38 : Persembunyian

2K 325 9
                                    

"Tapi, Louis, bisa lo jelasin kenapa waktu itu lo seakan mau gue jatuh dari tebing? Lo biarin gue tenggelam?"

"Karena gue mau lo merasa terancam ada di sana dan milih pergi. Gue udah ngira-ngira, kalo jatuh dari tebing itu lo gak akan mati, selain gak terlalu tinggi, banyak akar yang bisa nahan lo. Untuk tenggelam, gue kira lo cuma pura-pura karena waktu kecil kita pernah les berenang bareng."

"Gue udah lupa cara berenang."

"Tapi akhirnya gue tolongin lo, Brace. Gue panik. Dan saat itu yang bisa kasih lo CPR cuma Gabriel, makanya saat lo sadar yang pertama kali lo liat Gabriel."

Brace menunduk lesu, dia merasa bersalah telah menanamkan prasangka buruk terhadap Louis. Bahkan sempat menuduh bahwa Louis penyuka sesama lelaki.

"Bang, dia gak ada di lantai tig-"

"Ssttt...." Lucca memotong ucapan Gabriel.

Meletakkan jari telunjuk ke depan bibir, memberi isyarat Gabriel supaya diam. Lucca berada di depan pintu salah satu ruangan yang sempat ia periksa tadi.

Gabriel jalan mendekat. Bola mata Lucca melirik ke atas, menyuruh Gabriel untuk mendengarkan sesuatu. Samar-samar suara obrolan terdengar dari atas plafon.

"Di atas?" tanya Gabriel bisik-bisik.

Lucca mengangguk.

"Kamu tunggu di sini dan pastiin mereka merasa aman di atas sana. Bikin suara-suara seolah kamu ada di sekitar mereka biar mereka tetap di sana."

"Iya."

Lucca turun ke bawah, mendapati Sammuel kebingungan mencari di setiap ruangan dengan wajah frustasi.

Sammuel menendangi meja di dekatnya, lalu Lucca meraih lengan Sammuel, meminta lelaki itu menghentikan aktivitasnya. Lucca memberi tahu Sammuel tentang keberadaan Brace dan Louis.

Menuju ruang penyimpanan senjata, Lucca meraih tombak besi yang cukup panjang juga runcing. Dia bawa ke atas diikuti Sammuel.

"Janji sama gue, bawa gue keluar dari sini," bisik Louis.

"Gue janji."

"Lo harus hidup sampe akhir untuk bisa nepatin janji lo."

"Dan lo harus bertahan juga sampe akhir. Kita berjuang bareng-bareng."

Bruk!

Benda runcing menancap tajam pada bagian plafon sehingga mengenai tangan Louis, sontak lelaki itu berteriak. Kaget dan sakit jadi satu.

Tiga lekaki di bawah sana tertawa puas mendengar teriakan itu, menghunus tombaknya, Sammuel mengulangi hal yang sama dan hampir mengenai kaki Brace.

Kedua lelaki itu panik, berniat merangkak menjauhi areanya saat ini, mendadak plafon retak, dalam hitungan detik plafon yang menyangga tubuh Brace dan Louis jebol membuat keduanya jatuh. Louis langsung jatuh ke lantai, namun Brace menghantam lemari dan jatuh di dalamnya menimpa kerangka-kerangka rapuh yang tersisa.

Lucca membuka lemari, tubuh Brace langsung menggelinding keluar. Lelaki itu meringis menahan rasa sakit di tubuhnya yang seperti hampir hancur.

Mengangkat tombak, Sammuel mengarahkan benda tajam itu kepada Brace, mengelak cepat, Brace berhasil menghindari tancapan benda tajam itu. Brace menyeret tubuhnya mundur, sambil tertawa Sammuel mendekat.

Dia arahkan lagi tombaknya kepada Brace, percobaan kedua masih gagal. Hingga yang ketiga, Brace salah memprediksikan ke mana tombak itu akan mendarat. Alhasil hoodie bagian lengannya koyak ditancap tombak, kulitnya tergores dalam sehingga darah mengalir banyak.

Sammuel tertawa diikuti Lucca, berbeda dengan Gabriel yang mengernyitkan kening seolah turut merasakan rasa sakit yang dialami Brace.

"Bangsat!" teriak Louis.

Tidak diduga Louis menerkam tubuh Sammuel dari belakang, mencekik leher Sammuel menggunakan lengannya. Begitu Lucca mau menolong Sammuel, Brace langsung menendang kaki Lucca sampai tersungkur.

Brace mencabut tombak yang menancap di lantai menembus lengan hoodie-Nya. Mengambil alih tombak itu dan mengarahkannya ke punggung Lucca, tapi lelaki itu berhasil menghindar, berakhir meleset ke bahu.

"AARRRGGHH...!!!"

Menghunus tombak, Brace menendang tubuh Lucca sampai terlentang. Mengincar dada kiri. Belum sempat tombak mendarat, Gabriel langsung merebut tombak itu, dia hantamkan jendela sampai kaca pecah dan tombak jatuh ke bawah.

Sedangkan Sammuel yang berusaha memberontak karena hampir kehilangan napas, berhasil menyikut perut Louis. Louis terdorong mundur, kesempatan itu digunakan Sammuel untuk membalas meninju wajah Louis sampai terjatuh.

Sammuel menendangi tubuh Louis habis-habisan. Dengan tenaga yang tersisa, rupanya Louis masih kuat berkelahi. Dia tangkis kaki Sammuel, lalu menariknya sampai Sammuel terjatuh.

Brace ngos-ngosan, matanya menatap Gabriel lekat yang juga menatapnya dengan hal yang sama. Gabriel seperti ragu ingin melakukan sesuatu yang dapat menyakiti Brace.

"Keluarkan belati kamu, Gabriel!" teriak Lucca masih terbaring memegangi bahunya yang berdarah-darah.

Brace senyum miring.

"Kita lihat, apakah Adikmu ini bisa mengalahkan rasa cintanya dengan rasa benci?" kekeh Brace.

"Apa maksud kamu, brengsek?!" bentak Lucca.

"Dia gay."

"Diam!" teriak Gabriel.

Brace menoleh. "Mana ada lelaki normal mencintai sesama lelaki secepat itu? Mungkin awalnya kamu gak tau saya sebenarnya, tapi setelah tau, perasaan itu masih tetap sama kan?"

"Jangan percaya diri. Siapa yang mencintai kamu?!"

"Buktinya kamu gak bisa nyakitin aku."

"Omong kosong!" seru Gabriel lari ke arah Brace.

Hendak melayangkan pukulan, Brace segera menghindar dengan membungkuk, menyeruduk perut Gabriel sampai pinggang Gabriel membentur meja.

Di tengah perkelahian Brace dan Gabriel, Lucca keluar dari ruangan. Turun ke bawa untuk mengambil sesuatu di ruang penyimpanan senjata.

Brace mencengkeram kerah baju Gabriel, dia pukuli lelaki itu secara membabi buta. Berusaha menangkis pukulan, Gabriel menendang kaki Brace.

Gabriel berhasil menduduki perut lelaki itu, dia balas pukulan Brace sampai Brace tidak bisa memberontak. Menyadari Brace sudah lemah, Gabriel mengeluarkan belatinya, dengan satu tangan mencekik leher Brace, yang satu lagi dia gunakan untuk mengangkat belati.

"DARATKAN DI LEHER ATAU BAGIAN UBUN-UBUN!!!" teriak Sammuel yang pergerakannya dikunci oleh Louis.

Entah apa yang membuat Gabriel ragu, tangannya yang mencekik leher Brace turun, meraba bagian bawah Brace untuk memastikan sesuatu. Bodohnya Gabriel berandai-andai jika Brace memanglah seorang perempuan, bukan lelaki.

Membuka mata perlahan, Brace menatap Gabriel sembari terkekeh. Dia biarkan Brace merasakan benda menonjol di bawah perutnya.

"Kamu berharap apa? Adikku nyata," tutur Brace. "Ayo, bunuh aku kalo kamu bisa."

Mata Gabriel merah berkaca-kaca, sungguh dia ingin teriak untuk menolak kenyataan. Sialnya jantung Gabriel tetap berdebar setiap bertatapan dengan Brace, meski dia tahu yang ditatapnya bukanlah sosok yang ia kenal sebagai Anne lagi.

"A-apa kita bisa bersama?" tanya Gabriel pelan.

"Kamu bicara apa, bodoh! Cepat habisi dia!" teriak Sammuel hilang kesabaran.

_I'm Back_

Follow IG:
@lullaby_are_wii

I'M BACKOnde as histórias ganham vida. Descobre agora