📍 23. Angel and devil

1.8K 184 31
                                    

     "Kenapa sih? Perasaan dari kemaren kamu banyak diemnya," Laili menatap Maryam cemas, "kamu sakit? Sariawan?"

     Lagi, Maryam hanya menanggapi ucapan Laili dengan gelengan kecil. Sementara Laili kini menghela napas kasar mendapat respon sedemikian dari Maryam.

     Beberapa hari ini Maryam selalu seperti itu. Lebih banyak diam, melamun, dan nampak murung. Laili khawatir, sangat khawatir malah. Tidak biasanya Maryam seperti ini. Ia yakin terjadi sesuatu. Ia yakin sahabatnya itu sedang ada masalah.

     Saat ini keduanya tengah berada di rumah Laili untuk mengerjakan tugas bersama. Namun, ada alasan lain, ada sesuatu yang ingin Laili bicarakan pada Maryam.

     Perasaan Maryam sedang tidak karuan. Entahlah, dirinya juga tidak terlalu paham dengan perasaannya sendiri. Yang dirinya tahu, ini begitu menyesakkan. "Kamu gak perlu menjelaskan maksud kamu. Aku sudah tau. Tapi maaf, aku bukan salah satu mainan kamu. Aku enggak seperti mereka yang bisa dengan mudah kamu kelabui. Permisi."

     Maryam memejamkan mata sejenak. Hatinya terasa ngilu mengingat perkataannya sendiri pada Raga. Harusnya tindakan yang dirinya lakukan sudah benar bukan? Lalu kenapa sekarang ia merasa menyesal dan bersalah?

     Lalu, bagaimana dengan Raga? Apa dia tersinggung? Apa perkataanku udah kelewatan? Haruskah aku minta maaf? Berbagai pemikiran mulai muncul satu persatu bagai air hujan yang jatuh dari langit, begitu banyak dan penuh di kepalanya.

     "Maryam," Tepukan ringan di pundak Maryam membuatnya tersentak dan tersadar dari lamunan singkatnya. Maryam mencoba untuk tetap tersenyum. Bagaimanapun, Laili tidak boleh menaruh curiga padanya. Maryam tidak ingin Laili cemas dan khawatir karena dirinya. "I-iya, Lai?"

    Laili menyipitkan mata. "Menurutmu aku ini siapa?" Kernyitan samar nampak di kening Maryam mendengar pertanyaan yang Laili ajukan padanya.

     "Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja kamu itu Laili, sahabat aku." Tidak sulit bagi Maryam menjawab pertanyaan itu. Namun sepertinya Laili belum juga puas dengan jawaban yang Maryam berikan.

     Laili mendengus kasar. "Aku gak yakin dengan hal itu."

     Kernyitan nampak semakin jelas di kening Maryam. "Apa maksud kamu?"

     "Jika kamu nganggep aku sahabat, pasti sekarang ini kamu mau cerita semuanya. Kamu udah gak percaya lagi sama aku?"

     Maryam menggeleng pelan. Kenapa tiba-tiba Laili berpikir seperti itu?  "Bukan gitu, Lai. Masalahnya—"

     "Apa? Aku gak bisa liat kamu gini terus. Kalo kamu cerita, siapa tau aku bisa kasih solusi. Yah, walaupun solusi aku gak bisa sebijak nasihatnya Bapak Mario Teguh, seenggaknya kamu bisa cerita buat mengurangi beban."

     Maryam terdiam cukup lama. Ucapan Laili ada benarnya. Dirinya tidak harus memendam semuanya sendiri. Rasanya begitu menyesakkan. Seolah-olah ada batu besar yang menghantam dadanya ketika ia memendam semua rasa seorang diri. Mungkin ia bisa berbagi dengan Laili. Lagipula, Laili bukan orang lain. Maryam sudah menganggapnya seperti saudara sendiri.

     Maryam menatap Laili dalam. "Kamu bener, Lai. Selama ini aku gak pernah nyembunyiin apapun dari kamu. Tapi, aku harus mulai dari mana? Ini terlalu sulit buat dijelaskan," Maryam menjeda. Sekuat tenaga dirinya menahan agar air matanya tidak tumpah. Maryam tidak ingin terlihat lemah di hadapan Laili atau siapapun.

     "Di satu sisi ada Abah, keluargaku, lalu di sisi lain ada dia, dan hatiku. Aku takut mengambil keputusan yang salah. Akan ada banyak hati yang terluka gara-gara keputusanku nanti."  Maryam kembali terdiam, sekuat apapun ia berusaha, air mata itu dengan lancarnya lolos begitu saja dari pelupuk mata Maryam.

Dia MaryamWhere stories live. Discover now