📍 27. Really?

1.5K 173 20
                                    

     "Maryam?"

     "Hei, Maryam?"

     "Maryam—"

     "Jangan ganggu aku bisa gak sih, Ga?!" Kak Toha mengerutkan keningnya heran. Ga? Siapa yang ada dalam pikiran Maryam saat ini?  Sedari tadi sejak Maryam memasuki mobil, ia bertingkat aneh. Tidak seperti biasanya. Bahkan, saat diajak berbicara pun Maryam seolah tidak mendengar dan melamun. Fisiknya ada di dalam mobil, tapi pikirannya entah melayang pergi kemana.

     "Ga? Raga?" tebak Kak Toha asal.

     Maryam menggeleng kikuk,  "E-eh itu sebenarnya... Maksud Maryam itu—"

     Kak Toha terkekeh kecil. "Gak perlu dijawab gapapa. Kenapa melamun gitu?"

     Dengan segera Maryam menggeleng. "Enggak kenapa-napa. Kak Toha fokus nyetir aja, jangan perhatiin Maryam terus. Kan Maryam jadi malu diliatin gitu. Kalo nanti Maryam melting plus baper Kak Toha harus tanggung jawab pokoknya."

     "Tanggung jawab gimana hem?" Kak Toha menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum jail. "Menikahkan kamu sesegera mungkin? Nanti biar suamimu yang jadi pelampiasan kebaperan kamu."

     Maryam mengerucutkan bibir bawahnya sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Ihh bukan gitu." Kak Toha tertawa ringan sambil menyentil pelan hidung Maryam. "Kak Toha!" sunggut Maryam sambil mengelus hidungnya. Kakaknya itu memang sangat suka menjahili adik-adiknya. Apalagi jika mereka sampai kesal, maka itu menjadi kepuasan tersendiri baginya.

     Kak Toha kembali fokus pada setir dan jalanan di depan. Hari ini Kak Toha menjemput Maryam pulang sekolah, kebetulan saat ini Kak Toha baru pulang dari urusannya dan melewati SMA dimana Maryam belajar. "Oh iya. Akhir-akhir ini Kakak sering banget liat Raga di dekat danau kecil gak jauh dari sekolahmu. Niatnya pengen nyamperin, tapi saat itu kakak lagi buru-buru." Kak Toha kembali memulai percakapan.

     Maryam menatap Kak Toha di sebelahnya degan tatapan heran dan serius. "Sedang apa?"

     "Entahlah. Dia sendirian. Kakak pikir kamu tau."

     Maryam mengangguk kecil lalu menundukkan kepala. Meremas rok panjang seragamnya Maryam mulai berpikir keras. Netra itu, netra segelap malam itu kembali terlintas di benaknya. Dengan segera Maryam menggeleng. "Enggak, Kak. Aku malah baru tau kalo dia sering di sana. Dan mungkin kalo kakak gak tanya, aku gak akan pernah tau."

     "Kamu lagi ada masalah sama Raga?" Pertanyaan Kak Toha hampir membuat Maryam tersedak air liurnya sendiri.

     "Kok kakak tau?" tanya Maryam terkesiap. Ia tidak pernah bisa berbohong pada siapapun. Sekali ia berbohong, ia tidak akan bisa tertidur semalaman. 

     Kak Toha tersenyum kecil. "Udah keliatan kok. Oh ya, persiapan HUT buat besok malem udah beres?" tanya Kak Toha mengalihkan topik pembicaraan dan hanya direspon dengan anggukan kecil dari Maryam.

     Hening sejenak, Kak Toha yang fokus mengemudi dan Maryam yang masih bergelut dengan pikirannya. Menghela napas berat, Maryam memberanikan diri bertanya pada Kak Toha.  "Em... Menurut kakak salah gak sih kalo aku jauhin Raga?"

     "Buat apa kamu jauhin dia? Apa dia pernah berbuat salah ke kamu?" Jawaban dari Kak Toha membuat hati Maryam terasa tertohok. Apa yang dikatakan Kak Toha ada benarnya. Maryam semakin dibuat bimbang dengan keputusannya sendiri.

     "Maryam cuma takut gak bisa ngendaliin perasaan. Maryam sadar udah melangkah begitu jauh. Lagi pula Maryam juga udah tau kalo dia itu... Ya seperti itulah. Juga, Kak Toha tau kan Maryam udah—"

     "Iya. Kakak tau. Alasan kamu gak salah. Tapi cara kamu yang salah." potong Kak Toha membuat Maryam semakin tertunduk.

     "A-apanya yang salah?" cicit Maryam pelan.

     "Dia temen kamu kan?" Maryam mendongak untuk menatap mata Kak Toha.

     Maryam mengangguk pelan. Setelah semua yang dirinya dan Raga lalui, bisakah Maryam menganggap Raga sebagai teman? Tak apa jika sekalipun Raga tidak menganggapnya demikian. "I-iya."

     "Apa kamu akan meninggalkan Laili jika seandainya kamu tau sisi lain dari Laili yang gak kamu suka? Yang orang-orang gak suka?" ujar Kak Toha yang sesekali melirik Maryam di sampingnya.

     "Enggak akan. Bagaimanapun Laili temen aku." Maryam menjawab mantap.

    "Lalu Raga? Bukannya kamu bilang dia temanmu? Akan tidak adil jika kamu memperlakukan temanmu dengan sikap yang berbeda," Kak Toha menjeda, menghela napas panjang, Kak Toha tersenyum pada asik bungsunya itu. "Dia sedang sangat butuh arahan dan rengkuhan. Jika tidak dia akan kembali tersesat. Dan mungkin, kamu gak akan pernah liat Raga, teman kamu lagi. Dia ada. Tetap ada. Tapi dengan jiwa yang berbeda. Mungkin, kamu gak akan bisa mengenalinya lagi."

     "Kenapa kakak bilang gitu?" Sorot mata Maryam menunjukkan ketidaksukaannya pada kalimat yang baru saja Kak Toha katakan tentang Raga. Entah kenapa terbesit perasaan takut dan was-was jika perkataan Kak Toha tentang Raga benar-benar akan terjadi. Raga dengan jiwa yang berbeda? Tidak dapat mengenalinya lagi? Apa maksudnya semua ini? Maryam mendengus kasar, berfikir terlalu keras membuat kepalanya berdenyut-denyut, apalagi akhir-akhir ini imun tubuhnya sedang menurun.

     "Banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi. Kita gak tau alur seperti apa yang sudah Allah tuliskan, bukan? Antisipasi itu perlu."

     Maryam menunduk, jika dipikir-pikir semua itu mungkin saja terjadi. Lalu, apa yang akan ia lakukan jika semua itu terjadi? Maryam tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Bagaimanapun caranya. "Kakak benar."

     Kak Toha tersenyum lebar. "Syukurlah jika kamu mengerti. Kakak hanya berpersan, jangan pernah tinggalkan temen-temen mu dalam situasi dan kondisi apapun. Suatu saat nanti kamu akan mengerti, teman-temanmu adalah harta berharga yang Allah berikan padamu. Bimbingan mereka, rengkuh dan tunjukkan pada mereka jalan kebenaran yang akan menuntun kalian kepada surga-Nya."

     Maryam mengangguk mantap sembari tersenyum lebar hingga kelopak matanya menyipit bahkan hampir terkatup. Terlihat begitu manis bagi siapapun yang melihatnya. Namun sayang, Maryam hanya menunjukkan senyum itu pada orang-orang tertentu saja. Maryam memberikan penghormatan pada Kak Toha. "Siap! Laksanakan, Komandan."

  "Jika niatku hanya ingin berteman, apa itu salah? Namun, tak dapat dipungkiri jika ada rasa lain yang masih kusimpan untuknya. Hari ini aku melihat netra segelap malam itu kehilangan cahayanya. Dan hari ini pun aku takut jika dia akan pergi dan digantikan dengan jiwa yang berbeda. Raga yang tidak aku kenal.

Ya Rabb, beri aku kesempatan untuk kembali membimbingnya kepada-Mu. Jika bukan aku, maka tolong kirimkan seseorang untuk merengkuh dan menuntunnya agar tidak pernah kehilangan arah. Jangan biarkan dia tersesat hingga lupa jalan kembali. Aku mohon."

- Maryam Afra Husain
    

Cukup Sekian.

Jika sewaktu-waktu kalian gak nemu cerita ini di wattpad, berarti ceritannya udah aku unpublish ya:) aku nulisnya itu mood-mood-an. Ini masalah terbesar aku dalam menulis. Dulu pun begitu, sudah 43 part, kurang beberapa part lagi ending aku unpublish. Doakan saja semoga yang ini enggak. Dan entah kenapa akhir-akhir ini mood aku naik turun kayak rollercoaster. Biasanya emang gitu sih. Tapi ini lebih down tanpa sebab yang jelas. Feel nulisnya ilang gitu aja.

     adiu.

Dia MaryamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang