33 : Penyelamatan

2.3K 352 4
                                    

Crak!

Drizel memukulkan kapak dengan baik, dia berhasil membuka pintu. Ruangan itu benar-benar engap dan minim udara, atau bahkan tak ada udara sama sekali.

Tangan Louis diikat ke belakang, kakinya juga diikat. Lelaki itu tergeletak di lantai penuh debu, berusaha mencari oksigen dengan mendekatkan hidungnya di retakan dinding.

Melepaskan seluruh ikatan di tubuh Louis lalu membuang kain di mulutnya, Drizel membantu lelaki itu beringsut duduk. Louis memeluk Drizel lemah, tangisnya terisak tanpa suara.

Menepuk-nepuk punggung Louis, Drizel membalas pelukan Louis erat.

"Gue di sini, kita akan keluar dengan selamat," kata Drizel tenang.

Melingkarkan tangan Louis ke leher, Drizel memapah Louis keluar dari ruangan itu. Jejak darah di lantai membuat Drizel sadar, jika kaki Louis terluka parah. Sontak Drizel menyuruh Louis duduk, dia cek kaki Louis di mana kedua telapaknya sobek dalam, tulangnya hampir terlihat.

"Louis?" kaget Drizel memandang mata sahabat kecilnya itu.

"Sakiiittt..." tangis Louis. "Gue kehabisan napas dan panik, jadi gue tendangin dinding itu sampe retak biar bisa dapet udara."

"Maaf!"

Menggunakan kapak di tangan untung merobek hoodienya, Drizel gunakan sobekan hoodie itu untuk melilit kaki Louis. Kini pakaian Drizel sudah compang-camping.

Brak!

Suara keras berasal dari pintu utama mengagetkan Drizel dan Louis. Keduanya saling berpandangan cemas. Sammuel dan kedua adiknya sudah sampai di tempat ini.

"Cari di sepenjuru ruangan! Saya yakin mereka masih ada di tempat ini!" Suara Sammuel menggema sampai lantai dua.

Lucca lari ke atas, menuju ruangan tempat Louis disekap. Tapi yang dia dapat hanyalah lemari yang sudah tergeser dan tak ada siapapun.

Lelaki itu menendang lemari sampai rusak parah dan jebol, lalu keluar dan turun ke bawah untuk memberi tahu Sammuel. Tanpa sadar jika di dalam lemari ada Drizel yang mati-matian menutup mulut Louis sampai tergigit karena kaki Louis yang keram terkena tendangan Lucca.

Keduanya keluar dari tempat persembunyian, berusaha sekeras mungkin agar tidak menimbulkan suara langkah kaki.

"Cek ke atas lagi!" suruh Sammuel. "Kamu belum memeriksa semuanya!"

Drizel berdecak saat langkah di anak tangga kembali berbunyi, kembali Drizel masuk pada salah satu ruangan terdekat. Lucca membuka satu-satu setiap ruangan di lantai dua, Gabriel di lantai tiga dan Sammue di bawah.

Tiap deritan pintu terdengar ngilu di telinga Drizel dan Louis. Satu pintu dibuka, dua jantung berdebar. Drizel dan Louis sampai tahan napas. Mata Lucca menatap ke dalam, dia masuk, membungkuk di bawah meja dan menyusuri dua rak yang dipenuhi buku-buku tebal.

Kosong.

Lucca keluar, dua orang yang bersembunyi di balik pintu bernapas lega ketika Lucca kembali menutup pintu. Louis semakin lemas, wajahnya pucat pasi dengan tatapan layu. Darah lelaki itu keluar terlalu banyak sebelum kakinya dililit kain oleh Drizel.

"Sabar, ya, lo kuat gue yakin itu. Tunggu sampe kita bisa keluar dari sini dan kita ke rumah sakit."

Drizel menyuruh Louis duduk, sejak tadi Drizel fokus pada atap plafon yang bolong di atas sana. Tepat di atas lemari yang bersampingan dengan meja.

Menyusun buku-buku tebal membentuk tangga, Drizel membantu Louis naik ke atas lemari melalui meja dan buku-buku yang telah dia susun. Dengan begitu mereka bisa dengan mudah menjangkau plafon yang memiliki kerangka kokoh meski sudah agak rapuh.

Louis berhasil naik ke atap plafon, saat Drizel menyusul, atap lemari rapuh yang sejak tadi menimbulkan suara retakan sudah tak mampu lagi menahan bobot Drizel.

Kretak!

Untunglah Louis segera membantu menarik lengan Drizel, mereka berdua berhasil naik ke atap plafon.

"Ayo!"

Drizel mengajak Louis merangkak menyusuri plafon untuk mencari jalan keluar.

"Sebentar," sahut Louis memegangi pelipis, dia sandarkan punggungnya ke tepian.

Mengerti jika Louis butuh istirahat sejenak, Drizel ikut duduk menyandarkan punggung di samping Louis.

Ekor mata Drizel melirik Louis yang sedang meringis sakit merasa pusing.

"Kenapa lo gak terus terang aja dari awal?" tanya Drizel dengan suara berbisik.

"Soal apa?"

"Gue udah liat rekaman video lo. Maafin gue, semua kacau gara-gara gue."

"Almarhum nyokap lo udah berjasa besar buat gue dan nenek gue. Apa yang gue lakuin buat lo adalah bentuk balas budi. Lo nanya kenapa gue gak terus terang dari awal? Karena gue takut lo gak suka sama kehadiran gue yang ikut campur masalah lo. Saat lo menghilang, gue kesepian, Brace."

Nama aslinya Brace Marcelino Torres, saat usianya 8 tahun dia menyaksikan Ibunya meninggal secara mengenaskan di jalan raya depan sekolah dasarnya. Itu semua terjadi karena dia berurusan dengan kakak dari gadis kecil yang telah dia dorong dari anak tangga.

Remaja SMP bersama teman-temannya menemui Brace, mengikat tangan mungil Brace di tiang listrik sehingga saat Annelies melihat anaknya terikat seperti itu, dia langsung panik, lari menyeberangi jalan tanpa menoleh kanan-kiri.

Terjadilah kecelakaan besar yang menanamkan rasa trauma bertahun-tahun pada diri Brace.

"Gue gak nyangka kalo hari itu lambaian tangan terakhir kita. Sejak hari itu kita gak pernah ketemu lagi."

Brace diam mendengarkan Louis.

"Lo tau kenapa gue tolol waktu kelas satu SD selama dua tahun berturut-turut? Sampe gue gak naik-naik kelas. Setelah ada lo, gue mendadak juara kelas terus, entah itu peringkat dua atau tiga?"

"Lo sengaja jawab soal asal-asalan demi gue yang waktu itu belum cukup umur untuk masuk SD, gue yang udah minta lo tunggu gue karena gue mau satu kelas sama lo," jawab Drizel yang tak lain adalah lelaki bernama Brace, dia menunduk lalu menangis.

"Sejak kecil kita selalu sama-sama, Brace. Lo udah gue anggep adek sendiri."

Brace memeluk Louis kuat.

"Maaf gue gak bisa ngenalin wajah lo dari awal, dan gue pikir nama Louis gak cuma lo doang. Makasih udah pergi sejauh ini demi gue."

_I'm Back_

Follow IG:
@lullaby_are_wii

I'M BACKWhere stories live. Discover now