📍 25. Heart

1.6K 185 17
                                    

Ost buat part ini
Maher Zain - Insya Allah

Available on mulmed
__________________

    Lelaki tanggung dengan hoodie hitam itu menatap kosong hamparan bening kehijauan yang membentang luas di hadapannya. Sesekali helaan napas berat terdengar darinya. Angin sore berhembus pelan, mengacak lembut rambut hitam pekat yang nampak sedikit berantakan. Entah sejak kapan Raga sering ke tempat ini. Tempat sekitar danau itu sepi, air danau pun terlihat begitu tenang dengan gelombang-gelombang kecil.

     Seulas senyum tipis tersungging di bibir Raga ketika manik hitamnya menangkap sosok Giya yang tengah asyik berlarian ke sana-kemari dengan girang. Entah apa yang sedang dia lakukan. Yang Raga tahu, ia ikut senang ketika Giya tertawa lepas tanpa beban.

     Menghela napas panjang, Raga mulai memejamkan mata, menikmati belaian lembut angin sore yang menerpa wajah dan rambutnya. Sejenak, ia merasakan kedamaian. Beban berat yang ia rasakan seolah hilang. Melayang jauh entah kemana. Namun itu hanya sesaat.

     Raga kembali membuka kelopak matanya. Tatapannya masih sama, datar dan kosong. Cahaya dalam netra itu redup. Hampir padam malah. Ada masa dimana ia merasa seorang diri di dunia ini. Mama Kiran belum juga sadar, Candra? Lupakan saja. Di saat seperti ini saja dirinya sedang keluar kota untuk urusan pekerjaan. Raga pikir, semuanya akan kembali membaik. Namun nyatanya ia malah kembali ke titik awal keterpurukan. Seolah kehilangan arah, dirinya hampir lupa jika Allah selalu bersamanya, di setiap langkah yang dipijak hamba-hamba-Nya.

     Pencarian jati diri ini belum berakhir. Entah rencana apalagi yang sudah Allah tuliskan di jalan takdirnya. Di usianya kini, rasanya masalah demi masalah terus menghujam. Pertahanannya masih begitu rentan. Apalagi setelah peristiwa-peristiwa di masa lampau yang seringkali menghantuinya.

     Pertemuannya dengan Maryam bagai sebuah delusi yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Dia mengubah segalanya. Jati diri yang sudah hilang bertahun-tahun lamanya kini mulai kembali ia peroleh. Namun, bukan hidup namanya jika tidak ada rintangan. Dia, Maryam gadis yang membantu menuntunnya menuju cahaya kini seolah menjadi fatamorgana.

     Dia ada. Namun Raga tak bisa untuk hanya sekedar menjangkaunya. Jika dirinya mendekat, ia hilang. Hanya mampu melihat, tanpa bisa menggapai. Pilihan yang sulit memang.

     Ini tidak adil. Bagaimana ia bisa kembali melangkah jika pelita yang mampu menerangi jalan dan setiap langkahnya tidak ada? Dia pergi. Pelitanya sudah pergi. Sangat jauh sampai dirinya tidak tahu apakah pelitanya akan kembali atau tidak.

     Dulu, Mama Kiran yang menyuruhnya pergi, setelah itu Maryam dengan sikapnya mendorong Raga untuk pergi menjauh. Jika orang-orang yang begitu berarti bagiku menyuruhku pergi, lalu aku harus berlari pada siapa? Kenapa dunia begitu kejam? Kapan ketidakadilan ini berakhir? pikir Raga frustasi.

     "Bang Raga! Airnya dalem banget!" Suara nyaring Giya membuyarkan lamunan Raga. Dari tempatnya duduk, Raga dapat melihat Giya yang tengah berdiri begitu dekat dengan bibir danau.

     "Giya, jangan deket-deket entar kecebur loh!" Raga memperingatkan.

     Giya menggembungkan pipi kanannya kesal. "Iya iya." sahutnya mulai menjauh dari bibir danau.

     "Assalamualaikum." Suara berat dari seseorang di belakang Raga sejenak dapat mengalihkan fokus Raga. Ia menoleh ke samping kanan ketika dirasa seseorang tersebut maju selangkah lebih dekat padanya.

     Raga tetap bergeming. Tanpa menolehpun sebenarnya ia tahu siapa orang itu. Ia hanya sedang malas menanggapinya.

     Menyadari keterdiaman Raga yang hanya mengacuhkannya membuat lelaki itu berdehem kecil. "Menjawab salam itu hukumnya wajib."

Dia MaryamWhere stories live. Discover now