18 : H -5

3.9K 590 102
                                    

Tengah malam begini Drizel belum tidur, gadis itu duduk di depan kaca, tatapannya kosong sembari mengetuk-ngetuk meja.

Entah kenapa Drizel merasa ada yang tidak beres dengan Louis. Sudah dua kali seolah Louis menginginkan dirinya mati.

Sebenarnya ada apa?

Ceklek... Ceklek...

Reflek Drizel menoleh belakang, ke arah pintu yang telah ia kunci rapat dan kini kenopnya seperti berusaha dibuka dari luar.

"Siapa malem-malem begini?"

Meski penuh keraguan, Drizel berjalan mendekat. Dia berdiri di depan daun pintu, sekejap mata suasana kembali sepi.

"Siapa?" tanya Drizel memberanikan diri.

Tidak ada jawaban.

Membuka pintu, dengan cepat Drizel menelisik sekitar. Tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang. Jadi, siapa yang tadi berusaha membuka pintu kamarnya?

Meneguk ludah ngeri, Drizel kembali masuk dan langsung mengunci pintu. Mengusap tengkuknya yang merinding, gadis itu lari ke kasur bersembunyi dibalik selimut.

Ada yang janggal di tempat ini. Drizel sangat yakin, bahwa yang tadi bukanlah sekedar imajinasi.

***

Menggeliat setelah bangun tidur, Drizel menghela napas panjang. Tidurnya tidak nyenyak, bahkan ia tidak tahu sejak kapan ia ketiduran.

Begitu keluar kamar, Drizel sedikit kaget karena di saat bersamaan Gabriel melintasi kamarnya. Lelaki itu berhenti di hadapan Drizel.

"Gimana? Udah enakan?" tanya Gabriel.

"Udah."

Gadis itu melihat penampilan Gabriel dari atas sampai bawah.

"Mau lari pagi?"

Gabriel menjawab dengan anggukan kecil.

"Sering olahraga, ya?"

"Jarang, sih. Kebetulan aja pengen karena lagi ada di sini. Suasananya sejuk, bikin semangat ngeluarin keringet."

"Ikut boleh gak?" tanya Drizel.

"Boleh-boleh...."

"Bentar, ya, aku ganti baju dulu."

Setelah Drizel mengganti pakaian, keduanya pun keluar untuk melakukan kegiatan lari pagi. Jujur, aktivitas seperti ini sangat jarang dilakukan oleh Drizel.

Selayaknya sudah saling akrab, mereka lari kecil beriringan sembari bertukar cerita, canda, dan tawa.

"Jadi kamu masih kuliah?" kaget Drizel.

"Gak percaya, ya?" kekeh Gabriel. "Emang, sih, banyak yang bilang kalo muka aku kayak Om-Om."

Lelaki itu mencoba bergurau, lalu Drizel tertawa.

"Om-Om mana coba yang gantengnya kayak anak cowok baru puber?"

"Muji?"

"Ya gitu, deh." Menahan senyuman, Drizel lari mendahului Gabriel.

Mendengar sahutan Drizel barusan, sontak Gabriel menunduk, pipinya semu merah menahan malu. Lalu mengekori gadis itu.

Dari balik pohon, orang yang sejak tadi mengikuti Drizel dan Gabriel keluar. Dia menatap dua punggung yang lari kecil jauh di depannya.

Louis memasang wajah datar, ekspresi yang tidak mudah ditebak dan penuh rencana. Lelaki itu kembali membuntuti Drizel dan Gabriel diam-diam.

Setelah berkeliling di area tak jauh dari Vila, Drizel dan Gabriel pulang. Di sana ia sudah mendapati Louis memasak sesuatu di dapur. Lelaki itu terlihat rapi dengan kemeja hitam dan celana selaras ditambah celemek yang ia kenakan.

Menyusun mangkuk di atas meja makan, Louis lari mendekati Drizel dan Gabriel.

"Gitu, ya, pergi gak ajak-ajak? Gue kan juga mau gabung sama kalian. Ke mana-mana bareng, ngapain bareng. Huh, kayak gak ditemenin," protes Louis.

"Lebay lo! Ngomong-ngomong rapi banget?" tanya Gabriel.

"Salah baju, nanti mau ganti."

"Hahaha...."

Drizel diam saja menyimak perbincangan dua lelaki di dekatnya yang terlihat akrab.

"Kata Lucca dia mau ajak kita ke Pulau Puillo."

Gabriel mengangguk.

"Sebelum pergi, gue udah masakin kalian sesuatu. Ayo, makan."

Louis berpaling pada Drizel yang terlihat enggan melihat wajahnya.

"Lo marah lagi sama gue?" tanya Louis. "Gue pikir kemarin lo pura-pura tenggelam, makanya gak langsung gue tolong."

"Gapapa kok," jawab Drizel senyum. "Salah gue juga minta pertolongan sama orang kayak lo."

"Gue duluan, ya," lanjut Drizel melintas pergi.

"Anne, makan dulu! Ini Louis udah masakin kita, loh!" seru Gabriel.

Louis menghela napas, menganggap remeh atas rasa kesal Drizel terhadapnya. Seolah yang telah ia lakukan hanyalah hal sepele yang seharusnya tak perlu dibesar-besarkan.

Menggandeng tangan Gabriel, Louis mengajak lelaki itu menuju meja makan.

"Yaudahlah kalo dia gamau kita makan berdua aja."

"Tapi Anne belom makan."

"Kalo laper juga ke sini dia."

Gabriel mengangguk, meraih sendok. "Ntar gue anterin ke kamarnya aja."

Louis diam, dia memandang Gabriel tanpa berkedip. Sontak Gabriel menyadari itu, balas menatap Gabriel dengan heran.

"Kenapa?" Gabriel mengecek pakaiannya takut ada yang salah.

"Ngaku aja lo suka kan sama Anne?"

Tatapan Louis sangat tajam yang entah kenapa membuat Gabriel merasa diintimidasi.

"Ha?"

Menghela napas, Louis memasukkan makanan ke mulut, fokusnya beralih pada mangkuk di hadapannya.

"Gampangan amat, belum juga kenal dua hari," gumam Louis.

"Lo ngomong apa, sih?" Tiba-tiba Gabriel jadi kesal.

Louis menambahkan nasi ke piring Gabriel, lalu mengibaskan tangan.

"Gak! Cepet makan-makan!"

Mendapati sikap Louis, Gabriel jadi keheranan. Tak mau berpikir kejauhan, dia menikmati makanan yang telah dimasak oleh Louis. Ternyata lelaki itu sangat pandai dalam memasak.

"Enak?" tanya Louis.

"Enak banget, Bro! Lo belajar masak di mana?"

"Dari kecil gue tinggal sama Nenek, mendiang Nenek gue yang ajarin."

"Hebat, ya."

"Nanti lo mau pake baju apa?"

"Gue? Pake baju apa?" tanya Gabriel, bukan tidak dengar, tapi agak tidak menyangka dengan pertanyaan spontan Louis.

"Ke pulau, ya?" Gabriel terlihat berpikir. "Kayaknya kaos polos sama kemeja pantai aja, deh."

"Celana?"

"Lo ngapain nanya-nanya baju, bego?" kekeh Gabriel.

"Mau samaan aja."

"Lah? Ntar orang ngira kita gay lagi."

"Emang lo bukan gay?"

Berhenti mengunyah, raut wajah Gabriel langsung berubah drastis.

Louis langsung tertawa untuk memecah suasana. "Bercanda doang kali, serius amat muka lo!"

"Bercandain orientasi seksual orang itu gak sopan."

"Iya, maap."

_I'm Back_

Follow IG:
@lullaby_are_wii

I'M BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang