06 : Putus

7.1K 1K 19
                                    

Menuruni anak tangga sembari memakai jam tangan, Stefan manutkan alis saat dia melihat Alice di bawah sana.

"Cepet banget pulangnya?" tanya lekaki itu.

Hanya melirik singkat, Alice tak menjawab, dia lari melintasi sang Kakak naik ke atas menuju kamar.

Stefan hanya geleng-geleng. Ini bukan pertama kali Alice seperti itu, setiap punya masalah dari luar ia akan mengimbaskan rasa kesalnya kepada seisi rumah. Paling juga sebentar lagi perasaannya akan membaik.

Pergi ke garasi, Stefan mengendarai mobil keluar dari pintu gerbang.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Drizel keluar juga. Gadis itu langsung masuk ke dalam mobil Stefan yang telah menjemputnya.

"Udah lama?" tanya Drizel basa-basi.

Stefan menggeleng, dia genggam tangan Drizel yang ada di pangkuan. Tatapan saling bertumbuk.

"Maaf atas kejadian semalam, saya masih merasa bersalah," kata Stefan.

"Gapapa, harusnya aku yang minta maaf. Maaf, gabisa menjadi wanita-wanitamu yang sebelumnya."

"Itu yang dinamakan harga diri. Saya semakin sayang dengan kamu."

Stefan mengusap lembut pipi Drizel.

"Ayo, berangkat sekarang!" ajak lelaki itu.

"Kita mau ke mana?"

"Ke tempat romantis yang di sana hanya ada kita berdua."

***

Seharian Alice tidak keluar kamar, dia mengurung diri. Alice berteriak kesal, menyapu kasar semua barang di atas nakas menggunakan tangan sampai jatuh berserakan.

Gara-gara Drizel dia dipermalukan di depan umum, bahkan Alice dikeluarkan dari grup chat sahabatnya sendiri. Terang-terangan ia disindir beramai-ramai di grup chat kelas.

Sefatal itukah kesalahannya?

Membuka beranda instagram, Alice melihat postingan Stefan mengunggah fotonya bersama Drizel sedang menikmati sunset di tepi pantai.

Jadi seharian ini dia bersama Drizel?

Tok... Tok...

"Alice? Sayang?" panggil Stefan. "Kata Bibik seharian kamu gak makan? Cepet keluar, Abang mau ngomong sama kamu!"

Gadis itu tidak merespon. Spontan Stefan jadi khawatir. Bagaimana jika terjadi sesuatu kepada sang Adik?

"Kalo kamu gak buka pintu, Abang akan dobrak!"

Baru ambil ancang-ancang, Alice sudah membuka pintu.

"Abang tau gak kalo Alice udah dipermalukan sama Drizel? Abang tau gak kalo Drizel udah buat Alice dijauhin temen-temen di kampus? Dan sekarang Abang sadar gak kalo Drizel udah ambil semua perhatian Abang dari Alice?!"

Stefan membiarkan Alice meluapkan segala isi hatinya, lalu memeluk Adik yang paling ia sayangi itu.

"Kamu salah, sayang Abang cuma buat kamu."

Gadis itu mendorong tubuh Stefan, dia sudah menangis.

"Selama ini Alice gak pernah liat Abang posting foto perempuan meski pacar Abang di mana-mana. Tapi hari ini?"

Berbalik badan, Alice masuk kamar sembari menutup pintu kencang. Stefan menggedor-gedor meminta Adiknya keluar.

"Alice gamau ketemu Abang sebelum Abang putus sama Drizel!"

"Kamu kenapa jadi begini, sih, Lice? Abang sayang sama kamu. Pihak kampus juga udah hubungin Abang tentang masalah kamu dan Drizel. Abang tau kamu gak suka sama Drizel, tapi apa alasannya? Kenapa sampai kamu menuduh Drizel?"

"Drizel itu mirip sama orang yang aku benci!"

"Karena dia mirip orang yang kamu benci terus kamu benci dia? Ayolah, Alice, kamu sudah dewasa. Jangan kekanak-kanakan!"

"Masalahnya kemiripan mereka bener-bener persis. Sikap Drizel ke Alice itu ngeselin banget!" jawab gadis itu. "Selama Abang pacaran sama dia, jangan harap Abang bisa liat muka Alice!"

Bagi Stefan Adiknya adalah segalanya. Seharusnya melepas satu gadis demi Alice bukanlah hal yang sulit. Tapi mengapa dengan hati Stefan? Cukup berat menyanggupi keinginan Alice untuk meninggalkan Drizel.

"Yasudah!" putus Stefan.

Lama terdiam, Alice kembali membuka daun pintu. Gadis itu menyeka air matanya.

"Yaudah apa?"

"Abang akan putusin Drizel."

"Sekarang!"

***

Drizel menghirup dalam aroma lilin yang membuatnya tenang di tengah pencahayaan remang, gadis itu sedang merendam tubuh di dalam bath-up.

Memegangi bingkai, Drizel mengamati sebuah foto yang memperlihatkan seorang wanita cantik yang mirip sekali dengannya tengah tertawa lepas bersama anak lelakinya.

"Mama... semua sakit akan segera terbalas, Mama sabar, ya?"

Setetes cairan bening mengalir dari sudut mata Drizel. Tak berselang lama ponselnya berdering, Drizel mengulurkan tangan, menaruh bingkai lalu meraih ponsel.

"Drizel," panggil Stefan, intonasinya berhati-hati.

"Iya?"

"Saya ingin kita putus sekarang juga. Maaf."

Sudut bibir Drizel naik, tanpa menjawab sepatah kata dia langsung memutus panggilan, membiarkan seseorang di seberang telepon sana merasa bingung dan bersalah.

Drizel memejamkan mata, melanjutkan aktivitas berendamnya. Tak dia hiraukan saat ponselnya berkali-kali berdering, notifikasi pesan menumpuk berisi ucapan permintaan maaf dan penjelasan bahwa dia tak bersungguh-sungguh ingin putus.

Stefan dibuat kalang kabut berkat satu gadis bernama Drizella Annelies.

***

Selesai bersiap, Stefan bergegas menuju Kafenya, mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Sampai Kafe dia mencari-cari sosok Drizel.

"Apakah Drizel tidak ada di sini?" tanya Stefan pada Pelayan di dapur.

Salah seorang Pelayan menghampiri Stefan, mengulurkan amplop besar berwarna cokelat.

"Apa ini?"

"Tadi Drizella ke sini, dia menitipkan surat pengunduran diri kepada saya untuk diberikan kepada Pak Stefan. Katanya dia tidak bisa bertemu dengan Bapak. Dia bilang, Bapak sudah membencinya sehingga tidak sudi lagi melihat wajahnya."

Stefan mengatupkan bibir seraya memijat pelipis, dia segera keluar menuju jalan raya lalu menghentikan taksi.

Berhenti di depan halte tempat biasa Drizel minta dijemput atau diberhentikan setiap kali dia antar pulang. Stefan tidak tahu di mana rumah Drizel. Stefan harap dengan duduk di halte dia bisa bertemu dengan Drizel dan menjelaskan semuanya.

Stefan sudah seperti orang gila sekarang. Kemisteriusan Drizel berhasil membuat lelaki brengsek itu tergila-gila.

_I'm Back_

Follow IG:
@lullaby_are_wii

I'M BACKWhere stories live. Discover now