39 : Kehancuran

2.2K 329 6
                                    

"Enggak. Aku udah punya istri," jawab Brace tenang.

Gabriel tampak tercengang.

"Adik di bawah sana hanya mau menanamkan benih di rahim wanita. Bukan lubang dubur seorang lelaki. Aku bukan gay seperti kamu," kekeh Brace penuh ejek.

Wajah Gabriel merah menahan emosi, entah kenapa dia berbicara seperti tadi. Harga diri Gabriel seperti dipermalukan.

"AKU BUKAN GAY, HANYA SAJA AKU MENYUKAI ANNE!"

Sambil berteriak Gabriel mengayunkan belatinya emosi ke wajah Brace. Mengelak cepat, Brace menahan pergelangan Gabriel, tajamnya ujung belati sudah terpampang di depan mata Brace.

Memukul ulu hati Gabriel, Brace menyahut belati lelaki itu. Tanpa pikir panjang dia tancapkan ke perut Gabriel. Belati yang tertancap sepenuhnya ditarik kembali, lalu Brace mengiriskan belati itu di leher Gabriel seolah sedang menyembelih ayam.

Gabriel ambruk, bibir lelaki itu terbuka, dia batuk mengeluarkan darah.

Tertegun sesaat, dengan kekuatan yang entah didapat dari mana, Sammuel menghempas tubuh Louis, dia tarik tangan Louis dan dibantingnya ke lantai.

Sammuel lari ke arah Gabriel yang sudah sekarat, menyaksikan mata sayu adiknya tertutup perlahan-lahan.

Menatap Brace sengit, Sammuel berdiri.

"Sudah terlanjur hancur, maka tak akan saya biarkan kamu tetap hidup! Biarpun harus masuk ke dalam kerak neraka terdalam, kamu harus mati di tangan saya!"

Menghunus belati dari leher Gabriel, Sammuel lari ke arah Brace yang reflek melangkah mundur. Tubuh Brace terantuk dinding, segera Brace melipir ke samping sehingga belati yang terayun tidak mengenainya.

"Kemari kamu, brengsek!" teriak Sammuel.

Brace bingung, dia tidak punya apapun untuk melawan. Sedangkan di sana, Louis sudah tak sadarkan diri.

Menyahut buku tebal di atas meja, Brace melempar buku itu kepada Sammuel.

"Ah!"

Tepi buku melukai batang hidung Sammuel, amarah lelaki itu semakin berapi-api. Buku-buku di atas meja terus dilemparkan Brace kepada Sammuel yang tetap bergeming sampai buku terakhir.

Panik setengah mati, Brace agak merinding melihat tatapan penuh emosi dari mata Sammuel. Pelan-pelan lelaki bertubuh besar itu mendekat.

Pinggang Brace sudah terpentok meja, matanya tak lepas dari Sammuel. Kedua tangannya memegangi tepi meja, lalu berusaha kembali tegap begitu Sammuel lari ke arahnya.

"MATI SAJA KAMUUU...!!!"

Jleb...

Belati tajam itu menancap pada perut.

Brace yang berhasil memutar tangan Sammuel dengan arah berlawanan sehingga belati itu menancap pada perut Sammuel.

Dia tidurkan tubuh Sammuel di atas meja dengan kaki masih menginjak lantai, pelan-pelan dia masukkan semakin dalam belati itu sembari memutar-mutarnya di dalam perut. Darah mengalir bagai anak sungai, tangan Brace pun telah dipenuhi cairan amis berwarna merah.

Senyum smirk terukir di bibir indah Brace, tatapannya layu meremehkan.

"B-biadab!" ucap Sammuel terakhir kali sebelum Brace menusukkan belati ke dalam mulut sampai menembus kerongkongan.

Cipratan darah segar mengenai wajah mulus Brace yang telah berkeringat. Brace berdiri tegap, menatap Sammuel puas.

Dari pintu, lelaki yang mengamati Brace membunuh Sammuel merasa panas-dingin. Untuk menelan saliva pun rasanya berat, jantung Lucca berdegup tak karuan. Dia lihat saudara-saudaranya telah tergeletak berlumur darah.

Di tangan Lucca sudah ada benda tajam berbentuk pedang, dia ambil pedang itu dari ruangan bawah tanah. Sesal dirasakan Lucca, harusnya dia lebih cepat mencari pedang itu.

Semua sudah terlambat.

Jalan mengendap, Lucca mendekati Brace yang masih berdiri memunggunginya, Brace masih menatap Sammuel yang sedang meregang nyawa.

Semakin dekat Lucca mengangkat pedangnya tinggi, dia lari kecil bersiap mengayunkan pedang itu ke arah leher Brace.

"BRAAAAACE...!!!"

Crak!

Louis yang langsung memeluk tubuh Brace dari belakang harus menerima ayunan pedang dari Lucca. Punggungnya robek parah. Louis jatuh tengkurap di lantai.

Tidak puas sudah melukai Louis, Lucca sudah kehilangan akal dan menancapkan pedangnya di tubuh Louis tiga kali berturut-turut.

Brace membeku melihat pemandangan itu. Asik melampiaskan kesalnya pada tubuh Louis yang dibanjiri darah, Lucca terdorong mundur begitu sebuah buku mengenai wajahnya.

Brace lari, melompat tinggi lalu menendang rahang Lucca kuat. Saat Brace berusaha meraih benda di tangannya, Lucca mengibaskan pedang asal sehingga mengenai lutut Brace.

Sontak Brace tidak bisa menahan keseimbangan, dia jatuh dengan lutut terluka goresan panjang.

Lucca merangkak menimpa tubuh Brace, dia pegang kening Brace dan menempatkan bagian tajam pedangnya di leher lelaki itu.

Lucca tertawa. "Kenapa kamu lakukan ini kepada kami?"

Meski nyawanya ada di ambang kematian dan bisa hilang kapan saja, Brace ikut tertawa.

"Abangmu yang bertanggung jawab atas semuanya. Tanyakan semua kepadanya, Stefan penyebab kenapa aku melakukan ini!"

Tawa Brace semakin keras.

"Diam!" sentak Lucca.

Namun lelaki itu semakin mengencangkan tawanya seperti sengaja mempermainkan emosi Lucca.

Siapa menduga jika Lucca akan membungkam mulut Brace menggunakan mulutnya, dia gigit lidah Brace sampai lelaki itu menjerit. Pedang menggores lehernya.

Brace menendang tubuh Lucca dari atas tubuhnya.

"Aarrgghh... sialan!" seru Brace merasa sebagian lidahnya hampir putus.

Berdiri cepat menginjak tangan Lucca, Brace meraih benda tajam itu dari tangan Lucca.

"Enyah dari bumi kau, sampah!"

Pedang mengayun kencang, mendarat di leher sampai menembus lantai. Kepala dengan mata terbuka Lucca menggelinding.

Membuang pedang dari tangan, Brace ambruk. Angin dari luar jendela yang kacanya pecah masuk ke dalam ruangan menerpa wajah, dia pandangi suasana sunyi di sekitar. Banyak mayat tergeletak akibat ulahnya. Brace tidak menyangka dia bisa melakukan balas dendam sampai sejauh ini.

Menatap Louis lama, berusaha berdiri menggunakan kakinya yang lemas. Brace mendekati sahabatnya yang sudah tidak bergerak sama sekali, Brace membalik tubuh tengkurap Louis, dia sentuh leher dan pergelangan lelaki itu.

"LOUIIIISSS...!!!" teriak Brace begitu tak merasakan denyut nadi sama sekali.

_I'm Back_

Follow IG:
@lullaby_are_wii

I'M BACKWhere stories live. Discover now