26 : H -2

3.1K 484 20
                                    

Mengetuk pintu ruangan Sammuel, Gabriel masuk, di dalam masih ada Lucca.

"Sini kamu!" panggil Sammuel.

Gabriel mendekat, dia bergidik begitu Sammuel mengusap tengkuknya dan menuntun untuk duduk.

Sammuel terus menatap Gabriel, meminta agar adik lelakinya itu mengatakan sesuatu.

"Kenapa gadis gila itu masuk kamar kamu?"

Menoleh kaget, Gabriel tidak menyangka jika Kakaknya akan mengetahui itu.

"D-dia ngajak aku pergi dari sini, Bang. Dia udah tau tentang kita. Beruntungnya dia ngira kalo penjahat di sini adalah Louis, dan kalian berdua. Aku mengarang cerita waktu dia tanya apakah aku pernah ngelakuin sesuatu yang bisa buat orang punya dendam sama aku."

"Kamu jawab apa?"

"Aku mengarang cerita yang mengarahkan jika Louis memang bagian dari kalian. Kayaknya rencana kita berjalan lancar, dia udah percaya sama aku. Dari sikapnya, ada kemungkinan kalo dia juga suka sama aku."

Mengusap lembut kepala adiknya, Sammuel tersenyum bangga.

"Tidak masalah dia tau rencana kita atau tidak, di sini kamu kunci utama kami. Lanjutkan misi. Jangan sampai kamu buat dia jatuh cinta, tapi malah kamu yang beneran cinta sama dia."

Gabriel hanya diam saja, tiba-tiba rasa berat hati menguasai. Perasaan apa ini? Apa yang membuatnya merasa seperti tidak rela?

"I-iya, Bang."

***

Drizel turun ke bawah, pagi ini tidak seperti biasanya. Dia melihat suasana berbeda di meja makan. Di sana duduk Sammuel, Lucca, dan Gabriel.

"Anne!" teriak Gabriel melambaikan tangan.

Awalnya Drizel hanya berniat mengintip, ternyata Gabriel menyadari keberadaannya. Gadis itu sempat tersentak. Mau tidak mau berjalan mendekat.

"Sini sarapan bareng," ajak Gabriel menepuk kursi di sampingnya.

"Tadi saya beli lauk di pasar, silakan makan," sambung Lucca.

Drizel menoleh Sammuel, kemudian samuel membalas pandangan Drizel seraya tersenyum tipis.

Kali ini yang ada di pikiran Drizel hanyalah dia harus bersikap tenang dan ikuti alur permainan dengan hati-hati. Bagaimanapun dia harus meyakinkan Gabriel terlebih dahulu agar mereka bisa pergi dari sini.

Tunggu dulu. Tapi, seperti ada yang kurang di sini.

"Di mana Louis?" tanya Drizel spontan.

Meski sempat ikut kaget dengan pertanyaannya sendiri, Drizel menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan-pelan. Sekali lagi harus tetap tenang.

Gabriel memandangi Sammuel dan Lucca bergantian.

"Dia sudah melanggar rules yang telah saya berikan. Maka dari itu saya sudah menyuruhnya pergi dari Vila ini. Maaf atas ketidak nyamanan kamu selama ada Louis di sini," ucap Sammuel tetap membiarkan senyum tipis mengembang di bibirnya.

"Bagian rencana?" batin Drizel mengerutkan kening penuh keraguan.

Di meja makan Drizel hanya meminum air putih dan buah anggur yang juga dimakan Lucca. Saat ini Drizel tidak boleh lengah sedikit pun. Siapa tahu di dalam makanan telah mereka campurkan sesuatu?

"Gabriel, mau jalan kaki melihat-lihat daerah sini?" tanya Drizel.

"Boleh!"

"Ayo!"

Drizel berdiri lalu diikuti oleh Gabriel.

"Mau saya temani?" tanya Lucca menawarkan diri.

"Gausah."

Drizel mengajak Gabriel ke tebing yang langsung menghadap pantai dan laut lepas, tempat di mana Gabriel pernah menyelamatkannya pada hari pertama berada di Vila.

Duduk di tepi tebing lalu diikuti Gabriel, lelaki itu menoleh Drizel.

"Di sini pertama kali kamu nyelametin nyawaku."

Gabriel bergeming.

"Yang kedua di Telaga Darah," lanjut Drizel.

"Saling menolong udah kewajiban tiap manusia. Selama di sini kita tinggal satu atap, aku udah nganggep kalian seperti keluargaku sendiri. Kamu, Louis, Lucca, dan Pak Sam," jawab Gabriel.

"Kamu gabisa percaya gitu aja sama orang lain. Lucca dan Pak Sam adalah dalang dibalik semua ini, kalo gak pergi sekarang, gak menutup kemungkinan kita akan mati."

Gabriel malah tertawa, sontak Drizel jadi kesal. Respon Gabriel seolah menganggap bahwa Drizel sedang bercanda.

Di saat Drizel mati-matian untuk meyakinkan Gabriel bahwa mereka sedang dalam bahaya, gadis itu tidak sadar jika yang sebenarnya berada dalam bahaya hanyalah dirinya sendiri.

"Jangan ketawa, aku lagi gak bercanda. Kalo kamu gak percaya, ayo cari tau tentang mereka sama penduduk di bawah sana."

Drizel menunjuk pemukiman warga yang terlihat dari atas tebing.

"Aku yakin warga tau tentang seluk-beluk pemilik Vila itu. Pemiliknya keluarga Rodriguez, yang di mana kita pernah berurusan sama anggota keluarga mereka. Mungkin kesalahan kamu gak fatal, tapi aku udah bunuh adik mereka!"

Gabriel tersentak, seketika matanya merah. Tanpa sadar tangan lelaki itu mengepal, tiba-tiba melihat mata Drizel membuatnya teringat akan Alice. Kobaran api dendamnya memuncak.

Sebisa mungkin Gabriel mengontrol dirinya agar tidak melakukan tindakan gegabah.

"Kamu kaget?" tanya Drizel menyentuh pundak Gabriel namun langsung disingkirkan.

Melihat ekspresi Gabriel, gadis itu menyimpulkan bahwa Gabriel jadi takut padanya setelah mengetahui bahwa dia seorang pembunuh.

"Jangan takut... bukan tanpa sebab aku ngelakuin itu. Semua bermula dari dendam masa lalu."

"Kenapa kamu ngasih tau aku tentang semua itu?"

"Karena aku percaya sama kamu. Sekarang kamu lebih dari teman bagi aku. Aku hutang budi karena kamu udah nyelametin nyawa aku berkali-kali, sekarang aku sadar kalo semua kecelakaan itu bukan sekedar kebetulan. Sekarang pula aku akan berjanji sama diriku sendiri, aku gak akan biarin mereka sakitin kamu."

Gabriel tercengang lama, dua mata itu saling bertemu. Berkedip, setetes cairan lolos dari mata Gabriel. Sudut bibir yang menurun perlahan terangkat, Gabriel tertawa kemudian berdiri.

Tentu saja respon itu membuat Drizel bingung.

"Udah dongengnya? Udah seneng, ya, aku pura-pura percaya?"

"Gabriel!"

"Cerita kamu dark banget, dahlah aku gak tertarik sama beginian. Aku penakut tau, bercanda kayak gini tuh gak seru."

_I'm Back_

Follow IG:
@lullaby_are_wii

I'M BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang