📍 22. Ungkapan

1.6K 183 37
                                    

"Ekhm ekhem ukhuk ukhuk! Permisi, harap diam dan tidak berdekatan, ini ujian praktek. Oh iya, mas-nya bisa munduran dikit? Gantengnya kelewatan tuh."

     Maryam dan Rama menoleh pada sumber suara secara bersamaan. Respon yang diberikan keduanya berbeda. Jika Rama nampak heran, terlihat dengan kernyitan samar di dahinya. Namun berbeda dengan Maryam, awalnya ia terkejut, tetapi dengan segera ia menormalkan ekspresi dan mungkin juga debaran jantungnya.

     Rama tersenyum ramah. "Raga?"

      Raga memasukkan kedua tangan ke saku celana, dan dengan santai berjalan mendekat pada Rama, tak lupa dengan seulas senyum miring yang tersunggi di bibirnya.

      "Ganggu ya?" Pertanyaan Raga membuat Maryam gugup bukan main, tetapi ia berhasil menutupi kegugupannya itu dengan berdiri di belakang Rama.

     "Gak ganggu kok. Kamu ngapain di sini?" Rama menjawab pertanyaan Raga setelah menyadari perubahan ekspresi dan sikap yang Maryam tunjukan sejak kehadiran Raga. Ia cukup peka dengan situasi seperti ini.

     "Harusnya gue yang nanya. Lu kenapa di sini? Tuh dipanggil." Rama mengerutkan kening mendengar ucapan Raga.

     "Dipanggil siapa? Kalo guru, kurasa enggak deh. Mereka sedang ta'ziah sekarang."

     "Dipanggil Yang Maha Kuasa. Ya mana gue tau lah." Kerutan nampak semakin jelas di kening Rama. Maryam yang berada di belakang punggung Rama pun juga ikut heran. "Jangan-jangan Raga berulah lagi." batin Maryam khawatir.

     Raga terdiam. Dalam hati ia merutuki kebodohannya yang tanpa sadar mengucapkan kalimat itu. "Bodoh di situasi yang gak tepat."

     "Em—maksudya gue gak tau namanya. Orangnya itu—" Raga menatap langit-langit perpustakaan, berusaha berpikir keras untuk menjawab pertanyaan yang bahkan ia sendiri tidak tahu jawabannya. "Sejak kapan gue jadi sebodoh ini."

     Raga menjentikkan jarinya sehingga menimbulkan bunyi 'klik' pertanda dirinya mendapat sebuah ide. "Oh itu. Orangnya gendut dan kayaknya sekelas sama elu." Raga baru teringat jika ia pernah melihat Rama beberapa kali bersama lelaki bertubuh gempal dan berkulit putih. Sebelumnya Raga memang tidak mengenal Rama. Ia hanya mengenali wajahnya tanpa mengetahui namanya.

     Rama nampak mengingat-ingat sosok yang baru saja Raga sebutkan ciri-cirinya. "Muslih?"

     "Ah ya itu paling. Sana gih kasian si Muslih udah lama mondar-mandir nyariin elu. Kalo dia jadi kurus gimana? Lu mau tanggung jawab? Kasian emaknya nanti pangling."

     Rama mengangguk walaupun ia masih ragu dengan informasi yang Raga berikan. Sebelum pergi ia berbalik, "Maryam, aku duluan ya. Jaga diri baik-baik."

     Raga memicingkan mata tidak suka dengan ucapan Rama. "Maksud lu bilang 'jaga diri baik-baik' ke Maryam itu apa?"

     Atmosfer di sekira mereka mulai memanas. Entahlah, padahal AC masih menyala. Apakah ini yang dinamakan pemanasan global? "Aish, aku mikir apa?" Maryam menggeleng cepat, berusaha mengusir pemikiran aneh yang hinggap di kepalanya.

     "Em... Aku mau menata tumpukan buku di rak sebelah sana dulu ya." Maryam memilih lebih baik  pergi saja daripada harus terlibat dalam situasi tegang antara Rama dan Raga yang sama sekali tidak dirinya mengerti. Tanpa menunggu persetujuan dari keduanya, dengan segera Maryam berbalik dan melangkah menjauh.

     Sementata itu, melihat keterdiaman Rama, Raga sudah mendapat jawabannya. Dengan santai ia mendekat pada Rama yang masih menatap dirinya datar, menepuk pundak Rama cukup keras lalu membisikkan sesuatu di telinganya. "Lu tenang aja, gue gak akan nyakitin Maryam kok. Gue tau mana yang pantas gue sakiti dan mana yang enggak. Dan gue yakin lu tau apa maksud gue. Sekarang, lu bisa pergi."

Dia MaryamOnde histórias criam vida. Descubra agora