23 : Kehilangan Ponsel

3.3K 526 19
                                    

Suara mobil terdengar memasuki halaman, Drizel mengintipnya melalui jendela, Lucca dan yang lain sudah pulang.

Kembali menuju kasur, Drizel mengeluarkan koper dari dalamnya. Gadis itu mengeluarkan pistol yang ia dapat dari orang suruhan Selena semalam. Dia usap tiap inci pistol itu, kemudian mengisinya dengan peluru.

"Alur yang menarik, tidak sabar melihat kelanjutannya," monolog Drizel tersenyum tanpa ada rasa takut.

Tentang masalah ini dia sengaja untuk tidak memberi tahu Selena. Bagaimana hasil akhirnya, biarlah dia sendiri yang menghadapi. Pasalnya Drizel paham betul siapa Selena, dia tidak akan diam saat mendengar hal ini. Apalagi saat ini Selena sedang hamil besar.

Drizel tidak bisa membahayakan wanita itu.

Suara ribut-ribut terdengar, bergegas Drizel mengembalikan pistol pada tempatnya. Gadis itu keluar untuk tahu apa yang sedang terjadi.

"Serius lo gatau? Jangan iseng lah, bro! Balikin hp gue!" seru Gabriel.

"Sumpah, Briel, kali ini gue beneran gatau!" sanggah Louis.

"Tadi gue inget banget pas mau tidur di mobil, gue masukin jaket."

"Kali aja jatuh di mobil."

"Kamu sudah mencari dengan benar?" tanya Lucca.

"Udah, seisi mobil gue sisir. Tapi gak ketemu juga. Banyak hal penting di hp itu!"

Louis meraih tangan Gabriel, yang reflek membuat gadis di atas anak tangga sana menaikkan bibir atas sebelah kanannya, memasang wajah antara geli dan terheran-heran.

"Gausah panik. Ayo, gue bantu cari pelan-pelan," ucap Louis lembut pada Gabriel.

"Gay keparat," gumam Drizel.

Tidak tertarik dengan keributan di bawah, Drizel balik badan kemudian masuk kamar.

Bersikap seperti biasa, malam ini di meja makan Drizel ikut mengobrol asik bersama Lucca, Louis, dan Gabriel.

"Waktu umur 8 tahun gue juga pernah tuh ngejar layangan," kekeh Louis menimpali cerita Gabriel.

"Seru, anjir... tapi sampe sekarang gue gatau manfaat ngejar layangan apa. Maksud gue, cuma layangan, gue bisa beli lagi. Tapi kenapa harus gue kejar? Putus mah putus aja kan? Dapet apa coba gue? Dapet layangan kagak, capek iya," sahut Gabriel, Lucca dan Drizel tertawa.

"Dapat hikmahnya," jawab Lucca.

"Hp kamu beneran ilang, Briel?" tanya Drizel.

"Kamu tau dari mana?"

"Tadi sore gak sengaja denger ribut-ribut."

"Iya. Tapi biarin aja, deh. Bisa beli lagi. Mungkin jatuh pas lari-larian sama Louis di area kawah tadi."

Drizel mengangguk paham.

"Lucca," panggil Gabriel.

Menyudahi aktivitas mengunyah, Lucca mengalihkan atensinya pada Gabriel.

"Di sini ada penunggunya, ya?"

"Iyalah, kita ini apa kalo bukan penunggu? Kadang-kadang lo," kekeh Louis.

Drizel mengamati ekspresi Gabriel yang seperti sedang serius bertanya. Menurut sepenglihatan Drizel, lelaki itu tidak sedang bercanda.

"Enggak, gue serius nanya. Penunggu yang gue maksud kayak sejenis jin, mungkin."

"Tidak ada hal semacam itu di sini," jawab Lucca.

"Tapi tiap malem pintu kamar kayak ada yang mainin. Awalnya gue kira ada yang iseng, tapi tiap gue keluar gak ada siapa-siapa. Kalian gitu juga gak, sih?"

Setelah pernyataan Gabriel seisi meja terdiam, sontak mata Drizel tertuju pada Louis yang seketika wajahnya berubah pucat.

"Ternyata gak cuma aku yang kalian incer?" batin Drizel, dia semakin yakin atas tiga orang yang menurutnya adalah Kakak Alice.

Tidak salah lagi, mereka adalah Sammuel, itu sudah pasti. Lucca dan Louis, nama keduanya pun hampir sama. Harusnya sejak awal Drizel peka akan hal itu, dari awal dia bertemu Louis di mobil saat menuju ke Vila pun lelaki itu sudah aneh.

Louis memperkenalkan diri dengan cara yang berbeda, menyebut nama bahkan usia. Seperti, dia memang berniat memberikan clue atas siapa dirinya kepada Drizel.

"Malam ini ada pertandingan bola, mau nobar? Di dekat ruang tengah ada ruangan yang dikunci, di dalam sana ada tv ukuran 144 inch, kita bisa puas menonton siarannya," sahut Lucca mengalihkan percakapan.

"Woahhh... ayo-ayo!" seru Louis antusias.

"Makan dulu, woy! Gue udah susah-susah masak!" sambung Gabriel.

Tiga lelaki itu terlihat heboh saat menonton pertandingan sepak bola, Drizel duduk memisah di sofa belakang tempat tiga lelaki itu duduk. Tidak berhenti Drizel menatap kepala yang ada di tengah dari balik punggung sofa.

Sekejap ia merasa kasihan kepada Gabriel yang tidak sadar bahwa mereka sedang dijebak. Lelaki itu tertawa lepas bersama para penjahat, seolah dua penjahat itu memanglah rekan akrabnya.

Drizel tersentak begitu tiba-tiba Gabriel menoleh belakang, mata mereka bertemu. Tentu saja hal itu membuat Drizel salah tingkah.

Bibir Gabriel senyum lebar.

"Diem aja dari tadi, gak suka bola, ya?"

"Eh, suka kok," jawab Drizel kikuk.

Louis ikut menoleh. "Kalo gak suka balik ke kamar aja, gausah maksain."

Kenapa, sih, Louis sangat sewot? Dia terlalu terang-terangan dalam memperlihatkan kecemburuan.

Louis meraih dagu Gabriel, lalu memutar kepala Gabriel agar kembali menghadap depan. Drizel memutar bola mata malas, tanpa ada yang sadar gadis itu keluar dari ruangan dan memilih masuk kamar.

Terbangun dari tidur karena merasa haus, Drizel melirik jam pada dinding yang menunjukkan pukul 1 malam. Gadis itu tidur dalam posisi duduk di sofa kamarnya.

Sebenarnya Drizel malas sekali keluar kamar, tapi air yang sudah ia siapkan di atas laci sudah habis. Mau tidak mau Drizel harus turun ke dapur untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

Setiap malam beberapa lampu dimatikan, jadi hanya lampu redup yang memberi pencahayaan, memberikan efek remang.

_I'm Back_

Follow IG:
@lullaby_are_wii

I'M BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang