02 : Jatuh Cinta

10.8K 1.3K 6
                                    

Drizel tak melepas pandangan dari Stefan yang kini sudah melepas jas dan hanya memakai kemeja yang dua kancing bagian atasnya terbuka.

Setelah kejadian tadi, Stefan membawa Drizel ke ruangannya. Drizel duduk di atas sofa, sedangkan Stefan berlutut di bawahnya mengobati luka pada kaki jenjang Drizel menggunakan kapas.

Stefan mendongak, kontan Drizel tersentak kaget, langsung buang muka mengalihkan pandangan dari Stefan.

Lelaki itu tertawa kecil, menarik kursi lalu duduk di depan sofa menghadap Drizel.

"Tadi kamu kenapa?" tanya Stefan lembut.

"M-maaf, Pak, saya cuma gak menyangka bisa sedekat ini dengan Bintang Model seperti Bapak," gugup Drizel. "Lain kali saya gak akan ngeliatin Bapak seperti itu lagi."

"Bukan itu maksud saya. Tapi, kenapa kamu seperti orang ketakutan saat saya mau melilitkan dasi di luka kamu tadi?"

Drizel menunduk. "Saya takut dasi."

Mendengar itu reflek Stefan tertawa lucu.

"Benarkah? Di dunia ini ada orang yang takut dasi?"

Tawa Stefan memudar saat menyadari ekspresi sedih di wajah Drizel. Dia raih tangan gadis itu.

"Maaf saya kira kamu bercanda. Saya sudah berlebihan. Ketakutan seseorang bukan lelucon."

Menaikkan wajah, Drizel segera menarik tangannya dari genggaman Stefan.

"Bukan begitu, Pak. Saya yang berlebihan, seharusnya saya lebih bisa menahan diri saat tadi melihat dasi."

Tak berselang lama seseorang masuk membawa secangkir cokelat panas, lalu keluar setelah Stefan memintanya.

"Kalau begitu saya mau kembali bekerja, Pak. Terima kasih sudah mengobati luka saya."

Belum sempat berdiri, Stefan sudah lebih dulu menahan Drizel. Dia ulurkan secangkir cokelat panas yang dibawa pelayan lain tadi.

"Minum dulu, kamu baru mengalami syok setelah melihat dasi. Cokelat panas sangat cocok dengan cuaca malam ini, di luar hujan deras."

"Tidak usah, Pak, terima kasih." Gadis itu berusaha menolak.

"Saya akan kecewa jika kamu menolak.".

Tak ada pilihan lain selain menuruti kemauan Bosnya. Drizel duduk di sofa berhadapan dengan Stefan, sesekali ia seruput cokelat panas di dalam cangkir yang ia genggam.

"Siapa nama kamu?" tanya Stefan setelah melewati keheningan beberapa menit.

"Drizella Annelies, biasanya orang-orang memanggil saya Drizel."

"Sepertinya saya belum pernah melihat kamu."

"Ini hari pertama saya kerja di kafe Bapak sebagai karyawan part time."

"Oh ya?"

Kilatan cahaya menembus jendela ruangan, disusul suara menggelegar yang sangat kencang.

Lantang suara petir mengagetkan Drizel sampai gadis itu terperanjat, sontak cokelat panas tumpah di kemeja Stefan.

"Maaf, Pak!" seru Drizel panik.

Menaruh cangkir di atas nakas, Drizel meraih beberapa lembar tisu di tempat yang sama. Gadis itu mengusap bekas tumpahan cokelat di kemeja bagian perut Stefan dengan rasa bersalah.

"Saya bener-bener kaget, sekali lagi saya minta maaf."

Stefan tak berkedip menatap Drizel yang sedang membungkuk panik membersihkan kemejanya.

Gadis itu membeku begitu kedua tangannya digenggam oleh Stefan, melangkah maju lelaki itu menggiring Drizel agar kembali duduk. Gadis itu ketakutan saat tubuhnya menabrak punggung sofa tapi Stefan tetap mendekatkan wajah.

Gemuruh suara hujan seakan mendukung suasana yang tenang, namun juga menegangkan bagi Drizel.

Sekujur tubuh Drizel merinding saat dia tahu bahwa kini Stefan menatap instens ke arah bibirnya. Gadis itu tahu apa yang akan dilakukan Stefan.

Semakin mengikis jarak, begitu bibir mereka hampir bertemu, Drizel memejamkan mata langsung menoleh ke samping.

"P-pak..." lirih Drizel takut saat bibir Stefan salah sasaran dan nenempel di telinganya.

Stefan kaget, ia membeku karena malu. Untuk pertama kalinya dia mendapat penolakan dari seorang gadis. Stefan bukanlah tipe lelaki pemaksa.

Sadar mendapat penolakan dia segera berdiri menjauh, merapihkan kemeja seraya menahan salah tingkah.

Tanpa sepatah kata Drizel lari keluar dari ruangan Stefan.

Begitu gadis itu pergi, Stefan menghembuskan napas lewat mulut. Dia lempar tubuhnya ke sofa sembari memegangi kening.

"Malu-maluin kamu, Stef!" monolognya merutuki diri sendiri.

Sesuatu aneh dirasakan oleh Stefan. Lelaki itu memperbaiki posisi duduk. Kenapa sekarang di kepalanya hanya terbayang Drizel? Jantungnya jadi tak berhenti berdegup cepat karena itu.

"Jangan bilang saya jatuh cinta?"

***

Menyusuri lorong kampus, siang ini cukup melelahkan bagi Alice. Dia sudah tidak ada kelas lagi, setelah ini ia akan menemui teman-temannya yang sudah mengatur peretemuan dari semalam.

"Abang gausah jemput Alice, ya? Soalnya Alice ada janji sama temen-temen," ucap Alice kepada Stefan lewat telepon.

Menjepit ponsel di antara telinga dan pundak, gadis itu tampak kesusahan mencari dompet di dalam tas.

"Yaudah... bye, Bang!"

Brugh

Tak mengamati jalan, Alice menabrak bahu seorang gadis sampai laptop yang dibawa gadis itu terjatuh di lantai lorong yang cukup ramai. Satu pijakan dari salah seorang mahasiswa lain yang tengah lari dari kejaran temannya berhasil mematahkan laptop.

Bibir Alice menganga, segera dia raih laptop yang sudah menjadi dua bagian itu.

"Sorry banget, ya, gue gak sengaja. Gue bakal ganti. Berapa lo beli laptop in-"

Alice terdiam begitu mendongak, ia mendapati yang kini ada di hadapannya adalah mahasiswi baru dengan tatapan dinginnya. Dia Drizella.

Menyahut kasar laptop dari tangan Alice, Drizel tak menjawab sepatah kata. Gadis itu melintas pergi menabrak bahu Alice.

"Drizella, berapa harga laptop itu?!" teriaknya berhasil menarik atensi semua orang.

Yang dipanggil langsung berhenti, posisi mereka cukup dekat.

"Gak semua bisa diselesaiin pake duit," ujarnya tanpa berbalik badan.

Alice mati kutu. Tak sedikit orang yang berdecak kagum oleh respon Drizel barusan.

"Mata itu... tatapan itu..." gumam Alice.

"Kenapa gak asing?"

_I'm Back_

I'M BACKDonde viven las historias. Descúbrelo ahora