa terganggu?" pikirnya heran.

     Bahkan, ia masih ingat dengan jelas bagaimana Wanda dengan angkuhnya mengatakan status hubungan mereka. Jika dipikir-pikir tidak ada yang salah jika mereka memiliki sebuah hubungan spesial. Toh, Maryam bukan siapa-siapa di antara mereka.

     "Ya. Aku memang bukan siapa-siapanya Raga. Hanya teman?" Maryam memejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam. "Hm, mungkin."

     Jika ia hanya menganggap Raga hanya sebatas teman, lalu kenapa setiap mengingat kebersamaan antara Wanda dan Raga selalu saja membuatnya resah? Hatinya seolah terkoyak-koyak.

     "Gue, Wanda Kharisa Maharany, pacarnya Raga Aditya Dirgantara. And then, di sini emang lo siapanya Raga sih? Heran."

     "Dia itu cowok buaya. Kamu tau? Ternyata rumor yang selama ini beredar di sekolah tantang Raga itu benar adanya."

     Lagi. Ucapan itu bersahut-sahutan menggema di telinganya. Setelah pertemuannya dengan Wanda di rumah sakit, ia tak lagi mampu membalas kata-kata Wanda.

     "Aku bukan siapa-siapanya Raga. Hanya teman. Dan aku gak akan pernah jadi penengah antara kalian kok." Hanya kalimat tersebut yang mampu lolos dari mulut Maryam saat itu.

     Entahlah, saat itu ia berusaha untuk tetep tersenyum, namun nyatanya hatinya seolah tersayat pisau, perih tanpa sebab.

     Setelah mengucapkan kalimat itu, Maryam segera pamit pulang tanpa menemui Raga terlebih dahulu. Toh, untuk apa dirinya menemui Raga? Bukankah sudah ada Wanda? Sekiranya itulah yang Maryam pikirkan.

Dia MaryamWhere stories live. Discover now