#12 Pusaran Badai

8 1 0
                                    

Aku hanya duduk di tepian dek, bersandar pada pagar kapal, memerhatikan orang-orang yang sepertinya sangat sibuk dengan banyak hal. Aku sedang menggigit apel keduaku hari ini, memandangi layar kapal yang menegang karena diterpa angin. Perjalanan ini benar-benar membosankan. Selain pertarungan menegangkan melawan Ataporus semalam, benar-benar tidak ada tantangan. Aku hanya bisa duduk, melihat laut dan melamun.

Aku mendongak saat Alastair mendekat, kemudian mengambil tempat di sampingku. Aku hanya menggeleng saat Alastair menawarkan minumannya.

"Kapan kita akan sampai?" tanyaku di sela-sela kegiatanku menggigit apel.

"Tidak lama." kata Alastair santai. Dia mengarahkan tangannya yang menggenggam gelas pada seorang prajurit yang sedang berdiri gagah dengan sebuah teropong di tangan. "Neal sudah melihat titik hitam di utara."

Aku mengangguk. Menggigit apel. Mengangguk lagi. "Pulau Magola?"

Alastair hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia menghabiskan minumannya lalu meletakkan gelasnya. Aku ikut mendongak saat melihat Alastair memandangi langit tanpa berkedip.

"Akan ada badai." katanya pelan.

Aku mengerutkan dahi saat menatap langit biru di atas kami. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Aku masih tidak mengerti bagaimana caranya Alastair tahu akan ada badai? Alastair memejamkan matanya, masih mendongak ke arah langit. "Badai yang cukup besar." katanya lagi.

"Aku masih tidak tahu bagaimana kau melakukannya. Aku tidak merasakan apa pun." kataku ragu. Aku ingat Alastair pernah memberitahuku tentang perubahan warna langit, embusan angin dan sebagainya. Saat ini, tidak ada perubahan apa pun. Langit masih cerah, angin tidak berembus terlalu kencang, keadaannya benar-benar normal. "Apa kau seorang cenayang?"

Alastair sudah bangkit sebelum menjawab pertanyaanku. Dia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku menelan sisa apelku lalu mengelap tangan pada tunik. Alastair begitu sabar menungguku selesai, kemudian berkata, "Kau harus tetap di dalam ruanganmu." katanya tegas.

"Tapi langitnya ce...."

Aku mendongak saat cahaya matahari yang menyinari kami perlahan meredup. Langit biru cerah di atas kami mulai menggelap. Awan yang membawa uap air terlalu banyak mulai melayang-layang di atas kami. Aku memejamkan mata saat awan hitam itu mulai memuntahkan airnya.

"Apa itu badai yang kau maksud?" tanyaku saat kembali menatap Alastair.

Alastair mengangguk mantap, lalu membalikkan tubuhku. Dengan satu dorongan, dia berhasil menggiringku sampai ke depan pintu masuk ruanganku.

Aku berbalik saat mendengar seseorang berteriak, "Gulung layarnya!"

"Aku ingin membantu." kataku mantap.

"Kau akan sangat membantu jika tetap di dalam." Alastair mengarahkan dagunya ke balik bahuku.

Aku menggeleng, "Aku bisa membantu di sini." kataku, lalu langsung berlari mendekati para prajurit yang sedang berusaha menggulung layar.

Alastair menyerah. Dia tidak menyuruhku masuk lagi. Alastair mulai memberi komando pada para prajurit lain untuk mengamankan barang-barang. Lalu, dia langsung berlari ke area kemudi. Alastair bersama tiga prajurit lainnya berusaha mengendalikan kemudi kapal saat hujan semakin deras dan ombak mulai mengamuk.

Aku membantu beberapa prajurit yang sedang menggulung layar. Guyuran hujan membuat tali dalam genggamanku terasa licin. Aku kehilangan kendali dan tali itu meluncur dari tanganku. Layar yang seharusnya sudah digulung rapi, kembali membuka di sisi kanan. Angin yang bertiup begitu kencang mengambil kesempatan itu dan meniup layar yang sedikit terkembang. Kapal oleng ke kiri, mengikuti arah tiupan angin. Seorang prajurit menatapku tajam saat aku akan mengambil tali yang sempat lolos dari genggamanku.

"Kami bisa menangani ini." katanya.

Jadi, aku menyingkir. Mungkin Alastair benar, akan lebih baik jika aku tetap berada di dalam. Para prajurit kaum Orsenvezk dan kaum Avarus pasti bisa menangani badai ini tanpa bantuanku.

Karena tidak ada layar, kapal kami bergantung sepenuhnya pada gelombang laut. Dan gelombang saat badai benar-benar tidak bisa diandalkan. Aku jatuh saat kapal terombang-ambing karena gelombang laut yang sedang mengamuk. Saat aku mencoba berdiri, air pasang menghempas kapal kami, membuat semuanya semakin basah.

"Ada pusaran!" teriak salah satu prajurit yang memegang kendali.

Dengan susah payah, Alastair dan tiga orang lainnya berusaha mengendalikan kapal, memutar setir ke kiri untuk menghindari pusaran. Aku berusaha berdiri dan langsung berlari ke ruangan di bawah area kemudi untuk melihat pusaran macam apa yang sedang menunggu kami. Pandanganku terhalang oleh hujan deras, tapi aku masih bisa melihat samar-samar gelombang laut dan pusaran besar yang ada di hadapan kapal. Rasanya mustahil untuk menghindari pusaran itu. Aku masih tetap diam di tempat, mengamati dari balik jendela saat pusaran itu semakin mendekat.

Apa yang bisa kulakukan? Berpikir, Julia! Berpikir! Bagaimana cara menghadapi pusaran itu? Jantungku berdegup kencang saat melihat pusaran itu semakin dekat. Pusaran muncul saat badai, kalimat itu terus berputar di kepalaku. Bagaimana cara menghentikan badai?

Saulesius gaismar. Pikiranku dipenuhi dua kata asing yang mungkin bisa membantu. Aku berusaha duduk tenang di ranjang, menatap lurus ke arah jendela, ke arah pusaran yang menghadang kapal kami. Kemudian, aku memejamkan mata untuk memusatkan pikiranku. Aku tidak takut pusaran di tengah laut, ucapku dalam hati, berharap pikiran positif bisa membantu. Pusaran sama sekali tidak menakutkan. Setelah yakin dengan pikiran positif itu, aku membuka mata, menatap pusaran yang jaraknya sudah tidak seberapa. Saulesius gaismar. Aku mengarahkan kata itu pada badai yang menghalangi kapal kami. Saulesius gaismar. Aku mulai panik saat tirai hujan di hadapanku tidak juga menghilang. Saulesius gaismar, ulangku sekali lagi.

Aku baru tahu fungsi mantra itu saat perlahan tirai cahaya mulai membelah titik-titik hujan yang turun dari langit. Cahaya keemasan itu semakin lebar dan akhirnya menerangi seluruh lautan, menggantikan hujan yang membuat gelombang laut mengamuk. Aku mengembuskan napas yang sedari tadi kutahan. Gelombang laut perlahan tenang, tidak lagi bergejolak. Lalu, pusaran yang menghadang kapal kami mulai mengecil, membentuk pusaran yang lebih kecil lalu hilang.

Setelah yakin kapal kami aman dari ancaman pusaran itu, aku keluar. Keadaan dek benar-benar kacau. Semuanya basah, bahkan ada beberapa tempat yang digenangi air. Aku mendongak demi mendapai Alastair dan ketiga prajurit yang basah kuyup.

"Kau yang melakukannya?" tanya Alastair saat melihatku.

Aku hanya mengedikkan bahu, "Sepertinya mantraku berhasil."

Alastair mengangguk, tampak puas. "Kembangkan layar!" teriaknya lantang.

***

Garis cakrawala menjadi batas pemisah yang sangat jelas antara langit yang berwarna jingga keemasan dengan lautan yang tampak menghitam di kejauhan. Hari ketiga, perjalanan ini seperti tak akan berakhir. Setelah badai dan pusaran itu, lautan jadi sangat tenang, bahkan terlalu tenang. Para prajurit terpaksa harus bergantian menyanyikan mantra angin agar layar tetap terkembang. Gabungan rasa lelah luar biasa akibat menghadapi badai dan nyanyian kaum Orsenvezk yang indah membuatku lebih cepat terlelap. Kali ini, aku tidak bermimpi.

Aku bangun saat langit timur berwarna kemerahan. Aku menatap langit itu dari jendela. Perhatianku teralihkan saat melihat bayangan hitam di kejauhan. Awalnya bayangan hitam itu hanya terlihat seperti titik kabut. Lalu, perlahan titik itu mulai menyebar dan menyatu dengan cakrawala. Saat kapal semakin dekat, aku mulai yakin dan berani mengucapkannya. "Daratan."

Setelah tiga hari terombang-ambing di lautan, akhirnyaaku bisa melihat tujuan kami: pulau Magola. Pulau itu tampak mengerikan bahkandari jarak sejauh ini. Aku tidak berani membayangkan hal buruk apa yang sudahmenanti kedatangan kami di pulau itu.

VAZARD : Sang Master (Complete)Where stories live. Discover now